Perubahan gaya hidup konsumen membuat mal di Jakarta dan sekitarnya semakin sepi bahkan hingga ditutup.
Penutupan beberapa pusat perbelanjaan akibat dari kinerja penjualan di sektor ritel yang menurun, masih menyisakan tekanan bagi industri ritel hingga kuartal III-2019.
Riset dari Colliers International menunjukkan tingkat okupansi ritel di Jakarta menunjukkan tren penurunan sebesar 1,1% Quarter-on-Quarter (QoQ), menjadi 80,2% pada kuartal III-2019.
Senior Associate Director Colliers Indonesia Ferry Salanto, mengatakan pusat perbelanjaan untuk kalangan menengah-atas akan mendorong kinerja industri retail di Jakarta dengan tingkat okupansi yang relatif stabil di atas 90%.
"Sementara kinerja okupansi pusat perbelanjaan untuk kelas menengah dan kelas bawah mengalami penurunan masing-masing 2% QoQ. Saat ini tercatat tingkat okupansi masing-masing pusat perbelanjaan tersebut berada di angka 76,6% dan 69,7%," tutur Ferry di Jakarta, Rabu (9/10).
Tren yang sama ditunjukkan oleh kinerja ritel di area Jabodetabek yang mengalami penurunan okupansi sebesar 1,3% QoQ menjadi 80,2% pada kuartal III-2019. Sementara untuk kinerja pusat perbelanjaan kalangan menengah atas di area Jabodetabek, tak mengalami perubahan atau flat dengan tingkat okupansi tinggi sebesar 95,5% di kuartal III-2019.
"Berdasarkan asumsi kami, akan ada banyak ruang kosong di mal-mal baru di akhir 2019. Kami memprediksi okupansi di pusat perbelanjaan Jakarta akan menurun lagi sebesar 1,1% QoQ hingga akhir 2019, sementara untuk okupansi pusat perbelanjaan di Jabodetabek akan menurun sebesar 2,4% hingga akhir 2019," kata Ferry.
Ferry menuturkan, peritel memang menghadapi kecemasan dengan situasi yang ada saat ini, di mana margin keuntungan semakin tertekan akibat dari berkurangnya permintaan dan biaya operasi yang semakin meningkat.
Ferry juga melihat adanya perubahan perilaku konsumen yang cenderung menjadikan mal sebagai bagian dari gaya hidup. Ferry melanjutkan, sektor ritel mau tak mau harus mengikuti dinamika pasar.
"Pusat perbelanjaan yang terus melakukan perubahan okupansinya terus membaik. Kami melihat pusat perbelanjaan kelas atas juga cenderung membaik, tetapi, kelas bawah cenderung statis, mungkin karena rentalnya kurang," tutur Ferry.
Ferry pun menyarankan pemilik pusat perbelanjaan melakukan penataan ulang pada ruang yang ada. Ferry mengatakan pemilik pusat perbelanjaan harus mengoptimalkan banyaknya campuran penyewa.
"Ruang kerja bersama seperti co-working bisa menjadi gaya hidup dan juga meningkatkan serapan," kata Ferry.
Selain itu, Ferry menuturkan pengusaha ritel juga perlu memanfaatkan teknologi yang akan mendorong pembelian yang lebih impulsif. "Ciptakan ruang pasar dengan cara yang kreatif bukan mengganggu pasar yang ada," tutur Ferry.
Selain itu, lanjut Ferry, konsumen saat ini juga lebih tertarik dengan konsep ritel grab and go. Apalagi, dengan beroperasinya Mass Rapid Transit (MRT) dan dengan adanya sistem transportasi yang terintegrasi ke depannya, konsep Grab and Go akan menjadi tren ke depan.
"Untuk menghemat waktu dan tenaga, toko-toko tanpa kasir dan terhubung dengan aplikasi smartphone diperkirakan akan menjamur di Jakarta dan Bodetabek," ujar Ferry.
Ferry memprediksi, akan ada 1,2 juta meter persegi total pasok ritel yang akan beroperasi pada 2019 hingga 2023. Dari total pasok tersebut, 60% akan berada di wilayah Bodetabek.