close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ragam produk kerajinan (kriya) Gulaliku. Foto Dokumentasi Gulaliku.
icon caption
Ragam produk kerajinan (kriya) Gulaliku. Foto Dokumentasi Gulaliku.
Bisnis
Senin, 15 Juni 2020 15:09

Gulaliku, UMKM kerajinan tangan yang menolak kalah dari pandemi

Pandemi mendorong UMKM berinovasi dan mengubah strategi pemasaran sesuai pola belanja konsumen.
swipe

Tidak ada yang meragukan kekayaan alam Indonesia. Tidak akan ada pula satu orang pun yang mampu menafikan keberlimpahannya. Tetapi tidak semua orang menyadari bahwa semua ini hanyalah titipan yang perlu dijaga.

Pasangan suami-istri, Faizal Azmi Ardika (27 tahun) dan Ameylia Kurniawati (29 tahun) barangkali hanya segelintir orang yang menyadari akan pentingnya kelestarian alam bagi anak-cucu. Bagi keduanya, segala yang diambil dari alam, harus kembali pula untuk alam.

Pasangan muda yang kini menetap di Yogyakarta itu, merupakan pemilik toko daring berlabel Gulaliku Art and Craft. Kata ini memiliki makna yang cukup filosofis. Bila ingin mendapatkan sesuatu yang manis (gula), maka orang harus berani melalui jalan yang berliku (liku). Setidaknya begitu, kata sang empunya toko.

Bisnis mereka fokus pada industri kerajinan tangan atau kriya yang memanfaatkan kekayaan alam. Mulai dari anyaman, vas bunga, pasfoto dan produk kreatif berbahan kayu untuk dekorasi rumah diproduksi oleh Gulaliku Art and Craft.

Faizal sendiri adalah alumni Akademi Desain Visi Yogyakarta (ADVY), sedangkan istrinya Ameylia merupakan lulusan Sastra Inggris di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Nganjuk.

Keduanya mulai menjalani bisnis ini sejak 2014, ketika cinta di antaranya masih terpaut jarak 200 kilometer lebih. Hubungan jarak jauh alias long distance relationship (LDR) membuat mereka harus menyiasati komunikasi agar hubungan tidak jadi membosankan.

Walhasil, mereka pun memutuskan untuk membangun satu bisnis kreatif dengan berlandaskan cinta dan kegemaran bersama. Kebetulan, baik Faizal dan Ameylia punya hobi menggambar.

“Jadi kami dulu tumpahin bakat kami ke art & craft. Semula karena ingin agar karya kami enggak cuma dipajang, enggak cuma kami saja yang menikmati, tapi juga dibagikan ke orang lain, jadi semua bisa nikmati,” tutur Faizal kepada Alinea.id melalui konferensi video, (4/6).

Awalnya, sambung Faizal, ia hanya menjual produk-produk personal untuk kado ulang tahun seperti pasfoto, kolase, kartu ucapan, dan gambar ilustrasi vektor. Produk ini dijual melalui akun Instagram @Gulaliku yang memang sengaja dibuat untuk kanal pemasaran produknya.

 

 

Modal yang dikucurkan untuk bisnis awalnya tidak banyak. Seingat Faizal, ia hanya mengeluarkan Rp200.000 untuk tahap awal. Dari modal sekecil itu, ia mampu menjual setidaknya empat produk pasfoto ataupun gambar ilustrasi vektor dengan harga Rp200.000 hingga Rp300.000 per buah.

“Dulu kalau misalnya aku modalnya Rp50.000 hingga Rp70.000, aku jualnya Rp200.000 hingga Rp300.000,” terangnya.

Tetapi meski sudah mendapat hasil yang cukup lumayan, Faizal dan istrinya mengaku belum begitu serius menggeluti bisnis kriya tersebut. Sebab, kata ia, waktu itu Gulaliku memang hanya dibuat untuk mengisi kekosongan antara dia dan sang kekasih, Ameylia.

Baru pada 2016, ketika hubungan mereka berlanjut ke jenjang yang lebih serius, Faizal dan Ameylia pun mulai menganggap bisnis ini sebagai ranah pendulang uang yang patut digeluti. Mereka mengembangkan sayap dengan membuat varian produk baru yang tidak terbatas pada produk personal saja. Akhirnya, lahirlah desain produk kriya untuk dekorasi rumah.

Produk-produk rumahan seperti hiasan dinding, poster kaligrafi, piring, mangkok, nampan, sendok-garpu, gelas, kotak perhiasan, dan lain sebagainya turut diproduksi. Bahan yang digunakan bersumber dari kayu, anyaman, maupun rajutan. Segalanya dibuat dengan selera estetik yang tinggi dan ramah lingkungan.

Seiring bertambahnya varian produk jualan Gulaliku, Faizal dan Ameylia kemudian memutuskan untuk mencari platform marketplace untuk menjual produknya. Keduanya ingin produk kreasinya itu mampu mencakup pasar yang lebih luas.

Setelah mencoba dan memilah-milah beberapa marketplace di Indonesia, jatuhlah pilihan mereka pada Tokopedia. Awal 2017, kata Faizal, ia mulai menjual produk kriyanya itu melalui platform yang identik dengan warna ‘hijau daun’ ini.

“Dari segi website-nya, dari segi aplikasinya, dari segi pengirimannya. Pokoknya aku, cocoknya di Tokopedia sih. Apalagi dengan branding-nya Tokopedia pun cocok dengan harga produk yang aku pasarin,” ungkap Faizal dengan nada yakin.

Menemukan visi bisnis

Sejak saat itu pula petualangan Faizal dan Ameylia berbisnis melalui platform marketplace dimulai. Awalnya, kata Faizal, berjualan produk kriya melalui Tokopedia agak susah-susah gampang.

Ia harus mengeluarkan uang setidaknya Rp750.000 untuk biaya berlangganan Power Merchant, yang menjadi salah satu fitur andalan Tokopedia. Melalui fitur ini, toko akan mendapat label power merchant yang berarti toko dapat dipercaya dan terekomendasi.

Namun begitu, uang Rp750.000 menjadikan tokonya dilabeli terpercaya, terbilang cukup mahal bagi Faizal kala itu. Apalagi label itu hanya berlaku selama enam bulan. Setelah itu, Faizal harus mengeluarkan uang dengan jumlah yang sama untuk kedua kalinya jika ingin diperpanjang.

Tapi ternyata, lanjutnya, label itu justru amat berpengaruh terhadap tren penjualan produknya. Produk-produk dapur seperti piring, sendok, dan garpu yang ia jual laris dibeli para pengusaha restoran.

“Itu yang waktu awal aku mikir aduh uang segini kok cuma untuk daftar power merchant, tapi setelah aku daftar ini ternyata ngefek banget,” ungkap Faizal.

Sebagai catatan, saat ini Tokopedia tidak lagi menerapkan sistem power merchant berbayar. Label Power Merchant bisa didapatkan secara gratis apabila indikator toko memenuhi kriteria yang disyaratkan, seperti verifikasi data diri dan mencapai skor performa toko yang ditentukan. 

Terlepas dari itu, dengan semakin larisnya penjualan Gulaliku melalui platform Tokopedia, Faizal dan istri rupanya masih belum menemukan visi-misi yang tepat untuk bisnisnya. Bagai kapal tanpa nahkoda, Gulaliku pun berjalan mengikuti arah angin berembus tanpa pernah tahu tujuan.

Baru pada awal 2019, usai mengikuti acara MAKERFEST Indonesia yang diinisiasi Tokopedia, Faizal menemukan visinya. Di acara itu, Faizal mendapat banyak masukan dan pelatihan dari para ahli pemasaran dan bisnis yang menjadi pembicara.

“Kami di-training, dikasih bimbingan sama coach-coach yang menangani bisnis seperti ini. Di-branding, benar-benar dikasih ilmu yang baguslah di acara itu,” jelas ia.

Rotasi 4P

Dari situ, barulah ia menemukan visi untuk bisnisnya yang ia sebut ‘Rotasi 4P’. Siklus ini merujuk pada sebuah akronim; planet, people, profit, dan planet. Berarti segala yang berasal dari alam harus kembali untuk alam.
Ia meracik bisnisnya sebagai sebuah kampanye untuk melindungi alam. Setiap produk premium yang terjual, katanya, akan otomatis menyumbangkan dua pohon untuk perbaikan hutan.

Sementara untuk produk dengan harga yang terhitung murah, ia akan menyumbangkan 3% dari profitnya untuk donasi crowdfunding terkait perlindungan hutan. Dana itu disumbangkan melalui platform daring yang memang fokus pada gerakan lindung hutan.

“Karena sebenarnya alam itu bukan milik kita. Tapi kita menjaganya untuk anak-cucu kita. Kita harus merawatnya,” jelas ia.

Selain itu, Gulaliku juga memiliki visi untuk memberdayakan perajin kecil di Yogyakarta. Visi ini termaktub dalam ‘Rotasi 4P’ yang Faizal maksud; people.

Dari tangan perajin kecil ini, produk-produk bergaya estetik tinggi nan cantik diproduksi. Mereka kerap menerima pesanan dari Gulaliku untuk membuat produk-produk berbahan kayu, anyaman, maupun rajutan. Saat ini, kata Faizal, setidaknya ada tiga mitra perajin kecil yang diberdayakan untuk membuat produk Gulaliku.

“Jadi perajin itu sama dengan kita, tidak ada yang atasan mana, bawahan mana, bos mana. Jadi aku enggak punya karyawan, tapi partner,” imbuhnya.

Dengan memerhatikan segala unsur itulah Gulaliku berlayar dengan arah yang tepat. Bisnis mereka pun akhirnya moncer hingga mendapat omzet minimal Rp1 juta hingga Rp2 juta per hari. Artinya, dalam sebulan, pasangan kekasih ini bisa meraup omzet minimal Rp30 juta per bulan. Penghasilan sebesar itu berlangsung hingga setidaknya Februari 2020, sebelum pandemi Covid-19 merebak ke Indonesia.

Mengubah strategi saat pandemi datang

Seperti halnya bisnis lain, Gulaliku juga merasakan dampak yang cukup signifikan dari adanya pandemi Covid-19. Nyaris seminggu setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama SARS-Cov2 pada awal Maret 2020, penjualan Gulaliku amblas hingga 0%.

“Pas awal Maret itu, bener-bener berasa banget, mas. Sempat enggak ada orderan beberapa hari. Kalau pastinya aku enggak hafal, mas. Cuma kalau seminggu ada. Mungkin masyarakat lagi shocked kali ya ‘ngapain beli kerajinan tangan saat lagi seperti ini,’” ujarnya.

Namun bukannya menyerah, Faizal justru menganggap pandemi sebagai tantangan. Berbekal pengetahuan yang ia dapat saat mengikuti MAKERFEST 2018, ia kemudian menerapkan strategi beriklan secara masif untuk mencari tahu perubahan perilaku konsumen.

Dengan segenap keyakinan, Faizal gencar memasang iklan otomatis di Tokopedia. Per hari, katanya, ia bisa mengeluarkan uang Rp100.000 untuk mencari tahu produk apa yang sedang diminati konsumen kala pandemi.

Dari beriklan itulah, akhirnya ia menemukan satu produk yang rupanya amat laris, yaitu vas bunga. Rupanya, pandemi dan kecenderungan untuk berdiam di rumah telah mengubah perilaku konsumen menjadi lebih senang menanam pohon dan mendekorasi rumah.

“Tapi aku juga enggak tahu (pasti alasannya). Tapi yang mungkin itu karena mereka harus kerja di rumah, kerja di depan komputer di rumah. Jadi mereka (menanam) semacam kayak media relaksasilah,” tutur Faizal.

 

 

Walhasil, Gulaliku pun memproduksi lebih banyak lagi vas bunga. Variannya diperluas dari yang sebelumnya hanya dua varian menjadi 15 varian. Seluruh produk vas bunga itu dijual dengan harga variatif mulai Rp30.000 sampai Rp300.000.

Tidak dinyana, penjualannya laku keras. Sehari yang biasanya ia hanya mampu menjual 2 buah vas bunga, kini bisa menjual 30-40 buah. Omzetnya pun melesat. Jika sebelum pandemi ia hanya mendapat omzet Rp1 juta per hari, kini omzetnya melesat jadi Rp2-4 juta per hari. Kalau dihitung bulanan, maka minimal omzet Gulaliku mencapai Rp40 juta.

Fitur gratis ongkos kirim (ongkir), kata Faizal, juga turut berperan penting dalam penjualan produknya. Apalagi, di masa pandemi ini, ia tidak perlu lagi mengantarkan produknya ke kantor ekspedisi atau pos. Cukup berdiam diri di rumah, maka kurir Tokopedia akan datang untuk mengambil barangnya.

“Jadi jangan terpaku karena pandemi kita berdiam diri. Kita memang harus berinovasi, baik dari segi produk maupun strategi seperti memanfaatkan iklan otomatis. Akhirnya ketemu produk yang laku,” tandasnya.

UMKM kerajinan (kriya) mampu mendongrak omzet berkat mengubah strategi pemasaran di masa pandemi. Alinea.id/Dwi Setiawan.

img
Fajar Yusuf Rasdianto
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan