Fitur paylater: Diminati pelanggan, dilirik perbankan
Layanan menunda pembayaran atau paylater semakin jamak ditemukan di era digital ini. Platform digital yang memudahkan pelanggan untuk transaksi dahulu bayar belakangan ini menarik minat masyarakat. Perbankan pun tergiur untuk meramaikan bisnis paylater yang sudah diisi oleh fintech dan e-commerce.
Adalah Dyah Ayu Alvinda, perempuan 25 tahun yang berkenalan dengan paylater melalui aplikasi belanja Shopee. Ia menggunakan Shopee PayLater sejak Desember 2019 lalu. Keputusannya menggunakan fasilitas ini penuh dengan pertimbangan. Pasalnya, banyak berita negatif terkait penipuan yang melibatkan pinjaman online (pinjol).
Pada saat itu, dia berpikir fasilitas paylater yang disediakan e-commerce asal Singapura ini, memiliki risiko sama dengan pinjol-pinjol di luar sana. Ia juga takut ada risiko lain berupa pencurian data pribadi hingga penipuan.
Namun, ia akhirnya mengaktifkan layanan bayar nanti. Selain karena penasaran, Dyah juga memutuskan untuk mengaktifkan fitur yang hanya diberikan Shopee kepada konsumen-konsumen tertentu itu untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan mendadak yang harus segera dipenuhinya.
Berbekal KTP (Kartu Tanda Penduduk), foto selfie dan data diri lengkap, akun paylater Dyah pun aktif dengan limit awal sebesar Rp750.000. "Waktu itu kebetulan akhir bulan dan belum gajian. Karena butuh sesuatu, jadi saya pakai. Rupanya cukup mudah dan bunganya juga kecil," ujar kepada Alinea.id, Senin (13/9).
Meski tak sering, perempuan yang berprofesi sebagai penulis lepas dan personal blogger itu mengaku masih rutin menggunakan layanan Shopee PayLater. Bahkan, penggunaan paylater itu semakin sering ia lakukan kala pandemi.
"Sebelum pandemi biasanya cuma dua kali atau tiga kali dan limit Rp750.000 itu cuma terpakai paling Rp250.000, sekarang bisa lebih. Limit bisa terpakai semua," keluhnya.
Berbeda dengan Dyah, Kiki Ambarita memutuskan untuk menggunakan layanan bayar nanti sejak Juli 2020. Ini bermula saat ia mendapatkan notifikasi dari sebuah e-commerce bahwa dirinya mendapatkan fasilitas paylater dengan limit awal sebesar Rp1.500.000.
Ibu satu anak ini pun langsung mempelajari sistem paylater yang baru ia kenal saat itu. "Setelah mengerti, oke aku coba satu kali untuk membeli susu anakku. Barang datang, bayarnya masih bulan depan dan limit masih sisa banyak," kata Kiki kepada Alinea.id, Minggu (19/9).
Ibu rumah tangga 29 tahun itu mengaku, pada mulanya dia hanya menggunakan paylater untuk membeli susu anaknya. Pasalnya, harga susu formula di online shop lebih murah dan stok selalu banyak. Namun, kemudian paylater juga digunakannya untuk membeli barang-barang lain, bahkan yang sebenarnya tidak terlalu dia butuhkan.
Pada akhirnya, saking seringnya Kiki menggunakan layanan bayar nanti ini, e-commerce tersebut lantas menaikkan limit hingga dua kali lipat. Meski tak pernah terlambat melakukan pembayaran, namun Kiki mengaku, kebiasaan menggunakan paylater kini justru menjadi beban.
"Makanya, untuk yang pakai ini juga harus bijak, harus bisa mengatur kebutuhan dan keinginannya," pesannya.
Pergeseran perilaku
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga mengatakan, penggunaan fitur paylater memang terus meningkat, seiring dengan kebiasaan belanja masyarakat yang berubah karena pagebluk. Dia bilang, jika sebelumnya masyarakat lebih suka belanja di mal atau pasar tradisional, sekarang banyak orang lebih memilih berbelanja lewat platform dagang-el.
Tak hanya itu, kebiasaan pembayaran pun berubah. Banyaknya konsumen yang lebih memilih membayar menggunakan dompet digital, praktis membuat popularitas fitur paylater ikut menanjak.
"Kehadiran paylater sekarang sudah menjadi salah satu alternatif pembayaran. Ini memang meningkat dari waktu ke waktu," kata dia, kepada Alinea.id, Senin (20/9).
Dia bilang, kondisi itu dapat dilihat dari riset yang dilakukan oleh Kredivo dan Katadata Insight Center (KIC) Maret lalu. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 3.650 responden, 55% di antaranya merupakan pengguna baru.
Ihwal alasan masyarakat menggunakan paylater, selain untuk membeli kebutuhan mendesak atau berbelanja dengan cicilan pendek, sebanyak 41% konsumen memilih fitur paylater untuk mengontrol cash flow (pengeluaran bulanan).
"Dulu, untuk cicilan opsinya hanya kartu kredit, sekarang tidak lagi dan saya harap bisa menunjang transaksi e-commerce,” imbuhnya.
Studi lain yang dibuat Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) dan Universitas Airlangga (Unair) pada Februari 2021, juga menyampaikan hal yang hampir sama. Survei terhadap 2.000 responden di 10 provinsi Indonesia itu, menyimpulkan bahwa jumlah pengguna paylater telah mencapai 83%. Selain itu, intensitas penggunaan paylater selama pandemi pun meningkat.
Ketua Tim Peneliti RISED sekaligus Ekonom Unair Rumayya Batubara mengungkapkan, jika sebelumnya konsumen menggunakan paylater hanya sekali atau dua kali dalam satu bulan. Setelah pandemi konsumen dapat menggunakan fitur ini lebih dari 3 kali atau bahkan dapat mencapai 10 kali.
"Bukan lagi buat belanja impulsif dan konsumtif, tapi lebih ke pemenuhan kebutuhan bulanan," bebernya, kepada Alinea.id, Jumat (17/9).
Perbankan ikut tergiur
Di sisi lain, pengguna internet di Indonesia juga turut andil dalam peningkatan popularitas paylater. Menurut laporan We are Social dan Hootsuite yang berjudul Digital 2021: Indonesia, ada sekitar 202,6 juta orang atau sekitar 73,7% dari jumlah populasi Indonesia yang telah menggunakan internet. Angka ini meningkat 15,5% atau 27 juta jiwa dibanding tahun sebelumnya.
Dengan berbagai kondisi tersebut, tak heran jika kini paylater menjadi senjata ampuh untuk menjaring konsumen. Terbukti, saat ini tak hanya e-commerce dan lembaga keuangan penyalur pinjaman saja yang menyediakan layanan bayar nanti. Perbankan pun ikut tergiur terjun sebagai pemain.
Sebut saja, Bank Mandiri dengan Mandiri Paylater-nya, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dengan Virtual Card Number (VCN) yang bekerja sama dengan Traveloka Paylater, PT Bank MNC Internasional Tbk dengan kartu kredit virtualnya 'MotionVisa', serta Bank Rakyat Indonesia dengan BRI Paylater.
Dalam langkahnya menjajaki bisnis bayar nanti, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dengan berani menggandeng dua raksasa e-commerce raksasa, yakni Shopee dan Traveloka. SEVP Micro & Consumer Finance Bank Mandiri Josephus Koernianto Triprakoso mengatakan, alasannya menerbitkan kartu kredit digital ialah karena transaksi merchant e-commerce saat ini menjadi penopang bisnis kartu kredit perseroan.
"Selain itu dengan diluncurkannya produk terbaru Mandiri Shopee Card dan Mandiri Traveloka Card kami yakin akan memperkuat presence Mandiri Kartu Kredit di e-commerce," tuturnya, kepada Alinea.id, Kamis (17/9) lalu.
Nurkholis menambahkan, untuk menggaet konsumen, bank pelat merah ini menawarkan limit awal sebesar Rp5 juta kepada konsumen Shopee dan Traveloka. Meski begitu, seiring berjalannya waktu, tidak menutup kemungkinan, perseroan akan menaikkan limit konsumen hingga Rp20 juta. Sebagai mitigasi resiko atas limit yang besar ini, perseroan masih mengkaji untuk bekerjasama dengan perusahaan asuransi.
Selain itu, ada pula perbankan yang masih dalam tahap pembahasan atau penjajakan, sebelum mantap melebarkan sayapnya ke dalam bisnis paylater. Seperti CIMB Niaga, PT Bank Central Asia Tbk (BCA), PT Bank DBS Indonesia, serta PT Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, atau Bank Sulselbar.
