Harga mahal biofuel sawit demi kemandirian energi
Semenjak pergantian milenium, Indonesia beralih dari negara eksportir minyak menjadi importir minyak. Impor minyak bumi dan hasil turunannya inilah yang menjadi beban bagi neraca perdagangan Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor minyak mentah dan hasil minyak masing-masing mencapai US$248,6 juta dan US$543,8 juta selama Januari-Juli 2020. Di sisi lain, ekspor minyak mentah dan hasil minyak hanya mencapai US$113,3 juta dan US$152,2 juta.
Sebagai negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia, pemerintah menjadikan minyak kelapa sawit (CPO/Crude Palm Oil) sebagai garda depan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) di Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, produksi CPO Indonesia mencapai 45,86 juta ton pada 2019. Pada 2025, produksi BBN ditargetkan mencapai 13,8 juta kilo liter. Hal ini menjadi bagian dari target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23%.
Dalam pidato kenegaraannya di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Jumat (14/8) silam, Presiden Joko Widodo bahkan menyebut biofuel (BBN) berbasis CPO sebagai salah satu program andalannya melalui kebijakan mandatori B-20 dan B-30.
Penerapan kewajiban pencampuran bahan bakar diesel atau solar dengan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) ini telah diberlakukan sejak Januari 2020. Mandatori B-30 ini dinilai akan menghemat devisa negara sebesar US$4,8 miliar atau Rp67,2 triliun, meningkatkan nilai tambah CPO sebesar Rp63,39 triliun, menyerap 1,2 juta tenaga kerja, dan mengurangi 14,25 juta ton emisi CO2 (karbon dioksida).
“Pertamina bekerja sama dengan para peneliti telah berhasil menciptakan katalis untuk pembuatan D100, yaitu bahan bakar diesel yang 100% dibuat dari minyak kelapa sawit, yang sedang uji produksi di dua kilang minyak kita. Ini akan menyerap minimal satu juta ton sawit produksi petani untuk kapasitas produksi 20.000 barrel per hari,” kata Jokowi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah berencana mengimplementasi penggunaan B-40 pada Juli 2021 mendatang. B-40 ini merupakan campuran dari solar (60%), B-30 (30%), dan D-100 (10%).
“Tentu proyek biodiesel perlu komitmen stakeholder baik pemerintah sebagai regulator, BPDP (Badan Pengelola Dana Perkebunan) Kelapa Sawit, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), hingga Pertamina juga produsen migas lainnya,” ungkapnya dalam diskusi “Biodiesel Pascapandemi, Lanjut Atau Terhenti” yang diadakan oleh CNBC Indonesia, Kamis (30/7).
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Medali Emas Manurung mengungkapkan program B-30 mendorong pemintaan di dalam negeri. Setelah kebijakan mandatori B-30, serapan dalam negeri meningkat dari 18% menjadi 25%.
“Dengan sendirinya B-30 itu sudah membantu petani untuk memperbesar daya manfaat TBS (tanda buah segar) petani, sesuai hukum ekonomi supply and demand,” ujarnya melalui sambungan telepon, Jumat (21/8).
Imbasnya, harga TBS di tingkat petani mengalami peningkatan. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Riau, harga TBS umur 10-20 tahun di Riau berkisar antara Rp1.400-Rp2.200 per kilogram selama Semester I 2020, lebih tinggi dari Semester I 2019 yang hanya berkisar Rp1.300-Rp1.600 per kilogram.
Menurutnya, harga CPO di Indonesia lebih stabil dibanding negara produsen lainnya seperti Malaysia dan Thailand yang sangat bergantung dengan ekspor. Oleh karena itu, dia mengapresiasi langkah pemerintah yang mengembangkan BBN dari kelapa sawit.
