Setelah Izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia diperpanjang, pemerintah mendesak untuk menyelesaikan 10 dari 40 permasalahan tambang emas itu.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menjelaskan, Freeport baru menyelesaikan 30 dari 40 permasalahan, termasuk soal pengolahan limbah atau tailing.
Tailing adalah bahan yang tertinggal setelah pemisahan fraksi bernilai bijih emas. Tailing biasanya limbah murni yang tertinggal dalam air.
"Jadi tinggal beberapa lagi, seperti tailing dan pinjam pakai (lahan untuk pertambangan) juga dibereskan. Jadi, kenapa dia berat, ketika menyelesaikan masalah lingkungan dan tailing-nya, maka pemerintah harus membantu," jelas Siti Nurbaya Bakar, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (5/7).
Menteri asal Partai Nasdem itu menyebut, saat ini pemerintah memperketat dari kebijakan sebelumnya soal permasalahan-permasalahan lingkungan bagi perusahaan tambang. Misalnya, soal tailing yang tidak terkelola dengan baik.
Bila tailing mencapai 10.000 ton per jam, sambungnya, maka perusahaan tambang, termasuk Freeport harus memiliki teknologi untuk menangani limbah itu. "Kebijakan kita apa, kan bisa jadi dia dibuat roadbase, untuk jalan. Kalau itu untuk jalan, berarti menteri pekerjaan umum sama KLHK mesti duduk bareng, bagaimana standarnya, dan ngeberesinnya. Jadi hal itu sekarang sedang diselesaikan, jadi enggak ada masalah," urainya.
Dia memberikan tenggat pembenahan tailing kepada Freeport maksimum 6 bulan sejak teguran yang dilayangkan pada Mei 2018. Siti Nurbaya optimistis permasalahan lingkungan yang menjerat Freeport dapat diselesaikan, meskipun problem lainnya tidak dapat rampung sesuai tenggat waktu.
Penerbitan IUPK sementara merupakan konsekuensi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam beleid tersebut, pemerintah mengatur perusahaan yang dapat mengekspor konsentrat hanya perusahaan yang mengantongi IUPK. Padahal, selama ini Freeport beroperasi di Indonesia berkat perjanjian Kontrak Karya (KK) yang berlaku hingga 2021.
Setelah KK habis tenggat waktu, maka wilayah izin tambang milik Freeport bisa kembali ke tangan pemerintah Indonesia. Perpajangan IUPK sementara ini, diyakini pemerintah bahwa Freeport Indonesia bisa menyelesaikan permasalahan bukan hanya dari persoalan lingkungan, tetapi juga mengenai negosiasi pelepasan saham (divestasi), pembangunan pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) dan perpanjangan masa operasi.
Proses divestasi sendiri melibatkan antara Freeport Indonesia dengan PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero), holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertambangan.
Saat ini, proses divestasi masih dalam tahap negosiasi. Nantinya, pemerintah melalui Inalum akan menggenggam kepemilikan 51% saham Freeport Indonesia, jika semua permasalahan tersebut rampung.
"Karena memang ada beberapa hal yang dalam proses penyelesaian, yang utamanya dalam rangka menyelesaikan aspek lingkungan antara KLHK dan tim Freeport serta tim Inalum yang meminta untuk diberikan kesempatan menyelesaikan itu," pungkas Siti.