close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi aktivitas masyarakat. Foto dokumentasi.
icon caption
Ilustrasi aktivitas masyarakat. Foto dokumentasi.
Bisnis - Makro Ekonomi
Minggu, 29 Desember 2024 19:41

Faktor kritis pertumbuhan ekonomi 8%

Target ambisius pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% tak realistis.
swipe

Target ambisius pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% dalam lima tahun dipertanyakan oleh para pengamat ekonomi. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ariyo Irhamna, menyebutkan pencapaian target tersebut tidak realistis, terutama karena kebijakan pembentukan kementerian baru justru memberatkan pengelolaan anggaran negara dan memperlambat koordinasi lintas instansi.

“Dengan jumlah anggota kabinet yang melebihi 100 orang dan adanya pembentukan kementerian baru, sulit membayangkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% bisa tercapai. Ini lebih mirip sebuah angan-angan,” ujar Ariyo, belum lama ini.

Ariyo mengkritik banyaknya kementerian baru memicu perlunya penyesuaian ulang berbagai peraturan, yang pada akhirnya memperlambat implementasi kebijakan di lapangan. “Pemerintah tidak bisa langsung ‘gas’ karena terlalu banyak penyesuaian yang harus dilakukan, termasuk menyesuaikan aturan-aturan lama yang sebelumnya berada di bawah kementerian lain,” tambahnya.

Contohnya, Dewan Sumber Air Nasional yang sebelumnya di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) kini harus dikelola oleh kementerian baru. Hal ini, menurut Ariyo, menciptakan kebingungan birokrasi dan menghambat kelancaran pelaksanaan program-program strategis.

Sebagai perbandingan, Ariyo menyoroti langkah drastis Presiden Argentina, Javier Milei, yang memangkas jumlah kementerian dari 19 menjadi hanya 8. Langkah tersebut mendapatkan pujian dari Bank Dunia dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) karena dinilai mampu meningkatkan efisiensi birokrasi dan menarik minat investor.

“Argentina memberikan sinyal reformasi struktural yang jelas melalui pemangkasan kementerian. Sementara itu, Indonesia justru menambah kementerian baru yang berpotensi memperburuk efisiensi anggaran dan kinerja birokrasi,” ungkapnya.

Di sisi lain, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina, Handi Risza Idris bilang kontribusi investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sangat lemah. Ia mencatat kontribusi investasi terus menurun dari 32,81% pada 2015 menjadi hanya 29,33% pada 2023. Hal ini turut memperburuk prospek pencapaian target pertumbuhan ekonomi.

“Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp13.528 triliun dalam lima tahun ke depan untuk mendekati target pertumbuhan 8%. Dengan kondisi saat ini, sulit untuk mencapai angka tersebut, apalagi jika 30% dari investasi itu harus berasal dari investasi baru,” tegas Handi.

Ia juga menekankan perlunya reformasi birokrasi, peningkatan transparansi, dan perbaikan iklim investasi. Namun, dengan struktur pemerintahan yang semakin kompleks, tantangan tersebut justru semakin berat untuk diatasi.

Kritik dari berbagai pihak menunjukkan target pertumbuhan ekonomi 8% bukan hanya ambisius, tetapi juga tidak realistis di tengah lemahnya fondasi ekonomi yang ada saat ini. Jika kebijakan pemerintahan tidak segera diarahkan untuk memperbaiki efisiensi birokrasi dan menarik investasi, pertumbuhan ekonomi yang diimpikan tampaknya akan tetap menjadi angan belaka.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan