Lembaga pemeringkat kredit internasional Fitch Ratings menilai depresiasi rupiah belakangan ini dapat menambah tekanan pada pengembang properti (developer) di Indonesia.
Menurut Fitch, dalam pernyataan resmi yang diterima Antara di Jakarta, Selasa (15/5), hal tersebut dikarenakan pengembang di Indonesia memiliki sebagian besar pinjaman dalam mata uang dollar AS.
Rupiah adalah mata uang berkinerja terburuk kedua di Asia dalam tiga bulan terakhir dan menembus Rp14.000 per dollar AS, level yang tidak terlihat sejak Desember 2015.
"Dalam jangka pendek, ini akan mempengaruhi pengembang Indonesia karena bunga dan pembayaran modal akan meningkat dalam mata uang lokal. Masing-masing pengembang yang di-rating oleh Fitch memiliki 50% atau lebih dari pinjaman mereka dalam dollar AS karena obligasi berdenominasi dolar secara tradisional lebih menarik karena mereka memiliki basis investor yang lebih luas dan lebih murah daripada pinjaman bank atau obligasi domestik," tulis Fitch.
Fitch juga percaya bahwa depresiasi mata uang juga dapat menyebabkan buyers menunda pembelian besar karena ketidakpastian seputar pemilihan presiden pada 2019. Akibatnya, ini dapat menghasilkan presales yang lebih rendah dari perkiraan dan arus kas yang terkait.
Margin keuntungan tebal pengembang Indonesia berasal dari bank-bank tanah mereka yang besar dan berbiaya rendah, yang menyediakan bantalan yang cukup terhadap depresiasi rupiah, tetapi marjin dapat menipis seiring waktu jika permintaan properti lunak dan depresiasi mata uang masih ada.
Depresiasi rupiah juga akan berdampak terbatas pada profil leverage pengembang. Jika rupiah melemah ke sekitar Rp15.000 per dollar AS, leverage untuk pengembang yang di-rating oleh Fitch akan meningkat antara 2%-6%.
Pada perdagangan akhir pekan, Jumat (18/5), nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, bergerak melemah sebesar 99 poin menjadi Rp14.144 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.045 per dollar AS.
Pengamat pasar uang dari Bank Woori Saudara Indonesia, Rully Nova di Jakarta, mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah cenderung masih dipengaruhi oleh sentimen eksternal mengenai prospek kenaikan suku bunga The Fed pada Juni mendatang.
"Sebagian investor masih menahan diri untuk menempatkan dananya meski Bank Indonesia telah meningkatkan suku bunga," katanya.
Ia menambahkan imbal hasil obligasi Amerika Serikat yang cenderung meningkat turut menjadi faktor yang menahan dana asing masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Pasar keuangan di Amerika Serikat dinilai lebih menarik saat ini," katanya.
Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Jumat (18/5) mencatat nilai tukar rupiah bergerak melemah ke posisi Rp14.107 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.074 per dollar AS.