Galau industri penuhi pasokan batu bara kala harga melejit
Bak 'ayam mati di lumbung padi'. Pepatah itu agaknya pas untuk menggambarkan krisis energi yang dialami Indonesia pada akhir tahun lalu. Bagaimana tidak, sebagai produsen batu bara ketiga terbesar di dunia, Indonesia justru kekurangan pasokan emas hitam tersebut.
Hal ini ditengarai akibat banyaknya pengusaha batu bara yang tidak memenuhi kewajiban Domestic Market Obligation (DMO), ketika harga batu bara ini meroket di sepanjang tahun 2021. Tahun lalu, harga batu bara dunia memang cenderung meningkat, puncaknya terjadi pada awal Oktober yang mencapai US$269,5 per metrik ton, naik 235% dibandingkan periode di tahun 2020 yang hanya sebesar US$80,5 per metrik ton.
Lonjakan harga batu bara ini, salah satunya dipicu oleh tingginya permintaan impor batu bara oleh China, India, dan beberapa negara Uni Eropa. Dengan kondisi ini, jelas banyak pengusaha yang memilih untuk mengekspor hasil tambang mereka tersebut.
Hal ini pun terlihat dari kinerja ekspor batu bara yang diklaim Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencapai 435 juta ton, lebih tinggi ketimbang ekspor batu bara di 2020 yang sebesar 433,8 juta ton.
“Di sisi lain, PLN (Perusahaan Listrik Negara-red) tidak begitu merasakan dampak kenaikan harga batu bara, karena DMO tidak terpenuhi,” kata Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Perlu diketahui, pada 2021 realisasi DMO alias serapan batu bara dalam negeri mencapai 133 juta ton, atau 21,6% dari realisasi produksi batu bara yang sebesar 614 juta ton. Sebenarnya, realisasi DMO itu mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan realisasi di 2020, yang sebesar 131,89 juta ton dari produksi 565,69 juta ton.
Namun, penyerapan ini masih belum sesuai dengan harapan pemerintah yang ditargetkan sebanyak 138 juta ton. “Membumbungnya harga batu bara ini menyebabkan disparitas harga dunia dengan harga DMO menjadi lebih besar. Dengan nalurinya, pengusaha jelas banyak memilih menjual batu bara ke luar negeri dengan harga di atas US$200 dari pada harus memasok ke dalam negeri dengan harga US$70,” imbuh Fahmy.
Karena kondisi ini, pemerintah melalui Kementerian ESDM lantas melarang pengusaha untuk mengekspor komoditas ini dari periode 1-31 Januari 2022. Kebijakan ini tertuang dalam surat nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 yang diterbitkan pada 31 Desember 2021 oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM.
Namun, kebijakan ini mendapatkan banyak protes dari kalangan pengusaha di dalam negeri dan juga produsen di seluruh dunia. Alhasil, peraturan ini hanya bertahan dua hari saja dan dicabut setelahnya. Sebagai gantinya, pemerintah memperbolehkan perusahaan tertentu saja untuk melakukan ekspor batu bara.
Realisasi Produksi Batubara 2014-2022
Tahun | Jumlah produksi |
2014 | 163,97 juta ton |
2015 | 461,29 juta ton |
2016 | 456,17 juta ton |
2017 | 461,36 juta ton |
2018 | 557,77 juta ton |
2019 | 616,16 juta ton |
2020 | 565,69 juta ton |
2021 | 610,03 juta ton |
2022 (September) | 432,95 juta ton |
Sumber: Minerba One Data Indonesia (MODI) (September 2020 - September 2022)
Bulan lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif kembali mengeluhkan kurangnya realisasi DMO oleh pengusaha. Dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR, dia mengungkapkan bahwa dari 123 perusahaan yang wajib menyetorkan batu bara, hanya 52 perusahaan saja yang melaksanakan kewajiban DMO. Sedangkan 71 sisanya masih belum melaksanakan kewajiban ini.
Adapun dari 123 perusahaan dengan total volume penugasan sebesar 18,89 juta ton, hingga Juli lalu realisasinya baru mencapai 8 juta ton dari 52 perusahaan. “Kementerian ESDM akan terus memantau komitmen 71 badan usaha yang belum atau tidak menjalankan penugasan, dengan memberikan sanksi,” kata dia di Komplek DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (9/8).
Sanksi yang dimaksud Arifin adalah berupa pemblokiran fitur ekspor dalam aplikasi Minerba Online Monitoring System (MOMS) bagi perusahaan pertambangan batu bara yang belum atau tidak menjalankan kewajiban ini. Apabila sudah terpenuhi, barulah pemerintah akan membuka blokir aplikasi secara otomatis.
Jika kondisi ini terus berlangsung, krisis energi akibat kurangnya pasokan batu bara bisa saja terjadi lagi. Pada 2021 saja, stockpile alias tempat penumpukan batu bara PT PLN (Persero) sudah berada di bawah level aman, yakni hanya di kisaran 2,2 juta metrik ton hingga 3,7 juta metrik ton.
Kondisi ini kemudian membaik pada Januari 2022, setelah Kementerian mengetatkan kebijakan batu bara. Pada periode ini, stok batu bara di stockpile meningkat menjadi 4,4 juta metrik ton. Hal ini terus berlanjut pada periode Februari hingga Juni, yang ada di kisaran 5,1 juta metrik ton hingga 5,7 metrik ton.
Pasokan seret
Sayangnya, memasuki semester-II 2022, pasokan batu bara PLN kembali seret. Hal ini terlihat dari efektivitas penugasan tambahan oleh Kementerian ESDM kepada perusahaan pertambangan batu bara yang masih di kisaran 45%, yakni sebesar 14,3 juta metrik ton dari total penugasan 31,8 juta metrik ton.
Perlu diketahui, sebelumnya Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo memang meminta tambahan pasokan batu bara kepada Kementerian ESDM guna memenuhi lonjakan kebutuhan emas hitam ini di sektor kelistrikan. Hal ini seiring dengan tren peningkatan permintaan (demand) listrik yang diperkirakan bakal melonjak hingga 5,3 TWH (terra watt hour) on top.
“Kami lakukan proses renegosiasi. Tadinya harus menghadapi oversupply, kami berhasil memundurkannya, sehingga dapat menurunkan produksi listrik dengan IPP, ini otomatis menurunkan take or pay kami diiringi peningkatan utilisasi pembangkit. Maka ada penambahan 7,7 juta MT,” jelas Darmawan, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Jumat (2/9).
Sementara itu, selain kebutuhan untuk kelistrikan dalam negeri, permintaan batu bara dari negara-negara di dunia pun turut melonjak. Seperti di China misalnya, tren konsumsi batu bara di negara ini menunjukkan peningkatan karena adanya lonjakan kapasitas pembangkit batu bara yang masih akan terus berlanjut hingga 2025 nanti.
Kemudian, negara lain seperti Jerman dan Belanda mengalami kenaikan kebutuhan batu bara karena mereka kembali mengaktivasi pembangkit batu bara untuk menutupi kekurangan pasokan gas mereka menjelang musim dingin.
“Dengan kondisi seperti ini, sedangkan produksi batu bara kita cenderung konstan, begitu juga dengan dunia, membuat harga batu bara terus mengalami kenaikan,” imbuh Darmawan.
Harga Acuan Batubara Indonesia 2020-2022 (US$ per Ton)
Periode |
2020 |
2021 |
2022 |
Januari |
|
75,84 |
158,5 |
Februari |
|
87,79 |
188,38 |
Maret |
|
84,47 |
203,69 |
April |
|
86,68 |
288,4 |
Mei |
|
89,74 |
275,64 |
Juni |
|
100,33 |
323,91 |
Juli |
|
115,35 |
319,00 |
Agustus |
50,34 |
130,99 |
321,59 |
September |
49,42 |
150,03 |
319,22 |
Oktober |
51 |
161,63 |
|
November |
55,71 |
215,01 |
|
Desember |
59,65 |
159,79 |
|
Sumber: Kementerian ESDM
“Tingginya harga batubara di pasar dunia ini membuat pengusaha tidak mau kehilangan momen untuk meraup untung lebih banyak,” kata Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, kepada Alinea.id, Minggu (4/9).
Hal ini pula yang membuat kewajiban DMO oleh perusahaan pertambangan batu bara masih belum terpenuhi. Musabab belum tercapainya kewajiban DMO oleh pengusaha ini, diamini pula oleh Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira, kepada Alinea.id, Senin (5/9). Apalagi, harga jual batu bara ke luar negeri jauh lebih tinggi, ketimbang harga yang dipatok dalam ketentuan DMO yang sebesar US$70 per metrik ton bagi industri kelistrikan dan US$90 untuk industri semen dan pupuk.
“Disparitasnya cukup tinggi. Makanya banyak yang lebih pilih ekspor. Yang lainnya seperti denda dan lainnya kan tidak balance, jadi orang mending bayar penalti daripada DMO,” kata dia.
Denda ringan
Denda yang diterapkan pemerintah, lanjut Angga, memang tergolong ringan. Dalam skema besaran penalti yang ditetapkan pemerintah melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 13 Tahun 2022, pemerintah akan mengenakan denda sebesar harga pasar ekspor yang saat ini berlaku, yakni sekitar US$400 dikurangi harga batu bara DMO yang sebesar US$70 per metrik ton bagi pengusaha yang telah berkontrak dengan PLN namun gagal memenuhi kewajiban DMO.
Dari perhitungannya, jika pengusaha mengekspor komoditas unggulan Indonesia ini dengan kalori 4.600, paling banyak akan didenda sebesar US$188 per ton. Sedangkan pengusaha yang tidak berkontrak, hanya akan dikenai kompensasi sebesar US$18 per ton.
“Jadi, ya mereka masih bisa mendapatkan untung, meskipun didenda. Ini harus diperketat aturannya,” jelas Angga.
Ketimpangan besaran denda dan kompensasi ini, kata Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, juga menyebabkan banyak pengusaha batu bara enggan berkontrak dengan PLN. Untuk itu, dirinya menyarankan agar pemerintah dapat mencabut atau merevisi aturan ini.
Di saat yang sama, untuk menjaga ketersedian batu bara nasional, pemerintah juga perlu mempercepat pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) batu bara. Hal ini sekaligus juga untuk menciptakan ekosistem industri batu bara yang sehat, berkesinambungan, serta adil.
“Pembentukan BLU batu bara perlu dilakukan supaya disparitas harga antara nilai jual dan kepada industri dan penerima manfaat dalam negeri dengan nilai jual ke luar negeri enggak menjadi alasan sulitnya memasok batu bara ke dalam negeri,” jelas Mamit.
Sebab, dengan adanya BLU, nantinya pemerintah melalui lembaga ini akan memungut iuran dari seluruh penambang. Iuran tersebut kemudian digunakan untuk membayar selisih harga bagi industri penerima manfaat Domestic Price Obligation (DPO), yaitu PLN. BLU diterapkan pula pada industri pengguna batu bara lainnya, seperti pupuk dan semen, kecuali smelter.
“Jadi, bagi PLN dan industri dalam negeri penerima manfaat, BLU membuat pasokan batu bara menjadi terjamin. Biaya produksi tidak mengalami kenaikan serta tidak ada resiko arus keuangan,” katanya.
Bagi produsen batu bara, kehadiran BLU membuat tidak ada lagi distorsi harga dan seluruh penambang gotong royong memikul beban kewajiban DMO. Sebab, melalui implementasi BLU, PLN bisa tetap membeli batu bara dengan harga US$70 per ton dan industri dalam negeri dengan US$90 per ton. Kemudian, BLU akan langsung membayar selisih harga pasar yang dikurangi US$70 per metrik ton, dengan uang hasil iuran dari para penambang batu bara sesuai dengan volume penjualan dan nilai kalori emas hitam mereka.
Melalui implementasi BLU, lanjut Mamit, juga akan meringankan beban fiskal pemerintah sekaligus juga menjaga menjaga agar tarif dasar listrik tidak melonjak. “Pada akhirnya, nggak akan ada lagi kenaikan harga barang yang disebabkan kenaikan atau kelangkaan batu bara bagi industri dalam negeri,” tegasnya.
Kehadiran BLU batu bara juga menjadi satu hal yang ditunggu-tunggu oleh industri. Pada kesempatan lain Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai, lembaga ini dapat menjadi solusi permanen atas permasalah pasokan batu bara domestik yang berulang kali terjadi.
“Sehingga dengan skema BLU DMO batu bara, diharapkan PLN tidak dirugikan dan penambang juga dapat level playing field dan masyarakat mendapatkan listrik yang terjangkau,” kata dia, kepada Alinea.id, Senin (5/9).
Namun demikian, dia mengingatkan agar pemerintah dapat bijak dalam menerapkan hal-hal teknis dalam BLU, misalnya aturan terkait tarif pungutan dan kompensasi, skema penagihan dan skema penyaluran, serta kesiapan dari institusi BLU itu sendiri. Tidak hanya itu, dalam pembahasan terkait skema ini, Hendra juga meminta agar melibatkan penambang.
“Agar nantinya dalam pelaksanaannya, perusahaan tidak dirugikan dan PLN juga tidak dirugikan,” imbuhnya.
Dalam kesempatan lain, Ketua Umum Aspebindo Anggawira juga meminta agar pemerintah segera merealisasikan pembentukan BLU ini. Sebab, semakin cepat lembaga ini dibentuk, krisis batu bara akan semakin dapat dihindari. Apalagi, pemerintah juga telah lama mewacanakan pembentukan lembaga ini dan berencana mengesahkan lembaga ini pada 1 September 2022.
“Tapi kenyataannya sampai sekarang, belum juga terbentuk. Bahkan pemerintah juga belum menyampaikan dan menyosialisasikan skema atau besaran pungutan BLU ini kepada kami (pengusaha-red),” bebernya.
Butuh payung hukum
Sementara itu, mengingat pentingnya fungsi BLU, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyarankan agar payung hukum BLU dapat berupa peraturan pemerintah (PP), alih-alih Peraturan Presiden (Perpres). Pasalnya, dengan berstatus PP, BLU dapat terus berjalan tanpa ada intervensi untuk mengubah aturan tersebut, meskipun ada pergantian pemerintah. Belum lagi, PP bersifat lebih mengikat dan lebih tinggi dibandingkan Perpres.
Namun, yang terpenting, pemerintah juga harus memperhatikan sistem pengendalian internal BLU. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya fraud atau kegagalan oleh BLU yang disebabkan oleh internal lembaga.
“Apalagi kita tahu, bahwa BLU ini adalah bentuk baru, terutama kalau kita bicara konteks untuk kasus supply batubara,” kata Yusuf, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (3/9).
Sementara itu, sebelumnya Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan, sampai saat ini pengambil kebijakan masih berdebat, apakah BLU akan berada di bawah payung hukum PP atau Perpres. Meskipun di internal pihaknya telah menyiapkan aturan turunan berupa Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri. Begitupun dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait tarif pungutan juga telah dibahas secara paralel.
“Tapi, karena belum ada payung hukumnya, BLU belum bisa dilaksanakan,” katanya, Selasa (9/8) lalu.
Untuk mempercepat proses pembentukan lembaga yang memiliki tugas serupa dengan BPDKS (Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit) ini, pihaknya telah bersurat ke Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).
Adapun skema penghimpunan dan penyaluran dana kompensasi DMO yang bakal dilakukan oleh BLU yakni pengguna batu bara baik dari sektor kelistrikan, pupuk, maupun semen, harus menyampaikan rencana penggunaan kebutuhan batu bara selama setahun, yang akan di-review setiap tiga bulan kepada BLU.
Realisasi DMO Batubara 2014-2022
Tahun | Realisasi DMO |
2014 | 0 |
2015 | 0 |
2016 | 0 |
2017 | 97,03 juta ton |
2018 | 155,08 juta ton |
2019 | 138,42 juta ton |
2020 | 131,89 juta ton |
2021 | 133,04 juta ton |
2022 (September) | 54,03 juta ton |
Sumber: Minerba One Data Indonesia (MODI) (September 2020 - September 2022)
Terpisah, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaludin mengungkapkan, kelembagaan BLU kemungkinan akan dijalankan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi alias Lemigas. Dengan demikian, nantinya bakal ada penambahan tugas pokok dan fungsi untuk lembaga ini.
“Masih berproses di Kementerian PAN-RB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi-red),” katanya singkat, kepada Alinea.id, Senin (5/9).