PT Bank DBS Indonesia meluncurkan kartu kredit digital dengan nama Kartu Kredit Digital Digibank. Layanan ini diluncurkan untuk menangkap potensi percepatan pertumbuhan transaksi nasabahnya di platform online. Head of Card Business Bank DBS Indonesia Ari Lastina mengatakan, pihaknya mengutamakan kecepatan dan kenyamanan dalam layanan kartu kredit digital tersebut.
"Proses aplikasinya ini mudah, enggak perlu print, bisa langsung secara online, kapan pun dan di mana saja. Itu approval dan limit bisa didapat dalam waktu 60 detik," ungkapnya, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Prospek cerah
Terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, bisnis paylater akan semakin tumbuh, mengikuti tren belanja online yang juga masih akan terus berlangsung. Bahkan, menurutnya persaingan bisnis paylater pun akan semakin sengit.
Namun demikian, masuknya perbankan ke dalam bisnis paylater, kata dia, tidak akan menjadi ancaman besar bagi fintech maupun e-commerce yang sudah lebih dulu merambah sektor ini. Sebaliknya, ada tantangan besar yang harus dihadapi perbankan yang ingin masuk ke dalam bisnis bayar nanti.
"Karena mereka enggak punya ekosistemnya. E-commerce biasanya punya anak usaha paylater sebagai alternatif pembayaran. Begitu juga dengan fintech," jelas dia kepada Alinea.id, Minggu (19/9).
Karenanya, untuk bertahan di tengah ketatnya bisnis paylater, Bhima menyarankan agar perbankan tak segan untuk bekerja sama dengan fintech atau e-commerce penyedia layanan paylater. Di saat yang sama, perbankan juga harus berani memberikan bunga lebih rendah dari yang ditawarkan oleh e-commerce maupun fintech penyedia paylater lain.
Begitu juga dengan limit yang ditawarkan, harus bisa lebih kecil. Dengan begitu, diharapkan layanan paylater yang ditawarkan oleh bank bisa menyasar konsumen-konsumen kecil.
"Intinya bank harus berani, berani bersaing buat ngasih bunga rendah dan limit kecil tapi rentangnya bisa besar," imbuh dia.
Di sisi lain, semakin tumbuhnya bisnis paylater di Tanah Air juga layak mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Tentunya agar persaingan bisnis paylater di Indonesia tetap sehat, tanpa ada satu atau dua pemain besar yang akan mendominasi pasar pembayaran digital ini.
Terkait hal ini, mantan Ekonom INDEF ini bilang, pengetatan pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus ditingkatkan lagi. "Ini bisa dilakukan mungkin dengan menambah syarat perusahaan, fintech, e-commerce, atau bank yang akan menjadi penyedia paylater. Supaya nantinya juga jumlah penyedia paylater bisa tetap terkontrol," ujar Bhima.
Sementara itu, Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang W Budiawan tak menampik bahwa bisnis pembiayaan lewat skema paylater memang menggoda banyak perusahaan teknologi, bahkan perbankan.
Dia bilang, pada mulanya paylater banyak disediakan oleh e-commerce dengan menggandeng perusahaan fintech peer to peer (P2P) lending untuk merangkul pendana institusi maupun perorangan, yang berperan sebagai lender.
"Jadi sebenarnya paylater ini bukan suatu produk tersendiri atau produk baru. Ini adalah skema transaksi biasa," ujarnya beberapa waktu lalu.
Menariknya, skema ini memang terbilang kuat karena pola paylater secara tidak langsung mampu meningkatkan mitigasi risiko bagi lembaga jasa keuangan penyedia kredit digital atau fintech P2P lending yang terkait. Pasalnya, yang menjadi segmen nasabah adalah konsumen toko online yang membeli sebuah barang atau merupakan user dari produk teknologi, seperti penyedia jasa ojek online, tiket travel, atau pemilik dompet digital.
"Jadi menghindari side streaming oleh debitur nakal. Karena debitur tidak diberikan cash secara langsung yang berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan lain," tambahnya.
Meski begitu, pihaknya mengaku sampai saat ini belum ada pengawasan khusus terkait penyedia layanan paylater. Namun demikian, karena layanan bayar nanti ini memiliki skema yang sama dengan kredit, OJK mengingatkan agar konsumen untuk tidak gegabah dalam menggunakan layanan ini.
"Masyarakat juga harus melihat kemampuan bayar dan kemampuan melunasi mereka. Mereka juga harus melihat dulu dengan cermat kontraknya," kata Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot, saat dihubungi Alinea.id, Senin (20/9).