Gempur Palestina habis-habisan, Israel terancam bangkrut
Sebulan sudah, konflik Israel dan Hamas berlangsung dan kini semakin mengarah pada genosida rakyat Palestina. Konflik yang dimulai 7 Oktober lalu kini kian memanas, bahkan angkatan bersenjata Israel (Israel Defense Forces/IDF) semakin menggempur habis-habisan Palestina dan mengklaim berhasil menduduki jantung Kota Gaza pada Selasa (7/11).
Invasi Israel ini pun tak pelak menambah daftar panjang korban jiwa. Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas mencatat, jumlah korban jiwa di Gaza telah mencapai 10.328 orang, dengan lebih dari 4.200 di antaranya adalah anak-anak. Di sisi lain, sampai 5 November 2023, jumlah korban jiwa dari pihak Israel mencapai sekitar 1.400 orang.
Meski dari pihak Israel tidak menelan banyak korban jiwa dibandingkan Palestina, serangan besar-besaran ini telah membuat keuangan negara tersebut babak belur. Pasalnya, serangan yang dilancarkan dari Tel Aviv dalam satu hari diperkirakan menelan biaya hingga Rp4 triliun. Sementara jika ditotal, surat kabar keuangan Calcalist dalam laporannya yang diterbitkan pada Minggu (5/11), memperkirakan dana yang harus digelontorkan oleh Israel mencapai US$51 miliar atau sekitar Rp795 triliun (asumsi kurs Rp15.589 per dolar AS).
Jika dirinci, setengah dari biaya-biaya itu akan digunakan untuk biaya pertahanan. Sedangkan dana sekitar US$10 miliar sampai US$15 miliar merupakan kompensasi atas kehilangan pekerjaan yang dialami banyak warga Israel. Kemudian US$4,2 miliar-US$5 miliar untuk kompensasi bisnis dan US$2,5 miliar-US$5 miliar sebagai biaya rehabilitasi perang.
“Perkiraan ini setara dengan 10% dari produk domestik bruto (PDB) (Israel), ini berdasarkan asumsi bahwa perang akan berlangsung selama 8-12 bulan, dengan didasari terbatasnya aktivitas di Gaza,” tulis surat kabar itu, dikutip The Business Standard, Rabu (8/11).
Tidak hanya itu, asumsi ini juga tanpa memperhitungkan keterlibatan pasukan Hizbullah dari Lebanon, Iran dan Yaman. Dengan mempertimbangkan 350 ribu warga Israel yang direkrut sebagai tentara cadangan Israel dapat segera kembali bekerja.
Ekonomi jatuh
Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, perang antara Israel dan Palestina ini jelas akan memberikan dampak besar pada perekonomian kedua negara. Bagi Israel, anggaran militer jumbo, dampak dari gerakan BDS, hingga kerusakan akibat perang diperkirakan bakal membuat pertumbuhan ekonomi negara ini mengalami disrupsi dan kontraksi yang dalam.
“Karena banyak infrastruktur yang hancur dan banyak program pembangunan yang tidak bisa dijalankan. Dan belanja pemerintah tentu saja terkuras untuk keperluan perang,” jelasnya, kepada Alinea.id.
Mengutip Global Fire Power, pada tahun 2023 negara ini menganggarkan US$20,5 miliar atau sekitar Rp320 triliun untuk melengkapi persenjataan militer mereka. Ini menjadikan Israel sebagai negara ke-18 yang memiliki kekuatan militer terbaik di dunia.
Sementara itu, setelah meletusnya kembali konflik Israel-Palestina, S&P Global Ratings pun memangkas prospek kredit Israel menjadi AA-. Hal ini karena kekhawatiran perang akan meluas dan memberikan dampak besar bagi perekonomian negara yang dipimpin Benyamin Netanyahu tersebut.
Pada saat yang sama, S&P juga memperkirakan perekonomian Israel akan menyusut menjadi 5% pada kuartal-IV 2023, dibandingkan kuartal sebelumnya, di tengah gangguan keamanan dan berkurangnya aktivitas bisnis di negara itu. “Penyusunan sejumlah besar reservasi, penghentian pariwisata asing dan guncangan kepercayaan yang lebih luas juga akan merugikan pertumbuhan ekonomi dalam tiga bulan terakhir tahun ini, sebelum rebound pada tahun 2024,” tulis lembaga rating tersebut, dalam laporannya, dikutip Selasa (7/11).
Jika konflik berlangsung lebih panjang dan meluas, Faisal menilai, kerugian ekonomi tidak hanya akan menghantui Israel dan Palestina saja, namun juga dunia. Meskipun saat ini, dampaknya pada dunia, termasuk Indonesia belum bisa diukur secara jelas.
Sementara bagi Amerika Serikat, yang mendukung Israel dari segi materi, konflik ini tidak akan terlalu berpengaruh pada negara adidaya itu. Selain jarak geografis yang jauh, negeri Paman Sam juga memiliki dasar ekonomi yang cukup kuat.
Untuk diketahui, belum lama ini Parlemen AS telah menyetujui anggaran bantuan untuk Israel, senilai US$14,3 miliar atau Rp228 triliun. Paket bantuan untuk Israel ini termasuk US$10,6 miliar berupa dukungan pertahanan udara dan rudal hingga dana untuk perusahaan pertahanan dan pemasok.
“Sekali lagi, kalau konflik meluas dan berjalan lebih lama, dampaknya akan beda lagi,” tutup dia.
Efektivitas boikot
Selain untuk biaya invasi, Israel juga diperkirakan akan mengalami kebangkrutan karena kampanye BDS (Boycott, Divestment and Sanction) Movement yang semakin menyebar ke seluruh belahan dunia. Aksi ini kian marak menyusul tindakan genosida yang dilakukan Israel di sepanjang jalur Gaza. Meski belum diketahui berapa kerugian yang akan ditanggung Israel melalui gerakan boikot, divestasi dan sanksi kali ini, namun sebelumnya pada 2018, Al Jazeera melaporkan bahwa gerakan ini berpotensi menghasilkan kerugian hingga US$11,5 miliar atau sekitar Rp183,37 triliun per tahun.
Sementara di tahun 2021, dalam kurun waktu 11 hari konflik militer Israel dan Hamas membuat sektor bisnis Israel harus menanggung kerugian sekitar US$368 juta atau Rp5,8 triliun. Kerugian ini belum memperhitungkan pula divestasi yang terjadi di Israel dan sanksi yang harus ditanggung negara tersebut.
Kepada Alinea.id, Inisiator Gerakan BDS Indonesia M. Syauqi Faiz mengungkapkan, gerakan BDS pada dasarnya telah diinisiasi sejak 2005 silam. Tujuannnya tak lain untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran hukum internasional yang telah dilakukan pemerintah Israel terhadap masyarakat Palestina.
“Kalau kita lihat banyak (pelanggaran hukum internasional) yang dilakukan Israel, tapi yang paling darurat adalah apartheid dan genosida yang terjadi sejak Oktober ini,” katanya.
Seruan boikot pun tidak hanya ditujukan untuk produk-produk asli Israel saja, melainkan juga kepada produk dari perusahaan-perusahaan, kelompok, atau bahkan individu yang mendukung Israel. Sebab jika dilihat ekspor Israel, terutama ke Indonesia tidak memiliki nilai jumbo. Selain itu, kebanyakan ekspor Israel, sekitar 40%, merupakan produk intermediet atau tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain, misalnya semikonduktor.
Dengan boikot kepada produk-produk yang terafiliasi dengan Israel, lanjut Sauqi, diharapkan dapat memberikan tekanan pada pendapatan perusahaan-perusahaan tersebut. Sebab, selama ini banyak perusahaan yang memberikan bantuannya kepada Israel untuk melakukan serangan di Palestina.
“Dengan boikot ini kan harapannya akan menurunkan konsumsi terhadap barang perusahaan-perusahaan yang mendukung Israel. Kita sudah lihat belakangan saham beberapa perusahaan pro Israel turun. Dengan ini diharapkan juga pendanaan ke Israel juga ikut turun,” ujarnya, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (8/11).