close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar dalam diskusi publik “Outlook Sektor Pertanian”oleh INDEF, Jumat (16/12/2022). Tangkapan layar YouTube INDEF
icon caption
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar dalam diskusi publik “Outlook Sektor Pertanian”oleh INDEF, Jumat (16/12/2022). Tangkapan layar YouTube INDEF
Bisnis
Jumat, 16 Desember 2022 19:41

Hadapi tantangan krisis pangan, Guru Besar IPB ungkap cara atasinya

Pembenahan ini pun memerlukan keterlibatan banyak pihak seperti pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat itu sendiri.
swipe

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar menjelaskan, dalam menghadapi tantangan krisis pangan global, banyak hal yang harus dibenahi pada sektor pertanian Indonesia. Pembenahan ini pun memerlukan keterlibatan banyak pihak seperti pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat itu sendiri.

Poin pertama yang paling penting harus dibenahi adalah cara pandang pada suatu isu pokok, antara lain seperti inflasi tinggi yang disebabkan volatilitas pangan, kemiskinan tinggi di pedesaan yang identik oleh pertanian, dan keyakinan belum makan jika belum makan nasi.

“Kita harus mengubah cara pandang kita. Jangan hanya menyalahkan inflasi gara-gara volatilitas pangan, justru kita harus melihat kalau betul begitu, kita tingkatkan produksi dan perbaiki kinerjanya. Niscaya, inflasi akan turun. Jadi semangatnya semua sama, ini harus didukung,” jelas Hermanto dalam diskusi publik “Outlook Sektor Pertanian”oleh Indef, Jumat (16/12).

Kemudian cara pandang yang menilai kemiskinan di desa tinggi karena pertanian harus diubah juga. Caranya menurut Hermanto, dengan mulai mendorong pertanian di desa dan di daerah agar lebih baik, sehingga kemiskinan akan turun. Selain itu untuk cara pandang isu ketiga yakni beras harus diubah juga. Pasalnya saat ini sudah banyak komoditi pangan yang bisa menggantikan beras.

“Jangan mikir belum makan kalau belum pakai nasi. Banyak komoditi yang bisa substitusi beras, ada singkong, sagu, ubi, sukun. Ini adalah komoditi-komoditi yang potensial untuk diversifikasi,” kata Hermanto.

Selanjutnya poin kedua yang perlu dibenahi pada pertanian adalah pemanfaatan teknologi yang harus dioptimalkan guan mengatasi masalah seperti inflasi. Penggunaan teknologi bisa mengatasi volatilitas pangan yang mempengaruhi inflasi, dan meningkatkan produktivitas pertanian. Urgensi penggunaan teknologi saat ini bukan hanya di Indonesia, namun menurutnya seluruh negara di dunia sudah mulai mengembangkan teknologi pertanian.

“Banyak negara yang mengalami modernisasi hingga dampaknya keterbatasan lahan untuk bercocok tanam, sewa lahan mahal, maka pemanfaatan pekarangan dimaksimalkan. Teknologi tepat guna juga harus dikembangkan,” ucap Hermanto.

“Dengan adanya teknologi tepat guna, intensitas tanah meningkat. Lahannya boleh tetap sama, tapi dengan adanya teknologi, dengan benih atau bibit yang lebih bagus yang dikembangkan Kementerian Pertanian (Kementan), perguruan tinggi, swasta, ini akan meningkatkan intensitas tanam sehingga hasil kali produktivitas dengan lahan dengan produksi itu meningkat. Peningkatan produksi tentu akan menurunkan inflasi khususnya volatile food,” sambungnya.

Khusus untuk tanaman cabai yang cenderung mempengaruhi volatilitas pangan, menurut Hermanto diperlukan pemanfaatan teknologi seperti rumah kaca yang sederhana.

“Cabai ini kan sebetulnya sangat musiman. Kunci untuk mengatasinya dengan teknologi tentu seperti rumah kaca yang simpel. Tidak harus kaca kan mahal, dengan semacam plastik itu bisa untuk mengontrol iklim mikro di sekitar tanaman. Sehingga tanaman itu bisa dipanen di luar musim. Jadi kalau harga tidak stabil kan stok ada jadi penstabilnya,” lanjut Hermanto.

Poin ketiga kemudian adalah pentingnya hilirisasi, industri, dan ekspor. Ketiganya bisa dilakukan sedikit demi sedikit. Sehingga Hermanto meminta agar pemerintah tidak hanya berfokus pada hilirisasi korporasi, namun juga perlu hilirisasi pada petani atau kelompok tani.

Selanjutnya yang tidak kalah penting, yaitu fungsi distribusi dan logistik pangan jangan hanya dilakukan oleh satu lembaga atau badan pemerintah saja. Namun diperlukan keterlibatan swasta, yakni swasta yang melakukan teken kontrak dengan petani dan kemudian pemerintah bertugas sebagai pengontrol.

“Ini pelaksanaannya akan jauh lebih efisien. Yang sekarang memang sudah oke, tetapi ke depan bisa lebih ditingkatkan,” tutup Hermanto. 

img
Erlinda Puspita Wardani
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan