Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan, ketidakpastian kondisi perekonomian global pada 2023 masih akan berlanjut. Faktor pendorongnya, antara lain, perang geopolitik Rusia dan Ukraina, memanasnya perang dagang Amerika Serikat dan China, konflik geopolitik di Taiwan, dan China memperpanjang kebijakan lockdown hingga dua kuartal ke depan.
"Tentunya ini semua yang berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia dan seluruh dunia dan mempengaruhi tingginya harga energi dan yang lainnya," jelas Perry dalam paparannya saat rapat kerja Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin (21/11).
Perry menambahkan, ada lima ciri-ciri utama yang menjadi gejolak ekonomi pada akhir 2022 hingga tahun depan secara global. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang akan melambat (slowing growth) hingga sejumlah negara berisiko mengalami resesi.
Dalam penjelasannya, Perry bilang, ekonomi global secara keseluruhan pada 2022 tumbuh 3% year on year (yoy) dan akan turun menjadi 2,6% (yoy) pada 2023.
"Juga ada risiko turun lagi menjadi 2% yoy, terutama di Amerika dan Eropa. Resesi di Amerika probabilitasnya sudah mendekati 60%, apalagi di Eropa. Bahkan, kondisi winter di tahun ini belum yang terburuk karena tahun depan akan lebih buruk karena berkaitan dengan kondisi geopolitik, fragmentasi politik, ekonomi, dan investasi," tuturnya.
Kedua, inflasi tinggi, yang diperkirakan mencapai 9,2% (yoy) pada tahun ini dan 2023 turun ke level 5,2% (yoy). Ini didorong tingginya harga energi dan tidak adanya pasokan energi akibat perang.
Ketiga, suku bunga tinggi yang akan berlangsung lama (higher interest for longer). Hal tersebut terlihat dari suku bunga The Fed yang beberapa waktu lalu naik 75 basis poin (bps) menjadi 4%.
Perry menyebutkan, Fed fund rate (FFR) 2023 akan terus naik dan diprediksi sekitar 5%-5,25%. Pun berpeluang naik hingga triwulan II-2023. Hal serupa juga terjadi pada suku bunga Eropa atau European Central Bank (ECB).
"Inflasinya terjadi dari sisi suplai, yaitu energi dan pangan. Ini belum tentu segera turun sehingga antara inflasi dan suku bunga terus kejar-kejaran naik. Inilah yang sering disebut stagflasi; pertumbuhannya stagnan cenderung turun, tapi inflasinya terus tinggi. Bahkan, sekarang istilahnya adalah resflasi, yaitu risiko resesi dan tingginya inflasi," paparnya.
Keempat, menguatnya dolar Amerika Serikat (US$) yang didorong menguatnya FFR dan obligasi AS (yield US treasury) yang terus naik. Hal ini, menurut Perry, membuat seluruh negara mengalami tekanan keuangan.
"Terakhir, kemarin pernah mencapai 114 indeks mata uang dolar terhadap mata uang dunia. Ini artinya, secara tahunan, dolar menguat kurang lebih hampir 25%, secara year to date, hampir 20%," lanjutnya.
Kelima, tunai adalah raja (cash is the king). Ini disebabkan semakin banyak masyarakat global yang menarik dana menjadi tunai dari bank karena risiko investasi di portofolio semakin tinggi. Dengan demikian, publik akan lebih memilih menyimpan dana dalam simpanan yang lebih cair (liquid).
"Ini yang terjadi di seluruh dunia, termasuk emerging market seperti Indonesia. Makanya, banyak aliran modal keluar, khususnya dari emerging kembali ke Eropa, karena yield-nya tinggi dan dolarnya juga menguat," tandas Perry.