Harga BBM naik: Menjaga APBN atau mengorbankan daya beli masyarakat?
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) nombok ratusan triliun gara-gara subsidi dan kompensasi energi yakni bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan elpiji. Di tengah ancaman tingginya inflasi, keputusan menaikkan harga BBM menjadi dilema tersendiri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan harga minyak dunia terus mengalami kenaikan yakni menjadi sekitar US$106 per barel. Bahkan, outlook harga minyak sampai akhir tahun berdasarkan International Energy Agency bakal mencapai US$104,8 per barel.
“Kalau menggunakan kurs dolar AS 14.700 dan ICP (Indonesia Crude Price) US$100 per barel, maka harga solar harusnya Rp13.950 per liter. Artinya masyarakat dan seluruh perekonomian dapat subsidi 63% dari harga keekonomian atau Rp8.800 per liternya,” bebernya dalam jumpa pers, Jumat (26/8).
Pun demikian dengan pertalite yang saat ini dipatok Rp7.650 per liter. Jika dihitung dengan asumsi ICP dan kurs dolar di atas, maka harga real-nya mencapai Rp14.450 per liter. Atau ada subsidi hingga 45% dari setiap liter yang dinikmati masyarakat.
“Bahkan pertamax sekalipun yang digunakan mobil-mobil bagus milik masyarakat mampu bahkan kaya dapat subsidi Rp4.800. Elpiji 3 kg yang sekarang Rp18.500 sebenarnya subsidinya mencapai Rp42.750 per kilogram,” papar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.
Memang, APBN 2022 juga mendapatkan windfall profit atau tambahan penerimaan yang berasal dari kenaikan harga-harga komoditas yakni mencapai Rp450 triliun. Namun, lonjakan subsidi energi yang terlalu besar membuat ancaman terhadap APBN kian nyata.
Sri Mulyani memaparkan dari sisi belanja, realisasi hingga Juli 2022 telah mencapai Rp1.444,8 triliun. Realisasi tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.031,2 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa yang mencapai Rp413,6 triliun. Realisasi ini juga lebih tinggi dari belanja negara pada semester-I yang sebesar Rp1.234,6 triliun.
Salah satunya, kenaikan alokasi subsidi dan kompensasi energi yang semula Rp152,4 triliun naik tiga kali lipat lebih menjadi Rp502,4 triliun. Jika dirinci, dana jumbo yang mencapai 16,2% dari total belanja negara ini Rp208,9 triliun diantaranya untuk membayar subsidi energi.
Dana tersebut kemudian dibagi lagi untuk keperluan pembayaran subsidi BBM solar, pertalite dan LPG sebesar Rp149,4 triliun kepada PT Pertamina (Persero) dan Rp59,6 triliun sebagai subsidi listrik kepada PT PLN (Persero). Kemudian, ada pula pembayaran kompensasi energi sebesar Rp234,6 triliun.
Anggaran ini nantinya akan dibayarkan kepada Pertamina sebesar Rp213,4 triliun untuk kompensasi BBM solar dan pertalite dan Rp21,4 triliun untuk kompensasi listrik melalui PLN. Lalu Rp108,4 triliun sisanya merupakan anggaran untuk pembayaran kurang bayar kompensasi energi 2021.
Bahkan, angka subsidi ini bisa semakin bengkak lagi karena konsumsi BBM yang juga melonjak. Di mana alokasi kuota solar tahun 2022 sebesar 15,1 juta kiloliter dan pertalite 23,05 juta kiloliter.
“Dengan pemulihan ekonomi konsumsi solar dan pertalite diperkirakan jauh melampaui apa yang ada di dalam APBN. Solar akan mencapai 17,44 juta KL, naik 115% dari kuota yang sudah dianggarkan dan pertalite akan mencapai 29,07 juta KL, naik 126% dr kuota, bebernya.
Dengan demikian, anggaran subsidi bisa bertambah lagi Rp195,6 triliun atau dengan kata lain total subsidi energi bisa mencapai Rp698 triliun di tahun 2022. “Rp698 triliun ini siapa yang menikmati, solar 89% dinikmati dunia usaha, 11% rumah tangga, di mana 95% adalah rumah tangga yang mampu. Pertalite dari Rp93,5 triliun, 80% dinikmati rumah tangga yang relatif mampu atau bahkan sangat kaya,” keluh Ani.
Karena itu, selain menyampai perhitungan tersebut kepada Presiden Jokowi, Sri Mulyani juga ingin menyampaikan kondisi APBN yang babak belur ke tengah masyarakat. “Kalau Rp195 triliun tidak kita sediakan di tahun ini maka dia akan ditagih di APBN 2023, tagihan datang tahun depan pas kita sedang jaga APBN defisitnya dikurangi di bawah 3% supaya sehat lagi,” ujarnya.
