close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
Bisnis
Kamis, 25 Februari 2021 14:41

Gotong royong agar UMKM melenggang di pasar internasional

Target 500K UMKM ekspor harus didukung oleh beberapa stakeholder terkait.
swipe

Pemerintah telah meluncurkan Program 500K Eksportir Baru bersamaan dengan dibukanya Sekolah Ekspor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan Ekonomi Kreatif. Targetnya, ada penambahan setengah juta eksportir baru UMKM hingga 2030.

UMKM go global ini diharapkan berhasil on-boarding di marketplace internasional. Eksportir-eksportir baru itu juga diharapkan akan mampu masuk ke jaringan peritel dan pusat perbelanjaan internasional. Mereka bahkan diharapkan bisa ekspor secara berkelanjutan.

Wakil Ketua Umum Kamar dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan sekaligus Ketua Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan, program ini menyasar para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang telah mampu melakukan ekspor namun belum tahu caranya. 

Calon eksportir akan diberikan pelatihan rutin secara luring dan daring oleh seluruh stakeholder terkait. Ini dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan Kadin daerah dan asosiasi-asosiasi pengusaha sektoral. Sebut saja Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Asosiasi e-Commerce Indonesia (IdEA), hingga Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI).

Para pelaku UMKM diharapkan akan memiliki pengetahuan tentang ekspor, sebelum bisa memasarkan produknya ke pasar global. “Mereka (UMKM) itu sudah mampu sebenernya untuk nembus pasar internasional. Cuma kita mau meng-grooming yang belum mampu nembus. Jadi kita ingin menambah ekspor,” katanya kepada Alinea.id, Senin (22/2).

Benny menguraikan Kemenkop UKM akan bertugas untuk mendata, siapa saja pelaku UMKM yang akan diberi pelatihan. Kementerian ini juga akan mengkurasi produk-produk potensial ekspor para pengusaha skala mikro hingga menengah. 

Salah satu UMKM melakukan sesi pemotretan produk. Foto Antara.

Selanjutnya, Kemendag melalui atase perdagangan (atdag) dan Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) akan memberikan informasi mengenai calon pembeli di negara-negara perwakilan mereka. Tak hanya itu, atdag dan ITPC juga membantu pelaku UMKM dalam mempromosikan dan menjajakan produk-produk lokal di luar negeri.

“Dan para dubes (duta besar) kita harapkan juga akan mengajak diaspora kita yang ada di negara itu untuk menjadi agen jual,” imbuhnya.

Selain itu, pemerintah lewat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan juga akan memberikan pelatihan mengenai persyaratan-persyaratan kepabeanan di Tanah Air maupun negara yang akan dituju.

Menyambung Benny, Kepala Sekolah Ekspor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan Ekonomi Kreatif Handito Joewono mengungkapkan, dalam tiga tahun pertama atau hingga 2023 ditargetkan akan tercipta 100 ribu eksportir baru. Angka itu akan terus ditingkatkan, hingga pada 2030 nanti diharapkan 80-90% pelaku UMKM dapat melakukan ekspor secara mandiri. 

“Saat ini yang tercatat memiliki nomor ekspor hanya 20 ribu,” katanya melalui pesan singkat kepada Alinea.id, Senin (22/2).

Sementara itu, selain pelatihan dan promosi oleh atdag dan ITPC, pemerintah juga akan membantu pemasaran produk melalui platform e-Commerce.  Bahkan, menurut pengusaha yang juga menjabat sebagai Ketua Pengembangan Ekspor Kadin Indonesia itu, pemerintah saat ini juga tengah menggodok insentif bagi eksportir baru.

Kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia (Sumber: Pusat Data Akumindo).

Tahun Jumlah UMKM Transaksi Produk Domestik Bruto (PDB) Tenaga kerja
2019 60 juta unit Rp8.573,9 triliun 57,8% 91%
2019 63 juta unit Rp8.400 triliun 60,3% 96%
2020 34 juta unit Rp4.235 triliun 37,3% 73%

Jangan hanya jadi pasar

Ketua IdEA Bima Laga  menambahkan industri digital memiliki peran penting bagi pelaku UMKM untuk masuk ke pasar internasional.  Menurutnya, asosiasi akan ambil bagian dengan membantu pelaku UMKM melakukan pemasaran via daring menggunakan platform digital. Terlebih, tren cross border atau perdagangan lintas negara melalui e-commerce semakin kuat dewasa ini.

“Ini perlu dimanfaatkan. Jangan sampai cross border hanya membuat Indonesia menjadi pasar,” tuturnya kepada Alinea.id, Senin (22/2).

Ilustrasi belanja online. Pixabay.com.

Hal serupa diungkapkan pula oleh Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun. Bahkan, ia menyarankan pemerintah untuk membuat satu atau dua platform digital yang khusus menjual produk lokal. 

Dus, warga asing yang ingin membeli dalam jumlah banyak dapat memesan hingga melakukan pembayaran melalui aplikasi yang sudah disediakan. Dia bilang, saat ini Indonesia memang telah mememiliki beberapa e-commerce yang di dalamnya juga menjual produk-produk UMKM. 

Sayangnya, produk UMKM itu kalah pamor dengan banyaknya produk asing dengan kualitas serupa dan harga lebih rendah di marketplace. Padahal, kualitas dari produk lokal tak jauh beda atau bahkan terkadang jauh lebih baik dari produk-produk asing.

“Pokoknya pemerintah harus punya marketplace, entah satu, dua atau berapa. Tapi isinya semua adalah produk UMKM Indonesia. Jangan dicampur lagi dengan produk impor,” tukasnya kepada Alinea.id, Selasa (23/2).

Apabila produksi UMKM sudah memenuhi kebutuhan pasar domestik, pengusaha kecil itu bisa menjual sisa produknya melalui platform digital. Bahkan, UMKM bisa membawanya ke pasar internasional. 

Namun, UMKM harus bisa memproduksi barang dengan kualitas baik dan memenuhi standar internasional. Akan lebih baik lagi jika UMKM mampu memproduksi barangnya dengan skala pabrikasi untuk memenuhi kebutuhan pasar global.

UMKM, sambungnya, juga masih memerlukan berbagai insentif seperti insentif perpajakan, kemudahan pengurusan sertifikasi, hingga bantuan permodalan agar bisa go global.

Tak harus tunai

Sementara itu, Ketua UKM Center Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB-UI) Zakir Mahmud menuturkan, insentif yang diberikan pemerintah tak harus selalu berbentuk uang atau tambahan modal. Bisa juga berupa bantuan pemasaran ke luar negeri melalui atdag dan ITPC serta perwakilan-perwakilan duta besar.

Pemerintah juga bisa menanggung seluruh biaya logistik bagi UMKM yang akan mengikuti pameran produk di luar negeri. Begitu juga dengan biaya logistik untuk pengiriman barang ke luar negeri yang juga harus dikurangi. Juga, bantuan kemudahan standarisasi produk-produk UMKM, baik untuk standar nasional atau standar produk dari negara-negara tujuan ekspor yang biasanya memakan banyak biaya.

“Jadi jangan melulu uang. Memang kalau uang paling cepat penyalurannya, cuma kan nanti kalau uang ada yang tepat sasaran ada yang enggak,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (23/2).

Ihwal program 500K Eksportir Baru, Zakir bilang, keberhasilannya akan sangat tergantung pada barang apa saja yang dibutuhkan di pasar global. Sejauh ini kebutuhan itu selalu didominasi oleh produk-produk furniture, home decor dan makanan.

Stakeholder terkait juga harus bekerjasama dan melaksanakan perannya masing-masing dengan baik. Sebab tak dimungkiri, masih banyak kendala yang harus dihadapi UMKM untuk dapat melenggang di pasar internasional. Mulai dari kurang detilnya informasi terkait barang-barang apa saja yang dibutuhkan di luar negeri hingga kesulitan untuk mencapai jumlah produksi yang ditentukan.

“Misal kapasitas UKM cuma bisa 100, padahal permintaan 10.000, ini gimana untuk memenuhi? 'Kan musti dikumpulin, dicari lagi UMKM yang punya produk sama, dikonsolidasi,” urainya.

Kendala lain biasanya terjadi saat pengiriman. Sedikitnya produk UMKM yang dikirim ke luar negeri menggunakan kontainer menyisakan banyak ruang. Hal itu membuat biaya logistik ekspor semakin mahal. 

Untuk itu, Zakir menyarankan agar pemerintah dapat mengumpulkan produk-produk UMKM yang sejenis dalam satu kontainer. Sehingga kapasitas kapal pengangkut tidak akan sia-sia dan pada akhirnya dapat menghemat biaya logistik. 

Di sisi lain, produk UMKM yang sudah bisa diekspor biasanya tidak memiliki merek sendiri atau merek akan dilabeli ketika barang sampai ke negara tujuan ekspor. Hal tersebut menjadikan para konsumen tidak mengetahui bahwa barang yang dijual di negara mereka, sejatinya berasal dari Indonesia. Absennya merek pada produk, menurutnya, dapat menurunkan nilai devisa yang seharusnya diterima Indonesia.

“Meskipun kalau enggak ada merek juga sudah meghasilkan devisa, tapi nilainya akan lebih tinggi kalau kita pakai merek sendiri dan tentunya bisa lebih dikenal juga,” tukas Zakir.

Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Mikro Kemenkop UKM Hanung Harimba Rachman berujar, pihaknya akan terus memberikan pendampingan dan pelatihan bagi UMKM-UMKM calon eksportir.

Pemerintah juga telah bekerjasama dengan berbagai platform marketplace, seperti Shopee, Tokopedia, Blibli, dan lain sebagainya. Bahkan, agar lebih fokus kepada pemasaran di luar negeri, pemerintah tengah melakukan penjajakan untuk dapat bekerjasama dengan platform besutan Amerika Serikat, Amazon. 

“Itu mereka sudah mengutarakan minatnya kepada kita, dan kita jajaki bentuknya. Ini sedang kita diskusikan dulu, waktunya masih belum ditentukan,” ungkapnya kepada Alinea.id, melalui sambungan telepon, Senin (22/2).

Sampai saat ini pemerintah telah memberikan fasilitas KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor). Fasilitas yang diberikan kepada wajib pajak (WP) dalam rangka impor bahan baku untuk tujuan diekspor kembali. Mengacu pada Pasal 1 KMK-580/KMK.04/2003 tentang Tatalaksana Kemudahan Impor Tujuan Ekspor dan Penagawasannya, KITE dapat diberikan kepada pelaku usaha besar dan kecil, berupa pengembalian dan/atau pembebasan Bea Masuk dan Cukai hingga tidak dilakukannya pungutan atas PPN dan PPnBM.

Kemudian, pemerintah melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank juga bakal menyediakan pembiayaan, penjaminan dan asuransi ekspor. Hal ini dilakukan melalui skema National Interest Account (NIA) atau Penugasan Khusus Ekspor. NIA diberikan pemerintah untuk menyediakan pembiayaan ekspor atas transaksi atau proyek yang secara komersil sulit dilakukan, tetapi dianggap perlu oleh pemerintah.

“Dengan ini, UMKM bisa ekspor dengan bunga rendah,” kata Hanung.

Sementara itu, sampai saat ini Indonesia telah berhasil mengekspor berbagai produk dari sektor makanan, furniture atau home decor, pakaian, hingga produk-produk perikanan. Namun, terlepas dari itu masih banyak produk yang dapat dikembangkan sehingga menjadi andalan ekspor nasional di masa depan. 

Sementara itu, dengan adanya program 500K Eksportir Baru, Hanung berharap target porsi ekpor UMKM dapat meningkat di kisaran 30% pada 2024 nanti. Meskipun jika mengacu pada RPJMN, pemerintah hanya menargetkan 22% porsi UMKM dari keseluruhan ekspor nasional.

Adapun menurut catatan Kemendag, pada 2020, porsi ekspor UMKM terhadap ekspor nasional hanya sebesar 14%. Artinya hanya sekitar 13.177 pelaku UMKM saja yang sudah bisa melakukan ekspor.

Jenis produk yang selama ini diekspor antara lain, kayu dan barang dari kayu, ikan dan udang, perabotan dan alat penerangan, kopi, teh, rempah-rempah, mesin dan peralatan mekanis, plastik dan barang dari plastik, lemak dan minyak nabati, serta mesin elektrik. 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan