Geliat bisnis ikan cupang, dari harga puluhan ribu hingga jutaan
Awal tahun ini, Abdurrachman (30) mendapat ‘warisan’ ikan cupang dari adiknya yang sudah bosan dengan beberapa ikan hias koleksinya. Awalnya, pria yang akrab disapa Dul ini tak berniat memelihara ikan-ikan tersebut secara serius.
Namun, lambat laun Dul justru ketagihan dan menjadikan ikan cupangnya sebagai pengisi waktu luang. Apalagi semenjak pandemi ia kerap bekerja dari rumah jika mendapat jatah WFH (Work From Home).
“Gue enggak ngerti apakah bisa hilangin stres atau enggak, tapi nambah beban pekerjaan, iya. Lo harus ganti air dan kasih makan. Dulu bisa jalan-jalan tiga hari enggak pulang. Sekarang gua kepikiran kalau enggak pulang ikan enggak dikasih makan. Cuma ada kesenangan sendiri ketika ikannya sudah bagus. Kadang suka ngeliatin ikan berenang,” ungkapnya kepada Alinea.id, Jumat (16/10).
Pria yang berprofesi sebagai pewarta foto ini kerap membagikan foto-foto koleksinya di media sosial. Kini, ia telah memiliki 80 ekor cupang di rumahnya. Beberapa jenis cupang yang dipeliharanya adalah Nemo, Avatar, dan Blue Samurai.
“Dari seratus ekor, paling tinggi dua puluh persen yang harganya bagus. Kayak judi ibaratnya. Boleh jadi ikan lu bagus, tapi turunannya belum tentu bagus. Kesenangan gue malah di situ. Apapun yang lu hasilkan akan beda dengan orang lain sih,” katanya.
Dul mengaku ikan-ikan yang dibelinya bukanlah termasuk cupang dengan kelas (grade) yang tinggi. Meskipun demikian, ia pernah merogoh kocek hingga Rp1 juta untuk membeli beberapa ekor ikan beserta kebutuhan lainnya. Jumlah ini masih jauh dibanding temannya yang membelanjakan uang hingga puluhan juta rupiah demi menambah koleksi cupang.
“Paling beli pakan alternatif doang, sesekali beli ikan. Kayak ikan gua beli Rp200-300 ribu per ekor, pokoknya ratusan ribu lah ya. Sekedar pengin nambah kokeksi saja. Kalau pakan bisa nyari di sawah kayak kutu air dan jentik nyamuk. Tanpa ngeluarin modal pun bisa,” terangnya.
Menurutnya, ketelatenan menjadi kunci sukses untuk membudidayakan ikan hias. Warga Bogor, Jawa Barat ini mengaku masih perlu banyak belajar dalam menekuni hobi barunya. Untuk itu, ia kerap menonton video Youtube mengenai cupang, hingga mengikuti komunitas pencinta cupang untuk menyerap lebih banyak ilmu ‘percupangan’. Selain itu, Dul juga masih mencoba-coba teknik dan metode untuk mengembangbiakkan sekaligus meningkatkan kualitas fisik cupang piaraannya.
“Gua enggak berani jual karena di pasar lebih kepercayaan sih. Perlu membangun nama juga. Gua punya ikan jenis ini, keunikannya apa? Paling penting ngebangun nama dulu. Ketika nama lo jadi, lo ngejual apapun gampang,” jelas ayah satu anak ini.
Untuk mendapatkan cupang dengan kelas yang tinggi, kata Dul, para penggiat biasa mendapatkannya langsung dari peternak, pelelangan ikan hias, maupun jual-beli antar anggota komunitas.
“Memang enggak ada (ikan kelas premium) di pasaran. Pasar-pasar ikan kayak Parung (Bogor, Jawa Barat), Jatinegara (Jakarta), mereka pasti ikannya yang murah kayak Grade B, paling mentok Grade A. Harganya masih puluhan ribu kan, enggak ada yang sampai ratusan ribu. Ratusan ribu itu bawa nama sendiri,” ungkapnya.
Berbeda dengan Dul, M. Faadhillah Ammar (17) telah menekuni hobi ikan cupang sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hobinya berawal dari kesukaannya melihat kompetisi cupang aduan yang digeluti oleh tetangga rumahnya. Ia pun terpikat dengan sifat ikan cupang yang agresif dan suka berkelahi tersebut.
“Pas kita cari cupang aduan enggak dapat, cuma dapatnya yang ekor panjang, Half Moon. Awalnya kita beli dua ekor. Enggak jauh dari situ ada toko lagi. Semenjak dari situ, kita diajari cara ternak dan pelihara cupang yang benar," tutur Ammar melalui sambungan telepon, Rabu (14/10).
Melihat pamor cupang hias yang tengah naik daun, Ammar memutuskan terjun ke bisnis ikan cupang hias. Ia berternak cupang dari rumahnya yang berada di Bukit Cimanggu City, Kota Bogor, Jawa Barat. Kini, peternakan cupang miliknya telah memproduksi sekitar 5.000 ekor cupang. Ia juga bermitra dengan ‘gurunya’ yang mengajarinya berbisnis cupang.
"Awalnya mulai ternak. Satu tahun enggak bisa breed (membiakkan) sama sekali. Baru setahun kebelakang ternakin cupang,” tambahnya.
Hingga saat ini, ia masih mengelola peternakannya secara mandiri. Sesekali ia meminta bantuan orang-orang disekitarnya untuk melakukan pengepakan ikan yang akan dikirim kepada pelanggannya.
Menurutnya, kualitas air menjadi kunci bagi keberhasilan pemeliharaan ikan cupang. Begitu juga dengan pakan yang mempengaruhi pertumbuhan ikan cupang. Ia sendiri lebih memilih pakan alami untuk menjaga kualitas ikan yang habitat aslinya berada di alam liar tersebut.
“Pertama belajar dari pengalaman dan banyakin cari ilmu dari peternak-peternak lain. Sekarang banyak dari Youtube, belajar dari situ. Walaupun kita sesama peternak, enggak semua caranya sama,” katanya.
Tak dimungkiri, pehobi ikan hias seperti Dul dan Ammar menjadi ceruk pasar bagi para pengusaha ikan hias Tanah Air. Hal ini mendorong produksi ikan hias di Indonesia terus mengalami tren peningkatan. Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi ikan hias di Indonesia meningkat dari 0,57 miliar ekor pada 2009 menjadi 1,19 miliar ekor pada 2018.
Bisnis yang menggiurkan
Bisnis ikan cupang cukup menghasilkan cuan bagi Ammar. Ia menikmati keuntungan signifikan selama berbisnis cupang setahun terakhir. Dalam sebulan, pemuda yang kini menginjak bangku Kelas XII Sekolah Menengah Atas (SMA) ini mampu meraih omzet Rp10 juta. Bahkan, ia mampu membiayai pendidikannya sendiri melalui bisnis ikan cupang.
“Selama PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), omzet dan harga angkut dari petaninya naik. Hampir dua kali lipat (kenaikan omzet) bisa-bisa sekarang mah. Sekarang kan musim hujan. Biasanya tiap musim hujan hingga akhir tahun harga cupang tinggi banget,” jelasnya.
Kenaikan harga ini, lanjutnya, terjadi lantaran meningkatnya permintaan dan berkurangnya pasokan cupang. Ikan cantik ini ternyata tak mampu bertahan di suhu dingin. Ammar menyatakan mayoritas pelanggannya berasal dari pedagang ikan hias yang membeli secara grosiran dengan harga Rp15-25 ribu per 10 ekor.
Untuk ikan berukuran besar, ia mematok harga Rp100-500 ribu per ekor. Adapun jenis cupang yang diternakannya adalah Koi dan Multicolor. Tak hanya itu, peternakannya juga kerap mendapat order untuk merawat cupang aduan.
“Rencananya kita mau buat galeri di rumah. Kalau sebelum ini pasaran kita arahnya ke menengah ke bawah. Kita lebih banyak jual ikan bahanan. Kita mau coba pasarannya menengah ke atas, jual ikan satuan gede-gede, siap jual buat para penghobi,” terangnya.
Animo masyarakat yang besar terhadap ikan asli Asia Tenggara tersebut juga terlihat di Pasar Ikan Hias Jatinegara, Jakarta Timur. Menurut pantauan Alinea.id pada Selasa (13/10), lapak ikan cupang ramai dikunjungi oleh pembeli. Berbeda halnya dengan lapak ikan hias lainnya yang relatif lebih sepi pengunjung.
Ikan yang memiliki nama latin Betta sp. ini seakan menjadi primadona. Terpisah jarak ratusan meter, keramaian serupa juga muncul di Pasar Hewan Jatinegara. Para pedagang menjual cupang hingga ke badan trotoar Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur. Tak jarang, pengunjung yang berlalu lalang tertarik untuk membeli ikan-ikan tersebut.
“Paling ramai Sabtu-Minggu. Kan banyak orang jalan-jalan tuh,” ungkap Herman, seorang pedagang ikan hias di Pasar Ikan Hias Jatinegara.
Pria berusia 43 tahun ini telah menekuni bisnis ikan hias sejak lama. Herman melanjutkan bisnis orang tuanya yang telah lama berdagang di Pasar Hewan Jatinegara. “Saya sih pedagang. Kalau ikan cupang naik, (jual) cupang. Kalau ikan hias naik, ya (jual) ikan hias. Tergantung trennya. Ikutin arus bagusnya gimana,” ujarnya.
Menurutnya, ikan cupang banyak diminati lantaran mudah dalam pemberian pakan dan perawatannya dibandingkan ikan jenis lainnya. Ia melihat cupang hias kini lebih digemari dibandingkan cupang aduan. Menurutnya, tren cupang hias sudah berlangsung tiga tahun terakhir, jauh sebelum pandemi melanda.
Kebanyakan ikan yang dijualnya masih berusia 2-4 bulan. Untuk model-model lama seperti Half Moon dan lainnya, ia mematok harga Rp25.000 per ekor. Sedangkan untuk model baru seperti Plakat (varian Nemo, Fancy, dan Koi), harganya mencapai Rp60.000 per ekor. Kebanyakan ikan-ikan ini merupakan hasil persilangan dari para pembudidaya. Herman menambahkan harga ikan cupang rata-rata naik 50-100% semenjak pandemi.
“Padahal dulu harganya enggak seberapa. Ikan-ikan yang tadinya cuma Rp5.000, sekarang jadi Rp25.000,” katanya.
Herman menjelaskan, semakin besar ukuran ikan, maka akan semakin mahal harganya. Selain itu, warna, corak, panjang tubuh, dan bentuk ekor juga menjadi penentu mahal tidaknya harga seekor cupang. Ia mengaku dirinya kesulitan mendapat ikan dengan kelas lebih tinggi karena peredarannya yang terbatas.
“Sekarang ikannya enggak bagus, paling Rp500 ribu sehari. Tergantung juga jenis ikannya. Kalau ikannya bagus, lumayan bisa Rp2 juta. Bisa juga lebih besar lagi,” ungkapnya.
Maraknya perdagangan cupang terlihat dari meningkatnya volume domestik masuk dan keluar yang tercatat di Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) selama tiga tahun terakhir. Angka ini belum termasuk volume yang tidak tercatat oleh BKIPM dan beredar bebas di pasar domestik.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, KKP Slamet Soebjakto mengakui pandemi Covid-19 mendongkrak permintaan ikan cupang. Hal ini turut memicu lahirnya pelaku usaha baru. Pihaknya mencatat produksi ikan cupang mencapai 232,146 juta ekor pada tahun 2018.
Slamet menggambarkan harga ikan cupang bisa dibanderol dengan harga termurah Rp5.000 per ekor. Adapun harga cupang kualitas ekspor dapat mencapai US$3 – US$75 per ekor atau Rp44.250 – Rp1,11 juta (US$1 = Rp14.750). Adapun cupang kelas “High Quality Show” dapat mencapai US$250 (Rp3,69 juta) per ekor.
“Ini kami kira sangat positif, bahwa kebijakan social distancing justru dimanfaatkan masyarakat menjadi lebih produktif yakni dengan memunculkan alternatif usaha rumahan seperti budidaya ikan hias cupang. Tentu bukan hanya jenis ikan cupang, tapi tren positif ini juga terhadap jenis ikan hias lainnya,” jelasnya kepada Alinea.id, Kamis (15/10).
Pria 59 tahun ini mengungkapkan bahwa ikan cupang memiliki peluang ekspor cukup tinggi, terutama untuk tujuan Amerika Serikat, China, Singapura, dan negara lainnya. Adapun jenis ikan hias cupang yang cukup populer untuk perdagangan ekspor adalah Dumbo Ear, Giant, dan Half Moon.
Masih banyak potensi
Sebagian ikan cupang yang beredar di pasar berasal dari hasil persilangan spesies luar negeri, yaitu Betta splendens asal Thailand. Salah satu jenis cupang asal Negeri Gajah Putih yang kini digemari adalah Plakat. Jenis ini melahirkan berbagai jenis varian persilangan seperti Koi, Nemo, dan Fancy.
Padahal, masih banyak spesies cupang asli Indonesia yang belum tergali potensinya. Peneliti Balai Riset Budidaya Ikan Hias, KKP Eni Kusrini mengungkapkan sebanyak 51 dari 75 spesies cupang dunia hidup di Indonesia.
Eni menerangkan baru beberapa spesies dalam negeri yang sudah didomestikasi seperti Betta rubra, Betta chanoides (Cupang Kepala Ular), Betta imbellis (Cupang Medan), Betta unimaculata, dan Betta bellica. Sementara itu, spesies-spesies lainnya masih banyak mengandalkan tangkapan dari alam yang kini populasinya semakin terancam akibat degradasi lingkungan. Kebanyakan cupang alam di Indonesia berasal dari Pulau Kalimantan.
“Tantangan yang harus diselesaikan adalah menggenjot para pelaku untuk melakukan domestikasi secara bersama-sama, sehingga cepat berhasil dan cepat dapat berproduksi massal secara kontinyu yang akhirnya dapat memenuhi kebutuhan pasar melalui hasil budidaya,” katanya melalui pesan singkat, Kamis (15/10).
Menurutnya, perbaikan kualitas menjadi tantangan dalam pengembangan budidaya cupang di Indonesia. Persilangan sejenis (inbreeding) menjadi biang keladi buruknya kualitas ikan cupang introduksi.
“Oleh karena itu, upaya perbaikan kualitas secara genetik terutama harus segera dilakukan dengan cara salah satunya mencari atau mendatangkan sumber daya genetik induk dari sentra-sentra lain yang masih banyak memiliki induk-induk unggul,” ujarnya.
Eni menjelaskan cupang membutuhkan persyaratan lingkungan hidup spesifik yaitu tingkat kemasaman air (pH) 4,5-6,5. Suhu ideal pembesaran ikan dari anakan sampai induk mencapai 25-30⁰C. Adapun untuk tahap larva hingga benih, suhu ideal yang dibutuhkan sekitar 25⁰C.
Dirjen Slamet Soebjakto mengatakan pihaknya terus mendorong pengembangan ikan cupang hias di berbagai daerah. Fokusnya terletak pada peningkatan produktivitas dan kualitas ikan yang dihasilkan, sehingga dapat memenuhi permintaan dalam negeri maupun ekspor. Di Indonesia, sebut dia, terdapat beberapa sentra pengembangan ikan cupang di Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera.
Slamet menjelaskan langkah nyata yang dilakukan oleh KKP adalah mendukung penyelenggaraan kontes ikan cupang, menyediakan varian induk unggulan, mendukung sarana dan prasarana, memfasilitasi pendampingan teknis, serta memberikan stimulus pembiayaan bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Menurutnya, terdapat dua tantangan dalam pengembangan ikan cupang di Indonesia, yaitu ketersediaan pakan alami serta biaya logistik domestik dan ekspor yang belum efisien. Untuk pakan alami, inseminasi teknologi dari lembaga riset ke kalangan pembudidaya masih menjadi pekerjaan rumah.
“Kalau terkait logistik ekspor, memang kita tidak pungkiri bahwa indeks performa logistik kita masih cukup tinggi, utamanya jika kita bandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Ini kami kira jadi PR (pekerjaan rumah) bersama bagaimana biaya logistik lokal dan ekspor ini bisa ditekan, sehingga nilai tambah devisa ekspor bisa optimal,” pungkasnya.