“Artinya kalau serapan dalam negeri kita tingkatkan, itu akan memerdekakan kita menentukan harga. Istilahnya, B30 jadi saingan negara importir CPO. Kita berpacu menyerap CPO untuk B-30, apalagi setelah ditemukan D-100 yang tidak lagi menggunakan FAME. Dengan memerdekakan sawit, Indonesia tidak perlu kita takut kampanye negatif dari luar,” tuturnya.
BPDPKS terancam defisit
Di sisi lain, Indonesia masih berjuang demi mendapatkan harga biofuel berbasis CPO yang layak secara keekonomian. Untuk itu, pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memberi insentif untuk menalangi selisih harga biofuel dengan harga BBM. Dana tersebut didapatkan melalui pungutan ekspor CPO sebesar US$55/ton yang mulai dikenakan ketika harga CPO di atas US$570/ton.
Selama 2015-2019, BPDPKS telah menghimpun dana sebesar Rp51 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp33,6 triliun telah disalurkan untuk berbagai kebutuhan, termasuk insentif biodiesel yang jumlahnya mencapai Rp30,2 triliun,
Kini, insentif yang dibayarkan BPDPKS kepada produsen berpotensi semakin membengkak. Apalagi, harga CPO sempat mengalami penurunan. Tahun ini, harga CPO mencapai harga terendahnya sebesar US$462,48/ton pada Rabu (6/5). Namun, harga CPO kembali meningkat hingga US$678,23/ton per Rabu (19/8) atau 46,65% seperti dilansir dari Business Insider. Kenaikan harga ini membuat pungutan ekspor kembali berlaku namun biaya produksi biodiesel juga meningkat.
Di sisi lain, harga minyak mentah dunia menurun dari kisaran US$60/barrel selama bulan Januari menjadi sekitar US$40/barrel selama Agustus. Bahkan, harga minyak dunia sempat negatif pada bulan April. Hal ini menjadikan selisih harga jual biodiesel dan BBM semakin lebar.
Imbasnya, BPDPKS diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp3,54 triliun. Oleh karena itu, pemerintah menyuntikkan dana segar Rp2,78 triliun melalui APBN. Dana tersebut digunakan untuk pengembangan sektor hulu yang meliputi peremajaan sawit rakyat (PSR), sarana dan prasarana, serta pembinaan sumber daya manusia (SDM).
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan dana insentif tersebut diperlukan untuk mendukung keberlanjutan industri kelapa sawit nasional. Selain itu, penyerapan kelapa sawit dalam negeri akan menjamin stabilitas harga di tingkat petani.
“Seandainya kelebihan pasokan dalam negeri tidak dapat terserap, maka terjadi overstock yang akan menurunkan harga. Dampaknya akan menurunkan harga di tingkat petani,” ujarnya di Studio CNBC Indonesia, Jakarta, Kamis (30/7).
Eddy menjamin pihaknya masih mampu memberi insentif biodiesel lantaran harga minyak mulai menunjukkan tanda-tanda kenaikan. Selain itu, BPDPKS juga menyalurkan dana untuk program PSR, pengembangan SDM melalui beasiswa, kegiatan riset, dan promosi.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) Andriah Feby Misna mengatakan pemerintah tengah berupaya meningkatkan daya saing BBN dari kelapa sawit dengan cara memperkecil selisih harga antara biodiesel dan solar.
“Lalu usulan lain juga menaikkan biaya pungutan ekspor sehingga dana BPDPKS bisa mencukupi, termasuk PPN (Pajak Pertambahan Nilai) biodiesel diusulkan untuk ditanggung oleh negara. Ke depan, akan dikaji pola pembiayaan yang lebih berkelanjutan,” terangnya melalui pesan singkat, Jumat (21/8).
Sementara itu, Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan menilai penggunaan biodiesel bukanlah masalah persaingan harga semata, melainkan juga kepentingan nasional seperti ketahanan energi, kesejahteraan petani, penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan energi ramah lingkungan.
Menurutnya, beberapa opsi dapat dilakukan pemerintah untuk mengurangi beban BPDPKS seperti penggunaan dana anggota asosiasi, peningkatan tarif pungutan ekspor, penalangan dana pemerintah, maupun peningkatan harga biodiesel yang dijual ke masyarakat.
“Tahun-tahun sebelumnya subsidi minyak bumi luar biasa Rp90 triliun per tahun, termasuk listrik Rp200 trilun. Sekarang kenapa pemerintah tidak bisa memberi subsidi biodiesel sebesar itu? Jadi banyak faktornya begitu. Tidak bisa dibilang kepentingan harus ada dana. Betul, memang saat ini perlu ada dana besar agar menjamin biodiesel jalan terus,” ungkapnya kepada Alinea.id, Sabtu (22/8).
Gulat Medali Emas Manurung memaklumi besarnya dana pungutan ekspor kelapa sawit yang digulirkan untuk biodiesel. Menurutnya, dana pungutan ekspor pada dasarnya merupakan dana petani sawit yang semestinya digunakan untuk kepentingan petani seperti peremajaan sawit, beasiswa anak-anak petani, serta bantuan sarana dan prasarana.
“Ketika industri sawit masuk ke EBT, petani enggak mau jadi penonton. Maka, dananya (BPDPKS) untuk replanting (penanaman kembali). Ketika lima tahun ke depan, petani akan mengambil peran karena memakai bibit-bibit hibrida yang produktivitasnya 3,5 ton TBS per bulan,” ujarnya.
Dalam laporan Indonesia Clean Energy Outlook 2020, Institute for Essential Services Reform (IESR) memperkirakan jumlah dana yang dapat dihimpun oleh BPDPKS selama periode 2020-2030 dapat mencapai Rp258,63 triliun dengan asumsi harga CPO meningkat hingga US$900/ton pada 2030.
Namun, dana tersebut hanya cukup hingga 2026 dengan asumsi biaya distribusi sebesar 30%. Selebihnya, keseluruhan dana digunakan untuk insentif biodiesel, dengan harga CPO rata-rata di atas US$570/ton. Dengan demikian, BPDPKS diprediksi mulai mengalami defisit pada 2027.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa memperkirakan tahun ini terjadi defisit dana BPDPKS sebesar Rp5-20 triliun. Ini terjadi karena volume penyerapan biodiesel tinggi, dan harga sawit berada di bawah US$520/ton. Menurutnya, harga biodiesel tidak menguntungkan pada tingkat harga rata-rata US$50-60 per barrel yang diperkirakan berlangsung hingga 2-3 tahun ke depan.
Berkaca pada kondisi tersebut, Fabby menyangsikan kemampuan biodiesel dalam menghemat impor BBM nasional. Menurutnya, implementasi program mandatori B-30 pada tahun ini pun terlalu dipaksakan.
“Menurut saya, pemerintah ke depan harus memikirkan bagaimana mematok harga bahan baku sawit untuk feedstock (bahan baku) biofuel. Jadi buat kepentingan dalam negeri harus mematok harga DMO (Domestic Market Obligation). Kebijakan rakyat mensubsidi biodiesel harus diantisipasi. Menurut saya, itu harus sedapat mungkin dihindari,” terangnya kepada Alinea.id, Kamis (20/8).
Lanjutnya, penerapan harga DMO telah dilakukan pada beberapa komoditas bahan baku energi seperti batu bara yang maksimal US$70/ton untuk pembangkit listrik dan gas industri sebesar US$6/MMBTU (million british thermal unit). Menurutnya, hal tersebut tergantung kepada kemauan politik pemerintah dan kesiapan pelaku industri kelapa sawit.
Adapun untuk menjamin harga TBS di tingkat petani, Fabby menyarankan adanya harga acuan sebagaimana yang diterapkan dalam harga gabah petani. Selain itu, produsen BBN berbasis kelapa sawit mesti diwajibkan untuk membeli sekian persen bahan bakunya dari petani.
“Harusnya pemerintah hitung biaya produksi petani berapa dan beri margin yang wajar berapa. Misalnya dihitung tingkat inflasi. Bisa ditetapkan plus minus marginnya. Jadi ada insentif bagi petani,” tegasnya.
Kesiapan Pertamina
Bagaimana pula dengan program D-100 yang juga digembar-gemborkan pemerintah? Bulan Juli lalu, Pertamina berhasil melakukan uji coba produksi Green Diesel D-100 sebesar 1.000 barrel per hari di Kilang Dumai, Riau sebagaimana disampaikan oleh Presiden Jokowi sebelumnya. Bahan bakunya 100% berasal dari minyak jenis Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO). Jenis ini berbeda dengan B-30 yang berasal dari campuran Fatty Acid Methyl Esther (FAME) dan solar.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan uji coba produksi Green Diesel telah dilakukan sejak 2014 dengan melakukan injeksi RBDPO secara bertahap. Percobaan dimulai dari injeksi 7,5% RBDPO pada Desember 2014, kemudian 12,5% pada Maret 2019, dan terakhir 100% pada Juli 2020.
Pertamina mengklaim D-100 yang dicampur dengan solar dan FAME menghasilkan bahan bakar diesel yang lebih berkualitas dengan angka cetane lebih tinggi, menghasilkan emisi gas buang lebih rendah, dan hemat bahan bakar. Uji coba telah dilakukan melalui road test sepanjang 200 km.
Selain itu, pemrosesannya menggunakan Katalis Merah Putih yang merupakan hasil kolaborasi riset Pertamina dengan Institut Teknologi Bandung. Pabrik yang memproduksi katalis tersebut ditargetkan selesai pada 2021.
"Selain pengolahan minyak sawit di Kilang Dumai, Pertamina juga akan membangun dua standalone biorefinery lainnya yaitu di Cilacap Jawa Tengah, dan Plaju Sumatera Selatan," katanya dalam keterangan resmi, Minggu (16/8).
Standalone biorefinery di Cilacap nantinya dapat memproduksi green energy berkapasitas 6.000 barel per hari, sedangkan di Plaju berkapasitas 20.000 barel per hari. Kedua kilang tersebut akan memproduksi Green Diesel dan Green Avtur dengan bahan baku 100% minyak nabati.
Memang, sejak 2019 Pertamina telah berhasil melakukan uji coba produksi Green Gasoline di Kilang Plaju (Sumatera Selatan) dan Cilacap (Jawa Tengah). Pada 2020, perusahaan migas plat merah ini sudah mampu mengolah RBDPO sebesar 20% injeksi. Kemudian, pihaknya juga berencana melakukan uji coba Green Avtur di Kilang Cilacap pada akhir 2020.
"Mengolah minyak sawit menjadi Green Diesel sebenarnya sudah juga dilakukan oleh beberapa perusahaan lain di dunia, namun mengolah minyak sawit menjadi Green Gasoline dalam skala operasional baru pertama kali dilakukan di dunia, dan itu oleh Pertamina,"tegasnya.
Setelah serangkaian uji coba, Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan pihaknya akan melakukan komersialisasi terhadap produk-produk BBN tersebut.
“Terdapat beberapa hal yang harus didiskusikan lebih lanjut dengan para stakeholders termasuk regulator, supplier dan juga user, sehingga nantinya produk ini masuk secara keekonomian dan juga dapat diterima dengan baik oleh pengguna,” tulisnya melalui pesan singkat, Jumat (21/8).
Terganjal pandemi
Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan, Kementerian ESDM F.X. Sutijastoto mengungkapkan pengembangan BBN terhambat akibat terjadinya pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pihaknya terpaksa memangkas target penggunaan biofuel 2020 dari 9,6 juta kilo liter menjadi 8,3 juta kilo liter. Realisasi B-30 juga menurun dari 95% pada bulan Februari menjadi 87% pada bulan Juni.
