Kenaikan harga pupuk berdampak pada menurunnya produktivitas kelapa sawit Indonesia. Harga pupuk berbasis nitrogen dan fosfat yang banyak dikonsumsi petani sawit naik 50% hingga 80% pada petengahan 2021.
“Kenaikan harga pupuk merupakan salah satu komponen utama yang dapat berdampak pada produktivitas kelapa sawit secara signifikan, padahal sebelum kenaikan harga pupuk memang sudah terbilang stagnan,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nisrina Nafisah, dalam keterangan resmi, Selasa, (8/2).
Nisrina menyebut pupuk merupakan komponen utama dalam produksi minyak sawit karena berkontribusi 30% hingga 35% dari total biaya produksi. Naiknya harga pupuk membebani petani sawit yang selama ini berkontribusi sekitar 34% dari produksi minyak sawit Indonesia.
“Harga pupuk yang mahal akan menambah biaya produksi dan mendorong petani kecil menggunakan pupuk lebih sedikit , sehingga berakibat pada berkurangnya produktivitas dan produksi," ujar Nisrina.
Di sisi lain, produktivitas kelapa sawit juga diramal akan kena imbas menghadapi masalah jangka panjang lainnya, seperti kurangnya penanaman kembali, yang menyebabkan pertumbuhan output menjadi lemah. Pandemi Covid-19 juga disebut menambah disrupsi pada produksi kelapa sawit dunia.
Juga, adanya permasalahan kekurangan tenaga kerja di Malaysia, negara penghasil sawit terbesar kedua selain Indonesia, akibat kebijakan karantina wilayah atau lockdown Covid-19, telah menurunkan kapasitas produksi kelapa sawit negara ini.
“Cuaca buruk yang menyebabkan banjir di perkebunan kelapa sawit juga mengganggu produktivitas dan kegiatan bercocok tanam,” imbuhnya.
Nisrina menuturkan kelangkaan pasokan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) juga memicu tingginya harga minyak goreng di Indonesia.
“Minyak goreng di Indonesia umumnya dihasilkan dari CPO yang harga domestiknya berkorelasi langsung dengan harga CPO internasional," kata Nisrina.
Sepanjang 2021, harga CPO internasional naik sebesar 36,3% dibandingkan 2020. Hingga Januari 2022, harga sudah mencapai Rp15.000 per kilogram.
“Tingginya harga tersebut disebabkan oleh kekurangan pasokan di tengah meningkatnya permintaan di banyak bagian dunia karena ekonomi pulih dari gelombang kedua Covid-19,” kata Nisrina.