close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu di sela-sela webinar bertajuk Strategi Pemulihan Ekonomi Pasca-Covid-19 & Peningkatan Kemudahan Berusaha Indonesia, diambil Kamis, 15 Juli 2021. Foto tangkapan layar YouTube @BKFKemenkeu.
icon caption
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu di sela-sela webinar bertajuk Strategi Pemulihan Ekonomi Pasca-Covid-19 & Peningkatan Kemudahan Berusaha Indonesia, diambil Kamis, 15 Juli 2021. Foto tangkapan layar YouTube @BKFKemenkeu.
Bisnis
Kamis, 15 Juli 2021 19:04

G20 sepakati aturan terkait penghindaran pajak perusahaan multinasional

Kesepakatan tercapai setelah lebih dari satu dekade didiskusikan.
swipe

Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 menyepakati langkah penting terkait arsitektur perpajakan internasional yang lebih adil dan stabil, yaitu Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising From the Digitalisation and Globalization of the Economy.

Tercapainya kesepakatan ini setelah lebih dari satu dekade didiskusikan menunjukkan keberhasilan pendekatan multilateralisme dalam mengatasi tantangan digitalisasi dan globalisasi ekonomi, khususnya dalam hal mengatasi base erosion profit shifting (BEPS). 

Kesepakatan ini mencakup dua pilar yang bertujuan untuk memberikan hak pemajakan yang lebih adil dan berkepastian hukum dalam mengatasi BEPS akibat adanya globalisasi dan digitalisasi ekonomi tersebut. 

BEPS adalah tantangan pemajakan yang dialami oleh negara-negara di dunia akibat adanya praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional. 

"Praktik ini dilakukan dengan merancang perencanaan pajak secara agresif sehingga menimbulkan hilangnya potensi pajak bagi banyak negara," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam keterangannya, Kamis (15/7).

Lewat praktik semacam ini, potensi kerugian pajak negara-negara secara global diperkirakan sebesar US$100 hingga US$240 miliar dolar, atau setara dengan 4% hingga 10% Produk Domestik Bruto (PDB) global.

Adapun, kesepakatan Pilar 1, Indonesia sebagai salah satu negara pasar dari perusahaan multinasional, akan berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional. 

Syaratnya, perusahaan multinasional ini berskala besar dengan penghasilan minimal €20 miliar dan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi, yaitu minimum 10% sebelum pajak. 

Berdasarkan batasan atau threshold tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia. 

Sebelum adanya kesepakatan Pilar 1, negara pasar dapat memajaki suatu perusahaan multinasional hanya bila perusahaan tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) sehingga menyebabkan kesulitan atau kecilnya kemungkinan untuk memajaki. 

Selanjutnya, kesepakatan Pilar 2 ditujukan untuk mengatasi isu BEPS lainnya dengan memastikan perusahaan multinasional dengan minimum omzet konsolidasi sebesar €750 juta membayar pajak penghasilan dengan tarif minimum 15% di negara domisili. 

Pilar 2 dengan demikian menghilangkan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau yang dikenal dengan “Race to the Bottom” sehingga diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif. 

Dengan batasan atau threshold tersebut, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasilan efektif di bawah 15%. 

Pilar 2 ini mempunyai dampak terhadap kebijakan insentif pajak penghasilan pemerintah. Desain insentif perpajakan, khususnya dengan penerapan tarif pajak efektif kurang dari 15%, harus didesain ulang menyesuaikan dengan pilar dua. 

Pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 15% untuk tujuan misalnya menarik investasi. Dengan ketentuan ini, keputusan investasi diharapkan tidak lagi berdasarkan tarif pajak tetapi berdasarkan faktor fundamental. 

“Pemerintah cukup optimistis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha," ujarnya.

Febrio menuturkan, sistem perpajakan internasional yang baru ini selaras dengan semangat reformasi perpajakan nasional yang di antaranya bertujuan untuk meningkatkan basis pemajakan secara adil. 

Bagi emerging countries seperti Indonesia, hal ini penting untuk mengoptimalkan sumber penerimaan domestiknya. Penyebab rendah dan terus turunnya rasio pajak terhadap PDB Indonesia adalah belum mampunya sistem pemajakan merangkap peningkatan aktivitas ekonomi, salah satunya karena BEPS. 

Berdasarkan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), 60% hingga 80% perdagangan internasional merupakan transaksi afiliasi perusahaan multinasional yang ditujukan untuk menghindari pajak dengan cara memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah. 

“Di Indonesia, laporan wajib pajak menunjukkan 37%-42% PDB merupakan transaksi afiliasi. Bila dibiarkan, hal ini tentunya merugikan bagi perpajakan Indonesia. Dengan adanya tambahan hak atas pemajakan dalam kedua pilar, basis pajak Indonesia akan meningkat," ucap Febrio. 

Persetujuan atas kedua pilar tersebut telah disampaikan oleh 132 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS. 

Detail teknis dari dua pilar yang ada dalam kesepakatan tersebut akan dilaporkan dan difinalisasi pada pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada bulan Oktober 2021 mendatang. 

Kedua pilar tersebut rencananya akan ditandatangani di tahun 2022 dan diberlakukan secara efektif di tahun 2023.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan