Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyampaikan, penundaan pembayaran kupon sukuk global senilai US$500 juta oleh maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA), dapat memberikan kejelasan tentang restrukturisasi sukuk, resolusi, dan keberlakuannya di Indonesia. Fitch melihat, preseden untuk penegakan hukum yang efektif masih kurang, termasuk di Indonesia.
Oleh sebab itu, Fitch memandang masih belum dapat memastikan apakah pemegang sukuk dapat menegakkan hak kontraktual mereka di pengadilan yang relevan.
"Fitch tidak menilai Garuda atau sukuknya, tetapi memantau perkembangannya dengan cermat," tulis Fitch dalam keterangan resminya, yang dikutip Alinea.id, pada Rabu (6/7).
Persyaratan syariah dapat membuat resolusi default sukuk lebih kompleks daripada surat utang konvensional alias obligasi. Kompleksitas juga ditambah dengan struktur permodalan Garuda yang terdiri dari beberapa jenis instrumen utang, antara lain sukuk, sekuritisasi beragun aset, pinjaman bank, piutang, dan sewa pesawat.
"Ini melibatkan berbagai pihak off dan on-shore. Penguasa memiliki lebih dari 60% saham Garuda dan penawaran sukuk maskapai tidak mengandung jaminan pemerintah atau lembaga keuangan," kata Fitch.
Fitch menilai, pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung, tetap menjadi risiko utama bagi pemulihan Garuda dan emiten sukuk lainnya yang berbasis di Indonesia, dengan default sukuk korporasi dalam negeri mencapai puncaknya di 4,2% pada tahun 2020.
Menurut Fitch, peraturan kebangkrutan di Indonesia sulit dinavigasi dan sistem hukumnya tidak memiliki preseden perlakuan default sukuk. Fitch mengklasifikasikan Indonesia di grup D. Negara-negara dalam kelompok ini adalah yang produk hukumnya tidak mendukung hak-hak kreditur.
Fitch melanjutkan, moratorium utang yang diawasi pengadilan dan proses kepailitan untuk sukuk jarang terjadi, mengingat kerumitan pembuatan aplikasi semacam itu di pengadilan agama dalam negeri, berbeda dengan pengadilan niaga. Hukum Indonesia menyatakan bahwa pengadilan agama memiliki kewenangan dalam menyelesaikan sengketa keuangan Islam.
"Namun, dalam praktiknya, hal ini dapat diselesaikan di pengadilan niaga jika kedua belah pihak setuju. Pengadilan agama sering digunakan untuk menyelesaikan transaksi ritel yang lebih sederhana. Sementara pengadilan niaga biasanya mengadili sengketa komersial yang kompleks, karena pihak yang berperkara menganggap pejabat di pengadilan niaga lebih kompeten dalam memutuskan masalah tersebut," ujar Fitch.
Fitch mencontohkan, gagal bayar sukuk PT Berlian Laju Tanker Tbk. pada tahun 2012 diselesaikan melalui pengadilan niaga dan menghasilkan rencana restrukturisasi. Fitch mengamati, kegagalan pembiayaan syariah di antara lembaga keuangan, diperlakukan sama dengan default pinjaman konvensional.
Restrukturisasi sukuk publik dalam negeri di luar pengadilan, umumnya mengikuti perlakuan yang sama dengan obligasi dan mencakup perpanjangan jatuh tempo dan penangguhan distribusi berkala.
Adapun sukuk yang diterbitkan di pasar modal internasional umumnya diatur oleh hukum Inggris dan tunduk pada yurisdiksi pengadilan Inggris, atau pengadilan lain yang diakui oleh hukum dan yurisdiksi internasional. Namun, bagian dari dokumentasi dan keputusan apapun, akan diatur dan ditinjau oleh pengadilan di mana pembuatnya berdomisili dan keberlakuannya, akan dibatasi oleh undang-undang setempat.