Adapun untuk tahun 2023, pemerintah telah menganggarkan dana sebesar Rp336,7 triliun. Terdiri atas pembayaran subsidi energi sejumlah Rp208,9 triliun dan kompensasi energi sebesar Rp126 triliun. Jumlah ini jelas lebih kecil dibandingkan anggaran subsidi dan kompensasi tahun ini.
“Kalau ada yang mengatakan jangan mencabut subsidi, kami tidak mencabut subsidi, duit Rp502 triliun sudah habis. Pertanyaannya, ini mau nambah atau enggak? Kalau mau nambah dari mana (uangnya-red)?” tandasnya beberapa waktu lalu.
Tekan defisit
Di sisi lain, tekad pemerintah telah bulat untuk menetapkan tahun 2022 menjadi tahun terakhir defisit APBN di atas 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini terefleksi dari target defisit dalam RAPBN 2023 yang hanya sebesar 2,85% terhadap PDB, atau setara Rp598,2 triliun.
“Defisit anggaran tahun 2023 merupakan tahun pertama kita kembali ke defisit maksimal 3% terhadap PDB,” papar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pembacaan Rancangan Undang-undang (RUU) APBN 2023 dan Nota Keuangan di Gedung Nusantara, Jakarta, Selasa (16/8).
Terlepas dari komitmen tersebut, pemerintah memang sudah seharusnya mengembalikan defisit APBN 2023 di bawah 3%. Ini sesuai amanat Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-undang. Beleid ini memperbolehkan pemerintah melewati batasan defisit 3% hingga 2022.
Dengan adanya UU ini, diketahui defisit pada tahun 2020 melebar ke 6,14% terhadap PDB atau setara Rp947,70 triliun. Angka itu bisa ditekan menjadi Rp783,7 trilun atau 4,65% terhadap PDB pada 2021. Adapun tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan optimistis, defisit APBN dapat kembali ditekan hingga ke level 3,92% atau senilai Rp732,2 triliun.
“Outlook defisit kita tetap 3,92% dari PDB atau lebih baik. Ini akan terus kita pantau, apakah bisa menjaga pendapatan negara tetap tumbuh kuat. Lalu belanja harus kita pastikan digunakan seefisien mungkin, sehingga defisit di akhir tahun kita harapkan cukup kuat ke 3,92% atau lebih rendah,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam acara media briefing secara daring, Senin (8/8).
Optimisme Febrio bukan tanpa sebab. Dia bilang, potensi defisit pada tahun 2022 di bawah 3% terjadi karena peluang pendapatan negara yang masih dapat bertumbuh lebih tinggi. Seperti yang telah diketahui, hingga paruh pertama 2022, APBN mencatatkan surplus sebesar Rp73,6 triliun atau 0,39% dari PDB. Kondisi ini jelas lebih baik dibanding periode sama di tahun sebelumnya yang mengalami defisit Rp283 triliun.
Surplus ini tak lain ditopang oleh pendapatan negara yang hingga Juni kemarin mencapai Rp1.317,2 triliun atau 58,1% dari target APBN sebesar Rp1.846,1 trilun. Realisasi ini juga tumbuh 48,5% dibandingkan periode Juni 2021 yang senilai Rp887 triliun.
“Sampai Juli 2022, APBN kita masih menghadapi surplus, bukan defisit,” imbuh Febrio.
Perlu diketahui, hingga akhir Juli, surplus APBN menyentuh angka Rp106,1 trilun, setara dengan 0,57% dari PDB nasional. Sedangkan pendapatan negara hingga periode ini tembus Rp1.551 triliun.
Meski terus surplus, Febrio memperkirakan jika APBN akan tetap defisit. Hal ini lagi-lagi karena pembayaran subsidi energi serta kompensasi harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik.
Keputusan soal penambahan anggaran subsidi dan kompensasi atau menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi bagaikan buah simalakama bagi pemerintah. Sebab, ketika pemerintah memutuskan untuk menambah anggaran, maka pembayaran subsidi BBM kepada Pertamina ini sebagian akan masuk dalam APBN 2023. Karena bagaimanapun APBN 2022 akan menanggung beban terlalu berat dari dana jumbo ini.
“Sebenarnya pemerintah bisa saja membayarkan tambahan dana subsidi dan kompensasi ini. Kalau begitu, anggaran subsidi dan kompensasi akan menjadi sekitar Rp700 triliun. Tapi, karena pemerintah ingin jaga soft landing (pendaratan lunak) di tahun ini, makanya di-carry over ke tahun depan,” prediksi Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (24/8).
Bagaimana tidak, ketika anggaran jumbo subsidi dan kompensasi tersebut seluruhnya dibayarkan tahun ini, besar kemungkinan defisit akan melebar dari yang telah ditentukan. Dus, agaknya kecil kemungkinan bagi pemerintah untuk ‘mencicil’ pembayaran subsidi dan kompensasi ini di tahun depan. Karena bagaimanapun pemerintah harus mematuhi UU 2/2020 dan mengembalikan defisit APBN di bawah 3%.
“Tapi kemungkinan akan di carry over di 2024, agar tidak melanggar Undang-undang. Dengan begini, maka defisit kita hanya 2,85%. Kalau subsidi diberikan tahun depan, maka defisit bisa 3,8% dan ini melanggar Undang-undang. Hitungan saya begitu,” jelas Tauhid.
Namun, jika pemerintah menggunakan opsi ini untuk mencegah kenaikan harga BBM dan menjaga konsumsi masyarakat, defisit selama 2022 hingga 2024 bisa saja sekadar defisit semu. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi di 2022 dan dua tahun mendatang.
“Jadi diakal-akalin saja nota keuangannya,” imbuhnya.
Mengorbankan daya beli
Sebaliknya, ketika pemerintah memutuskan untuk tidak memberikan subsidi, daya beli masyarakat lah yang akan tergerus, begitu juga dengan lonjakan inflasi. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal memperkirakan, jika pemerintah menaikkan harga Pertalite menjadi Rp10.000 per liter, dari yang saat ini seharga Rp7.650 per liter, inflasi tahun depan diperkirakan akan melambung di kisaran 7% - 9%.
Tingginya inflasi ini akan menjadi biaya perekonomian yang dapat menurunkan tingkat konsumsi dan daya beli masyarakat. Padahal, konsumsi dan daya beli merupakan penggerak utama perekonomian nasional.
“Menahan harga pertalite memang akan meningkatkan besaran subsidi dan menyebabkan pembengkakan defisit APBN. Tapi, saya kira defisit ini masih berada dalam kisaran yang lebih rendah dari target pemerintah,” ujarnya, kepada Alinea.id, Kamis (25/8).
Tidak hanya itu, mempertahankan harga BBM dirasanya akan memberikan risiko lebih kecil terhadap fiskal, ketimbang risiko kenaikan harga BBM terhadap perekonomian. Apalagi, APBN tahun ini masih mampu menjadi bantalan alias shock absorber dari tekanan global yang mengancam perekonomian nasional.
“Namun, untuk perekonomian ke depan, kebijakan terkait harga BBM ini harus benar-benar diperhatikan,” tegas Faisal.
Sebab, ketika inflasi tahun ini terus meningkat, dikhawatirkan akan berubah menjadi stagflasi atau kondisi di mana inflasi tinggi berkepanjangan yang menyebabkan dampak rambatan mulai dari terciptanya gelombang PHK (pemutusan hubungan kerja), meningkatnya kemiskinan, hingga risiko kontraksi ekonomi.
Perlu diketahui, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi indeks harga konsumen (IHK) pada Juli 2022 ialah sebesar 4,94% secara tahunan (year on year/yoy), naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 4,35%.
Sementara inflasi inti ada di level 2,89%, sedikit lebih tinggi dari Juni yang sebesar 2,63%. Kemudian inflasi kelompok volatile food telah mencapai 11,47%, naik dari bulan sebelumnya yang 10,07%. Sedangkan inflasi administered prices ada di level 6,51%, naik dari Juni 2022 yang sebesar 5,33%.
“Ketika inflasi tinggi dan ini akan mempengaruhi daya beli. Kalau daya beli kurang, maka potensi economy growth juga relatif kurang. Tahun depan akan cenderung stagnan,” ujar Direktur Eksekutif Indef Ahmad Tauhid.
Selain inflasi tinggi, tantangan lain untuk mencapai defisit 2,85% terhadap PDB ialah harga komoditas yang diprediksi akan mulai menurun tahun depan. Harga minyak mentah dunia yang sempat melampaui US$100 per barel akan diperkirakan turun ke level US$90 per barel di tahun 2023.
Sementara komoditas unggulan ekspor Indonesia seperti batu bara yang sempat mencapai US$244 per ton diperkirakan akan melambat di level US$200 per ton, harga CPO atau minyak sawit mentah diperkirakan hanya seharga US$1.000 per metrik ton dari yang sebelumnya sempat naik ke US$1.350 per metrik ton.
Harga komoditas pangan juga diperkirakan tak luput dari pelambatan. Organisasi Pangan Dunia (FAO) bahkan memperkirakan, harga komoditas pangan dunia akan mulai melandai pada 2023 hingga 2031 nanti.
“Ini yang buat ekonomi kita menghadapi awan gelap. Kenapa turun? Karena banyak negara yang akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun depan, termasuk mereka punya utang yang besar. Sehingga dampaknya permintaan terhadap komoditas akan turun di tahun depan,” jelas Tauhid.
Untuk menjaga agar perkonomian nasional tetap terjaga di tahun depan, sembari mencapai defisit APBN di bawah 3%, Tauhid pun mengamini pernyataan Faisal bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan dengan baik kebijakan terkait harga BBM. Sebab, kebijakan ini akan sangat berpengaruh terhadap konsumsi dan daya beli masyarakat ke depannya.