Rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) per 1 Juli 2021 di saat industri sedang dihadapkan pada krisis kesehatan global, dipandang sebagai langkah yang kurang bijaksana.
Hal ini dapat berpotensi melemahkan kemampuan industri untuk bertahan dan berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi nasional, lebih-lebih ketidakpastian meningkat seiring dengan peningkatan kasus Covid-19 di dalam negeri.
Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman mengatakan, industri makanan dan minuman (mamin) berupaya untuk bertahan di tengah penurunan kesehatan karyawan yang berdampak pada produktivitas kerja, melemahnya daya beli masyarakat, tantangan logistik dan kenaikan harga komoditas pangan dunia.
Industri mamin, lanjutnya, sangat rentan terhadap situasi yang diakibatkan oleh pandemi dan kebijakan apapun yang akan diambil oleh pemerintah. Baik kebijakan yang terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 maupun kebijakan yang terkait dengan industri.
"Perubahan kebijakan atau kebijakan baru yang berpotensi menambah biaya produksi, akan memberikan tambahan beban yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan industri mamin," ucapnya.
Lebih lagi, rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 20% dalam waktu dekat, dianggap sedikit banyak akan berpengaruh pada PDB, konsumsi rumah tangga, dan inflasi. Hal tersebut dikarenakan konsumsi rumah tangga merupakan salah satu penggerak utama perekonomian nasional.
Sedangkan secara sektor, kenaikan TDL diestimasikan berdampak negatif terhadap output industri, dan daya saing produk yang dihasilkan di dalam negeri sekaligus membebani konsumen.
“Dengan situasi seperti ini, bila benar kebijakan tersebut akan diterapkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), ini akan menjadi pukulan dan beban yang sangat berat bagi industri makanan dan minuman," ujarnya.
Selama ini, biaya listrik bagi Industri di Indonesia terutama bagi industri makanan dan minuman berkontribusi sekitar 3% dari Harga Pokok Produksi.
Bila PLN berencana untuk menaikkan 20% maka, biaya produksi untuk industri makanan dan minuman akan naik sekitar 0.6%.
“Kenaikan biaya produksi ini mau tidak tidak mau akan berpengaruh pada harga produk yang akan meningkat, dimana produk mamin sangat sensitif terhadap harga," kata dia.
Pada akhirnya, sambung Adhi, biaya ini akan menjadi beban dari masyarakat umum, yang saat ini masih terkena imbas dari pandemi Covid-19 di mana daya beli dan kemampuan ekonomi masih tidak lebih baik.
Juga kenaikan TDL akan berpengaruh terhadap rantai pasok keseluruhan, sehingga pemasok juga akan mengalami biaya produksi seperti industri kemasan, plastik, kaleng, gelas, dan lain-lain, yang mana industri ini lebih banyak mengonsumsi listrik.
Untuk itu Adhi menyarankan agar rencana kenaikan TDL bagi industri sebaiknya ditinjau ulang, apalagi adanya isu kenaikan harga komoditas pangan seperti biji-bijian dan sumber protein lainnya.
"Ada baiknya dilakukan upaya bersama oleh industri, pemerintah dan lembaga terkait untuk mencari solusi yang lebih tepat untuk mengatasi situasi dan kondisi yang tidak kondusif saat ini," tuturnya.
Berdasarkan studi ilmiah, menurutnya, akan lebih bermanfaat terhadap ekonomi nasional apabila pemerintah dapat meningkatkan efisiensi produksi pada sektor kelistrikan.
Bahkan, apabila sektor tersebut dapat meningkatkan efisiensi sebesar 10%, maka dapat berkontribusi terhadap peningkatan PDB sebesar 0,34%-0,57%. Selain itu, efisiensi 10% dapat memberikan dampak yang sangat luar biasa positif terhadap indikator perekonomian lainnya.