Gawat! Coronavirus pukul pariwisata Indonesia
Januari 2020, Li Wenliang, dokter salah satu rumah sakit di Kota Wuhan, China harus berurusan dengan pihak kepolisian lantaran diduga telah menyebarkan isu bohong terkait virus mematikan yang membuat gaduh satu negara.
Li dan delapan rekan sejawatnya dipaksa menandatangani surat pengakuan bahwa apa yang dikatakannya itu salah. Pemerintah China, kala itu, masih berupaya membungkam siapapun yang berani angkat bicara soal penyebaran virus yang belakangan diketahui bernama corona tersebut.
Setelah virus ini merebak, menjangkiti, dan membunuh ratusan orang, barulah pemerintah Tiongkok memberikan peringatan warganya untuk berhati-hati terhadap coronavirus.
Kota Wuhan yang dipercaya sebagai distrik awal wabah pneumonia itu ‘menetas’ diisolasi. Tidak ada satupun orang yang boleh keluar ataupun masuk kota ini. Siapapun, tidak peduli warga asli, pendatang, atau bahkan turis.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada Kamis (30/1) waktu setempat akhirnya menetapkan virus yang kini bernama COVID-19 (Coronavirus disease) itu sebagai kondisi gawat darurat global. Langkah ini ditetapkan menyusul jumlah korban tewas yang terus bertambah—saat itu angkanya sudah mencapai 213 orang.
Penetapan status gawat darurat itu langsung menimbulkan reaksi pemerintah dari pelbagai negara untuk menutup penerbangan dari dan menuju ke China. Indonesia sendiri masih adem ayem saat itu. Padahal, masyarakat sudah mulai khawatir akan masifnya penyebaran virus corona.
Berbagai pertimbangan masih dipikirkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi terkait dampak penutupan penerbangan dari dan ke China. Baru setelah menggelar rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo pada Minggu (2/2), sebuah keputusan penting pun akhirnya diteken.
Budi bersama dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yosanna Laoly, dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, secara resmi mengumumkan penutupan penerbangan dari dan ke China.
Keputusan ini diambil sebagai langkah antisipasi pemerintah untuk memproteksi warganya dari wabah virus Corona. Penutupan dilakukan sampai batas waktu yang tidak ditentukan, atau setidak-tidaknya sampai vaksin virus corona ditemukan.
“Penerbangan langsung dari dan ke Mainland RRT (Republik Rakyat Tiongkok/China) ditunda sementara mulai Rabu (5/2), pukul 00.00 WIB,” kata Retno Marsudi di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu (2/2).
Hantam pariwisata
Pascakeputusan tersebut, kekhawatiran masyarakat Indonesia akan penyebaran COVID-19 sedikit mereda. Namun, satu masalah lain bertunas setelahnya; sejumlah industri termasuk pariwisata, transportasi, dan manufaktur terancam kehilangan penghasilan puluhan triliun rupiah atas keputusan tersebut.
Industri pariwisata jadi ‘korban’ paling sial dalam hal ini. Bagaimana tidak, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun lalu, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) asal China ke Indonesia menjadi yang terbanyak kedua setelah Malaysia, dengan total kunjungan sebanyak 2,07 juta orang.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Wishnutama Kusbandio bahkan memprediksi, indstri pariwisata bakal menanggung kerugian sebesar US$4 miliar, setara Rp54,6 triliun (asumsi kurs Rp13.650 per dolar AS).
“Kalau dihitung dari segi devisa karena ASPA-nya (Average Spending Per Arrival) mereka US$1.400 (setara Rp19,1 juta) ‘kan berarti hampir US$4 miliar dari China saja,” kata Wishnutama seperti dinukil Antara di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, tak lama setelah keputusan penutupan penerbangan itu.
Beberapa wilayah yang paling terpukul dengan lenyapnya wisman Tiongkok antara lain, Bali, Manado, Padang dan Jakarta. Keempat wilayah tersebut, menurut Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, merupakan destinasi favorit wisman China yang datang ke Indonesia.
Bali menggarap hampir dari setengah wisman China yang datang ke Indonesia dengan total 1,2 juta kunjungan pada akhir tahun lalu. Karena itu—kendatipun tujuan penutupan penerbangan dari dan ke China baik belaka—sudah barang tentu Bali-lah yang akan menjadi paling ‘apes’ atas keputusan tersebut.
Belum lagi masalahnya, kata Maulana, ke depan bukan hanya wisman China saja yang bakal hilang, tapi juga wisman dari negara-negara lain.
“Kalau ini berlarut-larut bukan cuma (wisman) China saja yang hilang, tapi juga negara-negara lain. Namanya shocking period, jadi kayak Kuala Lumpur (Malaysia), Singapura, dan negara lain itu pasti waspada sekarang,” katanya saat berbincang dengan Alinea.id pekan lalu.
Bali sayang, Bali malang
Dampak penutupan penerbangan itu pun mulai terasa sekarang. General Manager Brits Hotel and Resort Bali mengaku, hotel yang dikelolanya sudah mengalami penurunan okupansi sebesar 30%-40%.
Padahal, kata dia, biasanya okupansi di Hotel Brits, Bali selalu stabil pada kisaran 90%. Namun belakangan, setelah adanya wabah virus corona, lebih-lebih dilakukan penutupan penerbangan dari dan ke China, okupansi hotelnya hanya mampu menyentuh angka 60%-69%.
“Karena ‘kan bukan market China aja tuh yang kena (dampak virus corona). Market India juga ada yang merasa takut juga, postpone (menunda) paling tidak. Terus market yang lain juga karena stop over-nya (transitnya) di Singapura akhirnya juga enggak jadi (datang ke Bali),” kata Penny saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Penurunan okupansi juga mulai terasa di Hotel Horison Ultima Seminyak, Bali sejak awal Februari. Tetapi, menurut Dahlia Panjaitan, General Manager Hotel Horison Ultima Seminyak, penurunan okupansi ini lebih karena siklus tahunan low season, bukan lantaran dampak virus corona secara langsung.
Low season di industri pariwisata sendiri umumnya terjadi pada periode November–Maret, kecuali Desember saat perayaan Tahun Baru. Makanya, kata Dahlia, Hotel Horison belum merasakan dampak yang terlalu signifikan dari virus corona.
“Penurunan ada, tapi enggak terlalu signifikan sih. Karena low seasons saja, bukan karena corona. Memang hotel kami market China-nya sedikit sekali,” tuturnya pekan lalu.
Namun begitu, Dahlia tetap mengkhawatirkan adanya dampak jangka panjang dari virus corona dan penutupan penerbangan dari dan ke China. Cabutnya wisman China dan negara-negara lain akibat virus corona bakal membuat ‘kue’ bisnis perhotelan di Bali semakin kecil.
Dengan begitu, sudah barang tentu pasar yang kecil ini bakal kian diperebutkan. Saling tarik menarik pengunjung antara pengusaha hotel adalah sebuah keniscayaan.
“Gambarannya gini aja, China itu ‘kan market di Bali itu sekitar 26%. Jadi tiba-tiba 26% itu menghilang dari pasar ya pasti pengaruh. Karena market yang ada itu akan jadi rebutan. Cake yang ada itu makin mengecil,” terang dia.
Pemerintah didesak bergerak cepat
Setali tiga uang dengan Dahlia, kekhawatiran akan dampak jangka panjang dari coronavirus ini juga disampaikan Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata (ASITA), Budijanto Ardiansjah.
Menurut Budijanto, dampak jangka panjang virus corona justru jauh lebih berbahaya bagi pergerakan ekonomi nasional, terutama di sektor pariwisata. Dia mengajak berhitung, jika pergerakan wisman China ke Indonesia setiap bulan sekitar 200.000-250.000 orang, maka dalam enam bulan saja, Indonesia akan kehilangan 1,5 juta wisman.
“Nah, kalau pengularan mereka rata-rata US$300-US$500 per orang per kunjungan, sudah berapa itu potential lost kita?” terangnya.
Untuk itu, Budijanto mengimbau agar pemerintah segera mencari solusi untuk bisa menambal potential lost tersebut. Salah satu caranya, kata dia, adalah dengan mencari pasar baru ke negara yang belum digarap.
Namun, cara ini cukup sulit mengingat urusan birokrasi dan administrasi perizinan dalam industri penerbangan akan sangat rumit. Cara lain yang disarankan Budijanto adalah dengan mengaktifkan pasar domestik.
“Nah, kemarin kita sudah kasih saran juga supaya pemerintah harus segera memanggil maskapai dan asosiasi untuk duduk bersama-sama untuk menawarkan harga terbaik untuk penerbangan dalam negeri. Supaya pariwisata domestiknya hidup kembali. Kita survive dululah untuk masa ini,” ungkap dia saat dihubungi secara terpisah.
Hal senada juga disampaikan Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati. Enny menilai, strategi yang paling masuk akal untuk dilakukan pemerintah guna menutup potensi kerugian triliunan rupiah itu adalah dengan menggenjot pasar wisatawan nusantara (wisnus).
Pemerintah harus fokus terlebih dahulu pada penurunan harga tiket pesawat agar kompetisi pariwisata di Tanah Air jauh lebih menarik dibandingkan dengan luar negeri. Sebab, kata dia, permasalahan Indonesia selama ini adalah harga tiket pesawat domestik yang justru jauh lebih mahal dibandingkan tiket internasional.
“Itu ‘kan masalahnya tahun lalu juga begitu. Banyak yang komplain ‘kan itu harga tiket pesawat (domestik). Jadi itu dululah yang diurus,” terang Enny pada kesempatan lain.
Sementara itu, Sekertaris Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Susiwijono mengatakan bahwa saat ini pemerintah sudah melakukan komunikasi dengan para pemangku kebijakan untuk bisa mengatasi masalah yang timbul akibat virus corona.
Sejumlah stakeholder terkait termasuk asosiasi, industri, dan para pemangku kebijakan telah duduk bersama-sama untuk menemukan solusi dari permasalahan coronavirus. Khusus di sektor pariwisata, pemerintah sudah mengajak para direksi perusahaan penerbangan untuk sama-sama mengantisipasi adanya kekosongan kursi pesawat yang bakal ditinggalkan turis China.
“Jadi kemarin dari temen airlines sudah menyampaikan, itu kira-kira 2,1 miliar seat dari Tiongkok saja. Kami masih cari solusinya. Ya (penurunan harga tiket pesawat) masih dipertimbangkan,” katanya saat ditemui Alinea.id usai acara diskusi radio di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu (12/2).
Sebagai tambahan, sampai artikel ini ditulis, virus corona sudah menjangkit 64.447 orang di seluruh dunia. Sebanyak 1.492 di antaranya meninggal dunia, sementara 7.081 kasus berhasil disembuhkan. Angka kematian terbanyak terjadi di Provinsi Hubei, China dengan total 1.318 kematian.