close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka menyampaikan pandangannya saat debat keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024). Debat keempat Pilpres 2024 mengangkat tema terkait pembangunan berkelanjutan, sumber d
icon caption
Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka menyampaikan pandangannya saat debat keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024). Debat keempat Pilpres 2024 mengangkat tema terkait pembangunan berkelanjutan, sumber d
Bisnis
Senin, 22 Januari 2024 17:53

Fenomena demo rompi kuning dan risiko greenflation bagi Indonesia

Cawapres Gibran Rakabuming Raka sempat menyinggung demo rompi kuning di Prancis terkait greenflation. Mungkinkah terjadi di Indonesia?
swipe

Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka dalam debat keempat, Minggu (21/1) malam sempat menyinggung demo rompi kuning di Prancis, yang pecah pada 17 November 2018. Demo tersebut bermula dari kenaikan pajak bahan bakar solar dan harga bahan bakar fosil lain, imbas naiknya pajak bahan bakar untuk pembiayaan pengembangan energi bersih.

Dengan kondisi ini, harga bahan bakar fosil pun menjadi sangat tinggi, hingga mengakibatkan biaya hidup di Prancis makin mahal dan kesenjangan di masyarakat kian kentara. Pada saat yang sama, naiknya harga bahan bakar cokelat itu turut mengerek laju green inflation atau greenflation alias inflasi hijau.

Dikutip NPR, dalam aksi ini, para peserta mengenakan rompi berwarna kuning terang, untuk menggambarkan prosedur keselamatan sopir-sopir Prancis. Selain itu, rompi kuning juga melambangkan kesetiakawanan terhadap masyarakat pekerja dan rakyat jelata.

Demo diikuti oleh setidaknya 300.000 orang, mulai dari buruh, petugas medis, hingga pelajar. Di beberapa wilayah, demo ini berakhir rusuh, sampai menyebabkan 11 orang tewas dan 4.000 orang terluka.

Greenflation itu, kita kasih contoh simpel saja. Demo rompi kuning di Prancis. Bahaya sekali. Sudah memakan korban. Ini yang harus diantisipasi. Jangan sampai terjadi di Indonesia. Belajar dari negara maju,” kata Gibran, Minggu (21/1).

Dalam kesempatan terpisah, Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dhenny Yuartha menjelaskan, inflasi hijau utamanya akan terjadi ketika energi utama, yakni fosil bergeser menjadi energi baru terbarukan atau renewable energy.

Dari transisi tersebut, akan muncul biaya atau cost yang membuat harga dari barang-barang terkait proses perubahan menjadi energi bersih melonjak. “Misal, kalau kita ke (kendaraan) listrik, dan kendaraan fosil itu dihilangkan, pasti inflasinya akan muncul di situ. Karena pada awal untuk transisi itu, butuh uang (cost) yang sangat besar,” katanya, Senin (22/1).

Saat ini, Indonesia memang sedang melaksanakan transisi dari energi fosil ke energi bersih, melalui renewable energy. Inflasi hijau di Indonesia, lanjut Dhenny, bisa muncul dari pembelian teknologi untuk mewujudkan transisi energi, seperti dari impor teknologi solar panel.

“Ketika teknologi kita belum ada, sehingga kita mau enggak mau harus impor, ketika permintaan tinggi dan suplainya terbatas di luar negeri, ini yang menyebabkan cost. Cost-nya ini kemudian ditransfer ke konsumen,” imbuhnya.

Meski begitu, inflasi hijau yang terjadi di negara-negara maju, seperti Prancis tidak bisa dibandingkan dengan inflasi hijau yang muncul di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pasalnya, kenaikan harga akibat proses transisi energi akan diimbangi langsung oleh kebijakan pemerintah.

Hal ini sekaligus juga untuk menekan inflasi, yang akan sangat mungkin menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, saat inflasi tidak terkendali. Apalagi, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai saat ini masih ditopang oleh konsumsi domestik.

“Saya rasa kebijakan seperti menghilangkan subsidi BBM (bahan bakar minyak) bukan pilihan yang populis untuk pemerintah saat ini, karena ada kaitannya dengan harga. Jadi shifting langsung itu akan meningkat ke harga. Sepertinya kalau melihat latar belakang kita, sedikit dampaknya ke kita,” ujarnya.

Di sisi lain, negara-negara maju seperti Prancis, menurut Dhenny, tidak memiliki banyak opsi untuk melakukan transisi ke energi terbarukan. Ditambah lagi, pendanaan di negara-negara maju tidak seelastis negara berkembang.

Sehingga, ketika ada perubahan harga, pemerintah akan sangat sulit untuk menambal kenaikan tersebut dengan subsidi atau bantuan langsung kepada masyarakat. “Misal, di negara maju ketika komoditas energi dan minyak meningkat, sedangkan di sisi lain, kondisi cuaca enggak bisa support bagi mereka untuk shifting lebih cepat, dampaknya memang harganya lebih tinggi renewable energy di sana,” papar Dhenny.

Sepakat dengan Dheeny, Peneliti ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Dandy Rafitrandi pun menilai, pemberian insentif kepada masyarakat akan efektif untuk menekan laju inflasi akibat transisi energi. Selain itu, insentif juga penting karena Indonesia masih menetapkan tarif impor tinggi terhadap barang-barang atau teknologi penunjang transisi energi.

“Karena dengan insentif, tarif impor untuk barang atau teknologi ramah lingkungan bisa dibuat semakin murah. Dengan itu, barang-barang atau teknologi ramah lingkungan yang sebelumnya mahal, bisa dibeli masyarakat dengan harga murah,” kata Dandy, saat dihubungi Alinea.id, Senin (22/1).

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan