Goncangan ekonomi domestik akan lebih kuat di 2019
"2018 bukanlah tahun yang mudah," demikian pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelang penutupan 2018.
Kalau menilik kondisi ekonomi pada tahun lalu, harus diakui banyak masalah perekonomian yang harus dihadapi, khususnya dari faktor eksternal. Situasi itu diramal berlanjut pada tahun ini.
Tantangan perekonomian Indonesia pada tahun ini, diyakini masih dipengaruhi persoalan eksternal dan internal. Tetapi, sejumlah ekonom memprediksi, shock atau gejolak internal akan terasa lebih menghabiskan banyak tenaga, ketimbang gejolak dari sisi eksternal.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal misalnya. Dia mengibaratkan, kondisi ekonomi pada tahun ini seperti gempa bumi, gejolak berasal dari pusatnya. "Goncangan dari domestik lebih kuat ketimbang dari luar negeri," kata dia, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (2/1).
Dari dalam negeri, persoalan defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) masih akan membayangi perekonomian Indonesia. Apabila CAD bisa dikelola dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi pada 2019 bisa tercapai di atas 5% sampai 5,12%, bahkan bisa menyentuh 5,4% pada 2020. Rupiah juga bisa berjalan pada kisaran Rp14.400 sampai Rp14.500 per dollar Amerika Serikat (AS).
Tetapi jika sebaliknya, rupiah bisa saja bergerak pada level Rp15.600 per dollar AS. Selain itu, pertumbuhan ekonomi kemungkinan hanya 4,8% saja dan akan melandai atau menurun menjadi 4,6% pada 2020.
"Kondisi paling perlu untuk diwaspadai adalah CAD. Tetapi kalau melihat CAD itu sendiri, tentunya term waktunya jangka pendek dan jangka panjang," ujar Fithra.
Solusinya, kata dia, untuk jangka menengah dan panjang, Indonesia harus memperbaikinya di sektor industri. Apalagi kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus turun, dan itu yang seharusnya dibangkitkan di jangka menengah dan jangka panjang.
Apabila tidak terselesaikan, jangan heran jika CAD Indonesia akan terus melebar. "Kita bicara mengenai produksi yang akhirnya berimbas pada kinerja ekspor," kata dia.
Seperti diketahui, CAD pada kuartal III-2018, tercatat sebesar US$8,8 miliar atau 3,37% terhadap PDB. Lebih tinggi dibandingkan dengan defisit kuartal II-2018, sebesar US$8 miliar atau 3,02% terhadap PDB.
Bank Indonesia memproyeksikan CAD sampai akhir 2018 berada di bawah 3% terhadap PDB. Untuk mengatasi persoalan CAD, pemerintah sebenarnya bisa mengeluarkan kebijakan cepat. Salah satunya dengan memotong subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Maklum, defisit neraca migas cukup signifikan menyumbang pelebaran CAD.
"Pemotongan subsidi minimal 10%. Setidaknya bisa mengantisipasi atau mengurangi CAD. Volatilitas rupiah bisa tetap terjaga dan kemudian pertumbuhan ekonomi. Setidaknya naik jika dibandingkan 2017," saran Fithra.
Dari sisi moneter, sebenarnya goncangannya tidak begitu signifikan. Apalagi pada akhirnya, semua permasalahan ekonomi di Indonesia saat ini, terletak pada sektor riil.
Jadi, upaya Bank Sentral mengontrol rupiah dengan menaikkan suku bunga acuan, sepertinya hanya berefek jangka pendek saja.
"Berapa kali kita melihat di 2018, suku bunga sudah naik kurang lebih 175 basis point. Tetapi, rupiah tetap volatile. Itu menunjukkan ketidakefektifan dari kunci moneter. Bukan karena kebijakan moneter yang gagal, tapi permasalahannya lebih ke sektrol riil," tukas Fithra.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira juga menyampaikan hal yang nyaris serupa. Bhima memperkirakan CAD akan melebar di tahun politik.
Selain itu, harga komiditas diramal terus turun. Implikasinya akan terlihat kepada penerimaan negara, yang notabene banyak disumbang dari sektor pajak. Dengan demikian, tax ratio juga berpotensi bisa lebih rendah dari 11%.
"Defisit kita akan melebar. Apalagi dari sisi belanja pemerintah, pengeluaran juga cukup besar. Pemerintah juga punya bansos. Hal lain yang juga harus diperhatikan itu, subsidi energinya," kata Bhima kepada Alinea.id, Kamis (3/1).
Selama ini subsidi energi dianggarkan melalui APBN dan BUMN dengan skema penugasan. Apabila keuangan BUMN semakin tertekan, opsi yang bisa diambil adalah menambah belanja subsidi energi atau menaikkan harga BBM.
Dua keputusan ini sebenarnya sama-sama tidak populis. Penambahan belanja subsidi menyebabkan tergerusnya distabilitas ketahanan energi. Sementara jika harganya dinaikan berdampak pada inflasi. "Andai belanja melebar, penerimaan negara semakin tertekan, otomatis pemerintah akan mencari utangan dan sebagainya," imbuh Bhima.
