Garuda Indonesia catat laba bersih kuartal I-2019 US$19,7 juta
Maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) berhasil mengantongi laba bersih senilai US$19,7 juta pada kuartal I-2019. Pada periode yang sama tahun lalu, Garuda justru mencatat rugi bersih US$64,3 juta.
VP Corporate Secretary Garuda Indonesia, M. Ikhsan Rosan mengatakan pertumbuhan laba tersebut sejalan dengan pertumbuhan pendapatan perseroan.
Maskapai plat merah tersebut berhasil mencatatkan peningkatan pendapatan usaha sebesar 11,9% menjadi US$1,09 miliar pada kuartal I-2019. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, perseroan hanya mencatat pendapatan US$ 983,01 juta.
Menurut Ikhsan, kinerja positif tersebut turut ditunjang oleh lini pendapatan layanan penerbangan berjadwal sebesar US$924,9 juta, tumbuh sebesar 11,6% dibandingkan periode yang sama di kuartal I-2018.
Selain itu, perseroan juga mencatatkan pertumbuhan signifikan pada kinerja ancillary revenue dan pendapatan anak usaha lainnya sebesar 27,5% dengan pendapatan mencapai US$171,8 juta.
"Outlook kinerja positif yang dicapai perseroan turut sejalan dengan strategi bisnis jangka pendek Garuda Indonesia bertajuk Quick Wins Priorities dalam menunjang akselerasi bisnis perusahaan yang berfokus pada tiga hal, yaitu transformasi budaya perusahaan melalui pengembangan SDM, proses, dan teknologi," kata Ikhsan dalam siaran pers yang diterima Alinea.id, Rabu (24/4).
Kinerja terbaik dalam 16 tahun
Sebelumnya, mantan Komisaris Utama PT Garuda Indonesia Tbk., Agus Santoso menampik anggapan pihak tertentu yang menyatakan bahwa kondisi maskapai pelat merah itu morat marit atau terus mengalami kerugian. Komisaris yang diberhentikan pada RUPST Garuda itu juga menyebut, faktanya di era pemerintahan Joko Widodo, kondisi keuangan perusahaan justru terus membaik.
Agus mengatakan pendapatan perusahan (revenue) pada 2018 mencapai US$4,373 miliar, atau tertinggi selama 16 tahun terakhir.
"Dengan kata lain, di bawah kepemimpinan Menteri BUMN Rini Sumarno dalam Kabinet Kerja Presiden Jokowi, Garuda tidak memperlihatkan tanda tanda kinerja keuangan yang morat marit," ujar Agus.
Agus mengungkapkan, kinerja keuangan perusahaan tahun 2014 waktu pergantian pemerintahan memang tidak begitu bagus. Namun demikian, persero terus melakukan upaya perbaikan.
"Dalam RUPS tahun 2015 untuk kinerja operasi dan keuangan tahun buku 2014, Garuda mewarisi kinerja Keuangan dari era pemerintahan yang lalu yang mencatat kerugian sebesar US$371,4 juta dollar," kata Agus.
Namun demikian, kata Agus, direksi di bawah pimpinan Direktur Utama Garuda Indonesia Arif Wibowo melakukan perbaikan sehingga pada 2015 Garuda Indonesia mencatat laba US$76,48 juta, kemudian pada 2019 sebesar US$9,4 juta.
Sayangnya, kata Agus, pada kepemimpinan Pahala Mansyuri, Garuda mencatat rugi US$213,4 juta pada 2017. Hal ini disebabkan karena Garuda menyelesaikan masalah masa lalunya dengan membayar tax amnesty dan denda pengadilan Australia US$145,8 juta atau dengan rugi US$67,6 juta.
"Rugi ini terjadi sebagian, karena Garuda menyelesaikan masalah utang pajak masa lalu-nya dengan ikuti program tax amnesty," tutur Agus.
Lalu, pimpinan perusahaan yang baru dilantik oleh Menteri BUMN Rini Soemarno pada 2018, yakni Ari Askara sebagai direktur utama dan Agus Santoso sebagai komisaris utama mewarisi pekerjaan besar untuk menyelesaikan beban kerugian tiga triwulan di tahun 2018 hingga US$110 juta.
"Namun dalam 3 bulan berjalan kami memimpin Garuda mencatat untung US$115,250 juta sehingga selama 2018 pun masih ada keuntungan US$5,018 juta dollar. Pada kuartal I-2019 saja sudah untung US$19,738 juta," tutur Agus.
Yield management
Pengamat dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soejatman menyatakan untuk mengimbangi biaya operasional yang mahal, maskapai penerbangan seperti Garuda Indonesia bisa menerapkan yield management modern.
Caranya, maskapai bisa mematok harga tiket pesawat lebih tinggi untuk pemesanan penerbangan dalam waktu dekat (last minute). Sementara, maskapai bisa memberi harga murah pada penumpang yang memesan tiket jauh dari hari keberangkatan. Menurut Gerry, hal ini sudah diterapkan di Eropa.
Selain itu, benua biru tersebut juga lebih fokus dalam mengembangkan industri penerbangan murah (low cost carrier/LCC). Sebab, maskapai LCC lebih efisien dalam biaya, namun lebih banyak mengangkut penumpang.
"Efisiensi bisnis penerbangan bisa dilakukan dengan seiring dengan peningkatan volume penumpang," kata dia.
Di sisi lain, Gerry menilai sebenarnya harga avtur bukan lah satu-satunya yang menyebabkan biaya operasional maskapai menjadi mahal.
Biaya operasional rata-rata setiap maskapai penerbangan, kata Gerry untuk menggaji karyawan, biaya kantor, dan biaya pesawat porsinya 50% - 60%. Sementara sisanya atau 40% untuk bahan bakar.
"Jadi kalau maskapai pangkas kapasitasnya (harga tiket pesawat), bahan bakar juga dipangkas, kenaikan (harga tiket pesawat) tidak sebesar pemangkasannya," kata Gerry.
Pada Januari 2019, komponen avtur Garuda lebih tinggi 10% dibandingkan kebutuhan avtur pada 2018. Sementara untuk Citilink, kebutuhan avtur pada 2019 perbandingannya hanya 9% jika dibandingkan kebutuhan pada 2018.