Kenaikan harga minyak goreng menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Bukan tanpa alasan, masyarakat kita sudah terbiasa mengolah masakan dengan menggoreng, sehingga dampaknya sangat dirasakan.
Ketua Bidang Komunikasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Tofan Mahdi pun angkat bicara mengenai kenaikan harga minyak ini. Dia menawarkan dua solusi.
Pertama dengan mengganti cara memasak makanan. Minyak goreng bukanlah kebutuhan pokok karena mengolah makanan tidak melulu harus digoreng. Bisa juga dengan opsi lain seperti direbus, panggang, gulai, dan lainnya.
"Makanan yang digoreng adalah menu sajian umum pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Karena itu, kenaikan produk minyak goreng, menjadi isu yang ramai diperbincangkan," ungkapnya kepada Alinea.id, Rabu (15/12).
Strategi kedua menurutnya ada di ranah pemerintah dengan meningkatkan daya beli masyarakat. Harga minyak goreng Rp23.000 per liter bagi sebagian masyarakat dianggap mahal.
Meski jika dibandingkan dengan minyak nonsawit lain jauh lebih murah. Harga minyak bunga matahari atau minyak kedelai yang bisa mencapai Rp70.000 per liter.
"Pendapatan pemerintah dari sektor kelapa sawit seyogianya bisa didistribusikan secara tepat dan digunakan untuk peningkatan daya beli masyarakat," ucapnya.
Dia menjelaskan sebagian besar minyak goreng yang beredar di Indonesia adalah berbahan baku sawit, mencapai lebih dari 90%. Baginya ini wajar karena Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia dengan total produksi mencapai mencapai 52 juta ton tahun lalu.
Minyak goreng lain selain berbahan baku sawit yang dijual di Indonesia misalnya dari kelapa, kedelai, rapeseed, zaitun, jagung, dan bunga matahari.
Akan tetapi masyarakat kita lebih suka mengonsumsi minyak sawit, pasalnya selain lebih murah juga dianggap lebih gurih dan sehat.
"Karena kebiasaan konsumsi masyarakat inilah, minyak goreng sawit menjadi salah satu produk konsumsi yang ikut mempengaruhi laju inflasi," jelasnya