Sementara utang jatuh tempo yang harus dibayar sebesar Rp345 triliun pada 2019. Pemerintah pun berkewajiban melakukan refinancing atau menghitung ulang pembiayaan.
Pasalnya suku bunga pada 2019, diyakini akan semakin mahal. Sebagai informasi, imbal hasil yang ditawarkan dari penerbitan surat utang negara (SUN) bertenor 10 tahun saja sudah menginjak 8,1%.
"Beban pembayaran utang pemerintah diprediksi akan semakin melebar. Sekaligus akan menggerus belanja dan lainnya," tuturnya.
Dari sisi moneter, rupiah masih berpotensi bergejolak. Meskipun Bank Sentral AS juga diprediksi hanya menaikkan suku bunganya dua kali. Tetapi tetap saja tekanan terhadap rupiah masih terus ada.
Misalnya saja, gonjang-ganjing soal shutdown di AS yang belum tuntas. Ditambah perang dagang antara AS-China yang juga belum menemukan jalan keluarnya.
"Itu mengakibatkan investor berhati-hati untuk masuk ke pasar modal. Mereka akan lebih memilih membeli dollar dan emas. Ini tidak bagus untuk pasar negara berkembang, seperti Indonesia," kata Bhima. Apalagi pada kenyataannya, Indonesia membutuhkan aliran portofolio dan direct investment investasi langsung.
Dia memprediksi rupiah akan bergerak pada level Rp15.000 per dollar AS.
"2018 bukanlah tahun yang mudah," demikian pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelang penutupan 2018.
Kalau menilik kondisi ekonomi pada tahun lalu, harus diakui banyak masalah perekonomian yang harus dihadapi, khususnya dari faktor eksternal. Situasi itu diramal berlanjut pada tahun ini.
Tantangan perekonomian Indonesia pada tahun ini, diyakini masih dipengaruhi persoalan eksternal dan internal. Tetapi, sejumlah ekonom memprediksi, shock atau gejolak internal akan terasa lebih menghabiskan banyak tenaga, ketimbang gejolak dari sisi eksternal.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal misalnya. Dia mengibaratkan, kondisi ekonomi pada tahun ini seperti gempa bumi, gejolak berasal dari pusatnya. "Goncangan dari domestik lebih kuat ketimbang dari luar negeri," kata dia, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (2/1).
Dari dalam negeri, persoalan defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) masih akan membayangi perekonomian Indonesia. Apabila CAD bisa dikelola dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi pada 2019 bisa tercapai di atas 5% sampai 5,12%, bahkan bisa menyentuh 5,4% pada 2020. Rupiah juga bisa berjalan pada kisaran Rp14.400 sampai Rp14.500 per dollar Amerika Serikat (AS).
Tetapi jika sebaliknya, rupiah bisa saja bergerak pada level Rp15.600 per dollar AS. Selain itu, pertumbuhan ekonomi kemungkinan hanya 4,8% saja dan akan melandai atau menurun menjadi 4,6% pada 2020.
"Kondisi paling perlu untuk diwaspadai adalah CAD. Tetapi kalau melihat CAD itu sendiri, tentunya term waktunya jangka pendek dan jangka panjang," ujar Fithra.
Solusinya, kata dia, untuk jangka menengah dan panjang, Indonesia harus memperbaikinya di sektor industri. Apalagi kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus turun, dan itu yang seharusnya dibangkitkan di jangka menengah dan jangka panjang.
Apabila tidak terselesaikan, jangan heran jika CAD Indonesia akan terus melebar. "Kita bicara mengenai produksi yang akhirnya berimbas pada kinerja ekspor," kata dia.
Seperti diketahui, CAD pada kuartal III-2018, tercatat sebesar US$8,8 miliar atau 3,37% terhadap PDB. Lebih tinggi dibandingkan dengan defisit kuartal II-2018, sebesar US$8 miliar atau 3,02% terhadap PDB.
Bank Indonesia memproyeksikan CAD sampai akhir 2018 berada di bawah 3% terhadap PDB. Untuk mengatasi persoalan CAD, pemerintah sebenarnya bisa mengeluarkan kebijakan cepat. Salah satunya dengan memotong subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Maklum, defisit neraca migas cukup signifikan menyumbang pelebaran CAD.
"Pemotongan subsidi minimal 10%. Setidaknya bisa mengantisipasi atau mengurangi CAD. Volatilitas rupiah bisa tetap terjaga dan kemudian pertumbuhan ekonomi. Setidaknya naik jika dibandingkan 2017," saran Fithra.
Dari sisi moneter, sebenarnya goncangannya tidak begitu signifikan. Apalagi pada akhirnya, semua permasalahan ekonomi di Indonesia saat ini, terletak pada sektor riil.
Jadi, upaya Bank Sentral mengontrol rupiah dengan menaikkan suku bunga acuan, sepertinya hanya berefek jangka pendek saja.
"Berapa kali kita melihat di 2018, suku bunga sudah naik kurang lebih 175 basis point. Tetapi, rupiah tetap volatile. Itu menunjukkan ketidakefektifan dari kunci moneter. Bukan karena kebijakan moneter yang gagal, tapi permasalahannya lebih ke sektrol riil," tukas Fithra.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira juga menyampaikan hal yang nyaris serupa. Bhima memperkirakan CAD akan melebar di tahun politik.