“Dengan ekonomi dan transportasi yang sudah berkembang, harapannya B30 ini mulai bisa dikembangkan. Kalau kita dibandingkan dengan Malaysia, mereka masih tunda lho, masih B-20. Kita tetap jalan. Ini sangat penting bagi kita, jadi kita tetap komit untuk B30,” tuturnya dalam jumpa pers, Selasa (28/7).
Sementara, Andriah Feby Misna dari ESDM mengatakan pemerintah tengah melakukan pengujian terhadap B-40 yang saat ini dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) yang berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM.
“Uji coba untuk produksi greenfuel terus dilakukan untuk memastikan kelayakan ekonomis jika diproduksi secara komersil,” katanya.
Adapun Paulus Tjakrawan mengklaim para anggota Aprobi siap memasok biodiesel untuk kebutuhan B-30 dan B-40. Terkait B-40, pihaknya masih menunggu hasil pengujian yang dilakukan oleh Lemigas.
“Kita kan sudah mulai sejak 2005, jadi sudah 15 tahun. Potensinya pasti baik, kalau enggak sudah tutup. Jadi memang kami dari investor artinya waktu mendirikan pabrik dulu juga punya pemikiran bahwa potensinya besar,” katanya.
Dia mengungkapkan adanya penurunan serapan biodiesel rata-rata 3% tiap bulan semenjak terjadinya pandemi. Bila tren ini terus berlanjut, dia memperkirakan serapan biodiesel mengalami penurunan 8% pada akhir tahun.
“Kita (kebutuhan biodiesel) kan linier dengan kebutuhan solar. Kalau solar turun, kita juga turun. Kenyataan turun dari Maret ke Juni, kemudian juli mulai naik lagi,” ujarnya.
Tahun | Produksi | Distribusi domestik | Ekspor |
2015 | 1,65 juta kl | 915,5 ribu kl | 328,6 ribu kl |
2016 | 3,65 juta kl | 3,00 juta kl | 476,9 ribu kl |
2017 | 3,41 juta kl | 2,57 juta kl | 187,3 ribu kl |
2018 | 6,16 juta kl | 3,75 juta kl | 1,82 juta kl |
2019 | 8,39 juta kl | 6,39 juta kl | 1,31 juta kl |
Industri otomotif dan transportasi bersiap
Jika pasokan biofuel sudah ada kepastiannya, bagaimana dengan serapan pasarnya? Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) Jongkie Sugiarto menjamin pabrikan kendaraan anggotanya sudah menyesuaikan spesifikasi mesin kendaraan yang diproduksi bisa cocok dengan bahan bakar B-30.
“APM (Agen Pemegang Merek) harus konsultasi dengan Prinsipal atau Kantor Pusat dan melakukan uji coba, agar produk-produk yang dipasarkan dapat memakai B-40. Kemungkinan juga harus ada modifikasi atau perubahan pada produk-produk kendaraannya,” tulisnya melalui pesan singkat, Jumat (21/8).
Di sisi lain, pengembangan BBN kelapa sawit masih memerlukan penyempurnaan. Sekretaris Jenderal Indonesian Multimodal Transport Association (IMTA) Kyatmaja Lookman merasakan sejumlah kesulitan ketika awal-awal transisi dari solar ke biodiesel.
Kyat menjelaskan filter bahan bakar mengalami kemampatan pada filter lantaran sifat membersihkan dari FAME yang mengangkat kotoran. Selain itu, pre-filter yang digunakan dalam konfigurasi B-20 sempat memunculkan gel pada filter.
“Karena kita udah retrofit B-30, nampaknya (konfigurasi) yang dilakukan pada B-20 masih kompatibel ke B-30. Sampai ke B-40, kita masih lihat lagi perubahannya apa. Kalau high fat content-nya (kadar lemak) terlalu tinggi, efeknya mampet di filter,” pungkasnya kepada Alinea.id, Sabtu (22/8).