Maskapai penerbangan pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menerbitkan surat utang senilai US$750 juta, setara Rp10,2 triliun.
Emisi obligasi global tersebut akan digunakan untuk membiayai kembali pinjaman jangka pendek yang segera jatuh tempo. Nilai emisi obligasi tercatat lebih dari 80% dari total ekuitas perseroan.
Direktur Keuangan & Manajemen Risiko Garuda Indonesia Linggarsari Suharso, mengatakan perseroan akan melaksanakan penerbitan global bond dengan jumlah maksimum US$750 juta. Penerbitan global bond akan dilakukan kepada investor di luar negeri, maupun di Indonesia.
"Adapun secara persentase total rencana nilai transaksi terhadap total ekuitas perseroan adalah sebesar 80%," ungkapnya dalam keterangan resmi, Selasa (13/3).
Nilai transaksi tersebut terbilang material, sehingga emiten berkode saham GIAA itu akan meminta restu pemegang saham. Total ekuitas perseroan sebesar US$937,4 juta per akhir 2017.
Dalam prospektus ringkas yang dirilis perseroan, disebutkan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) segera digelar pada 19 April 2018. Manajemen menyebut tujuan penerbitan obligasi global adalah untuk keperluan refinancing utang jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk untuk modal kerja.
Tercatat, utang jangka panjang Garuda Indonesia mencapai US$636 juta dan jangka pendek US$1,08 miliar. Nantinya, dana hasil emisi obligasi bakal digunakan untuk reprofiling utang sehingga proporsi utang jangka panjang tidak akan lebih kecil dibandingkan dengan proporsi pinjaman jangka pendek.
Pokok obligasi akan dibayarkan seluruhnya dan sekaligus pada tanggal jatuh tempo paling lambat pada 2023. Bunga akan dibayarkan setiap 6 bulan sekali. Obligasi diterbitkan tanpa jaminan.
Garuda Indonesia menunjuk joint lead manager dalam emisi obligasi global ini adalah Australia and New Zealand Banking Group (ANZ), Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ (BTMU), Deutsche Bank (BD), dan Standard Chartered Bank (SCB).
"Transaksi tidak akan menambah total pinjaman jangka panjang perseroan secara material dan akan memperpanjang profil jatuh tempo utang perseroan yang akan mendukung rencana pertumbuhan perseroan," tulisnya.
Hingga akhir 2017, Garuda Indonesia membukukan rugi bersih senilai US$216,5 juta setara dengan Rp2,96 triliun. Pendapatan usaha perseroan naik tipis dari US$3,86 miliar menjadi US$4,17 miliar pada akhir 2017.