Selain itu, harga komiditas diramal terus turun. Implikasinya akan terlihat kepada penerimaan negara, yang notabene banyak disumbang dari sektor pajak. Dengan demikian, tax ratio juga berpotensi bisa lebih rendah dari 11%.
"Defisit kita akan melebar. Apalagi dari sisi belanja pemerintah, pengeluaran juga cukup besar. Pemerintah juga punya bansos. Hal lain yang juga harus diperhatikan itu, subsidi energinya," kata Bhima kepada Alinea.id, Kamis (3/1).
Selama ini subsidi energi dianggarkan melalui APBN dan BUMN dengan skema penugasan. Apabila keuangan BUMN semakin tertekan, opsi yang bisa diambil adalah menambah belanja subsidi energi atau menaikkan harga BBM.
Dua keputusan ini sebenarnya sama-sama tidak populis. Penambahan belanja subsidi menyebabkan tergerusnya distabilitas ketahanan energi. Sementara jika harganya dinaikan berdampak pada inflasi. "Andai belanja melebar, penerimaan negara semakin tertekan, otomatis pemerintah akan mencari utangan dan sebagainya," imbuh Bhima.
Sementara utang jatuh tempo yang harus dibayar sebesar Rp345 triliun pada 2019. Pemerintah pun berkewajiban melakukan refinancing atau menghitung ulang pembiayaan.
Pasalnya suku bunga pada 2019, diyakini akan semakin mahal. Sebagai informasi, imbal hasil yang ditawarkan dari penerbitan surat utang negara (SUN) bertenor 10 tahun saja sudah menginjak 8,1%.
"Beban pembayaran utang pemerintah diprediksi akan semakin melebar. Sekaligus akan menggerus belanja dan lainnya," tuturnya.
Dari sisi moneter, rupiah masih berpotensi bergejolak. Meskipun Bank Sentral AS juga diprediksi hanya menaikkan suku bunganya dua kali. Tetapi tetap saja tekanan terhadap rupiah masih terus ada.
Misalnya saja, gonjang-ganjing soal shutdown di AS yang belum tuntas. Ditambah perang dagang antara AS-China yang juga belum menemukan jalan keluarnya.
"Itu mengakibatkan investor berhati-hati untuk masuk ke pasar modal. Mereka akan lebih memilih membeli dollar dan emas. Ini tidak bagus untuk pasar negara berkembang, seperti Indonesia," kata Bhima. Apalagi pada kenyataannya, Indonesia membutuhkan aliran portofolio dan direct investment investasi langsung.
Dia memprediksi rupiah akan bergerak pada level Rp15.000 per dollar AS.
Kebijakan ekonomi yang tepat untuk 2019
Pada jangka pendek kata Ekonom Indef Bhima Yudhistira, pemerintah sebaiknya menunda terlebih dahulu beberapa proyek infrastruktur non prioritas. Terutama infrastruktur yang bahan baku impor besar dan barang modal besar.
Salah satunya adalah proyek pembangkit listrik, "Proyek pembangkit listrik, turbinnya dari China, itu yang memang harus ditekan sedikit biar defisit transaksi berjalannya membaik," ujarnya.
Bhima juga menyarankan agar Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS.
Jangan lupa terus mendorong produksi minyak. Seperti diketahui pemerintah menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai pemenang Blok Minyak dan Gas (Migas) Rokan. Pertamina mengelola Blok Rokan setelah kontrak Chevron Pacific Indonesia habis pada 2021.
Blok Rokan merupakan produsen minyak terbesar di Indonesia dengan cadangan 500 juta sampai 1,5 miliar barel setara minyak.
"Lapangan-lapangan yang baru akan digali itu, prosesnya harus dipercepat. Sehingga lifting minyak harus di atas 800.000 per barel per hari. Sekarang kan targetnya diturunin terus," saran Bhima.
Program Biodiesel 20 (B20) juga harus diefektifkan. Meskipun beberapa kendala masih ditemui di lapangan, tapi semestinya bisa cepat diselesaikan.
"Bukan hanya B20. Tetapi juga B100 untuk pembangkit listrik tenaga diesel. B100 untuk konversi dari BBM ke minyak nabati. Jadi, nanti di SPBU itu tersedia minyak nabati. Pertamina sedang membuat proyek kilang minyak nabati. Itu yang harus didorong," tukas Bhima.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal juga menambahkan, kebijakan industri di dalam negeri harus digalakan. Indonesia harus memastikan bagaimana ekosistem industri itu berjalan dengan optimal.
"Bagaimana kemudian memastikan rantai pasok supply. Bagaimana kebijakan energinya, kemudian kompetisinya bersaing. Itu yang harusnya dilakukan pemerintah," saran dia.
Industri sebaiknya juga tidak diproteksi. Agar investasi bisa masuk dan kemudian dibangun infrastrukturnya. Apalagi ada kecenderungan infrastruktur yang dibangun pemerintah, belum tercermin untuk menyesuaikan kebutuhan industrial.