Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Eko Hendro Purnomo, menyuarakan keprihatinan dan sikap tegas terhadap keputusan sepihak Amerika Serikat (AS) yang menaikkan tarif impor hingga 32% terhadap sejumlah produk asal Indonesia. Bagi Eko, kebijakan ini bukan sekadar manuver dagang, tetapi bentuk hambatan perdagangan yang tidak adil dan berpotensi menekan pelaku usaha nasional, terutama sektor ekspor yang selama ini menjadi tumpuan jutaan pekerja dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di tanah air.
“Ini jelas menjadi tekanan yang tidak ringan bagi pelaku usaha kita. Apalagi dilakukan tanpa dialog terbuka dengan pemerintah Indonesia,” ujar Eko dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (8/4).
AS beralasan tarif tinggi ini diberlakukan sebagai respons atas ketidakseimbangan akses pasar, termasuk isu etanol dan hambatan non-tarif lainnya. Namun, Eko menilai alasan tersebut tidak berdasar dan lebih mencerminkan upaya dominasi pasar yang merugikan mitra dagang seperti Indonesia.
Ia pun menegaskan, kebijakan ini menciptakan ketidakpastian bagi eksportir Indonesia dan berisiko merusak kepercayaan pelaku usaha terhadap sistem perdagangan global yang seharusnya adil dan saling menguntungkan. Untuk itu, ia mengapresiasi langkah cepat pemerintah mengirim delegasi ke Washington guna membuka jalur diplomasi, termasuk menawarkan peningkatan impor produk AS sebagai bentuk kompromi konstruktif.
Namun, Eko mengingatkan, diplomasi tidak boleh menjadi satu-satunya andalan. “Kalau negosiasi tidak membuahkan hasil yang adil, kami di Komisi VI mendorong agar persoalan ini dibawa ke WTO. Kita tidak boleh membiarkan negara lain bertindak semena-mena tanpa dasar yang kuat,” tegasnya.
Lebih dari sekadar reaksi atas kebijakan jangka pendek, Eko menekankan perlunya strategi besar untuk membangun kemandirian ekonomi. Ketergantungan Indonesia terhadap satu atau dua pasar ekspor utama, seperti AS, telah berulang kali menempatkan Indonesia dalam posisi rentan terhadap tekanan eksternal.
“Pasar-pasar alternatif di Asia, Timur Tengah, hingga Afrika harus segera dioptimalkan. Jangan sampai kita terus berada dalam posisi yang mudah ditekan oleh mitra dagang besar,” tegas Politisi Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.
Ia juga menilai, langkah ini harus menjadi wake-up call agar struktur ekspor Indonesia diperkuat secara menyeluruh, mulai dari hulu ke hilir. “Ini bukan pertama kalinya kita ditekan lewat kebijakan sepihak. Kita harus menjadikan ini momentum untuk benar-benar serius membangun kemandirian dagang,” imbuhnya.
Komisi VI DPR, lanjut Eko, berkomitmen mengawal isu ini secara intensif, dengan memastikan adanya laporan rutin dari pemerintah, mendorong kebijakan konkret, serta memastikan pelaku usaha—terutama skala kecil dan menengah—tidak menjadi korban dari ketegangan dagang global.
Ia juga menyerukan pentingnya kebijakan perdagangan luar negeri yang inklusif dan adaptif terhadap dinamika global, agar Indonesia memiliki sistem dagang yang kuat, tidak mudah goyah oleh tekanan luar, serta berpihak pada kepentingan rakyat.
“Tugas kita bukan hanya merespons, tapi membangun sistem ekonomi yang lebih berdaulat dan berdaya tahan tinggi. Ini bukan semata-mata soal tarif, tapi tentang menjaga martabat ekonomi nasional dan masa depan pelaku usaha kita,” tutur Eko.