Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone/ FTZ) dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) diusulkan untuk menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Kepala BP Batam Edy Putra Irawady mengatakan, dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, BP Batam memiliki peran dalam meningkatkan investasi dan ekspor. Namun kenyataannya, BP Batam hanya wilayah berupa fasilitas custom facilities atau fasilitas keluar masuk barang. Biasa dikenal dengan FTZ.
FTZ adalah kebijakan barang dapat mendarat, masuk, ditangani, diproduksi atau dilakukan penjualan ulang, dan diekspor tanpa intervensi kepabeanan. Hanya berlaku pada perdagangan internasional.
Dengan demikian, apabila BP Batam menjadi KEK, maka daftar larangan investasi (Daftar Negatif Investasi/ DNI) tidak berlaku. Tentunya akan sangat menarik bagi investor untuk berinvestasi.
"Artinya bisa 100% dikuasai asing. Kedua, eligible untuk tax holiday. Kalau FTZ masih digerogoti (kena aturan) tata niaga, artinya masih tidak bisa menjual di dalam negeri, tidak bisa juga (FTZ) asing 100% untuk kegiatan apapun," ujar Edy di ruang wartawan Kemenko Perekonomian, Kamis (2/5).
Kendati demikian, menjadikan BP Batam menjadi KEK masih berupa opsi atau usulan. Tetapi Edy berharap usulan dari pihaknya bisa diterima oleh Kemenko Perekonomian dan tim teknis lainnya selaku Dewan Kawasan BP Batam.
"Investor di luar Batam bertanya, Batam apakah KEK? Selama ini seperti kita tahu, Batam itu FTZ (Free Trade Zone), padahal yang dibutuhkan lokasi yang diberikan fasilitas KEK," papar dia.
Edy juga menyinggung perihal pendanaan BP Batam. Selama ini, biaya operasional BP Batam bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mereka pungut dari kegiatan-kegiatan ekonomi di sana.
Selain melalui PNBP, BP Batam juga mendapatkan sumber pendanaan dari APBN yang khusus untuk pembangunan infrastruktur atau hanya untuk sebagai belanja modal (capital expenditure/capex) wilayahnya. BP Batam juga mendapatkan anggaran pinjaman dari luar negeri untuk kepentingan lingkungan seperti pembersihan air limbah, dan sebagainya.
"Yang belum kami manfaatkan, yaitu meningkatkan profit center supaya BP Batam bisa membiayai kebutuhan operasional, termasuk pegawai. Supaya tidak hanya mengandalkan PNBP saja. Supaya independen," kata Edy menjelaskan.
Adapun jumlah dana yang bersumber dari PNBP untuk BP Batam sebesar Rp1,2 triliun per tahun. Kebutuhan operasional gaji 2.800 karyawan, setidaknya membutuhkan sekitar Rp60 miliar-Rp70 miliar per bulan.
BP Batam membutuhkan capex sekitar Rp400 miliar sampai Rp500 miliar pada tahun ini. Jumlahnya akan meningkat pada 2020, yang diperkirakan mencapai Rp900 miliar. Capex tersebut digunakan untuk pemenuhan air bersih, biaya infrastruktur seperti jalan dan jembatan.
"Subsidi rumah sakit, tagihan BPJS, juga aset lain seperti, asrama haji, stadion, dan sebagainya, ternyata menggerogoti PNBP. Kalau berdiri sendiri, BP Batam lebih ramping karena badan-badan usaha berdiri sendiri," ujarnya.
Potensi tujuh pulau lainnya di Batam
BP Batam memiliki luas kurang lebih 75.000 hektare dan yang baru dimanfaatkan 41.000 hektare di Pulau Batam saja. Masih ada tujuh pulau lain selain Batam yang diklaim bisa menyerap investasi hingga miliaran dolar AS.
Tujuh pulau tersebut, adalah Pulau Bulan, Pulau Galangbaru, Pulau Sugi, Pulau Rempang, Pulau Kelapajernih, Pulau Galang, dan Pulau Citlim.
Di tujuh pulau tersebut sudah tersedia infrastruktur dan akses keluar masuk pulau yang bisa menggaet investor untuk berinvestasi di sana. Namun permasalahannya, investor hanya ingin berinvestasi jika ketujuh pulau tersebut berstatus KEK.
Rencanya, di tujuh pulau tersebut, akan dibangun pelabuhan, pergudangan, rumah sakit, universitas, bandara dan pusat keuangan. "Batam harus mempunyai pusat keuangan. Misalnya offshore loan dan crypto money. Bank kita tidak boleh meminjamkan dana ke asing. Bank asing juga tidak boleh masuk ke UKM. Kecuali kalau di bawah special economic zone, dia bebas. Berlaku standar internasional," ujarnya.