Penurunan harga tiket pesawat sebesar 20%-60% membuat maskapai penerbangan harus memutar strategi agar kinerja tak buntung hingga rugi.
Belakangan ini, kenaikan harga tiket dari sejumlah maskapai penerbangan menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Padahal, musim liburan Natal maupun Tahun Baru sudah berlalu.
Misalnya saja, masyarakat Aceh yang ingin bepergian ke ibu kota, lebih memilih untuk transit di Kuala Lumpur ketimbang langsung ke Jakarta. Sebab, harga tiket langsung ke Jakarta lebih mahal.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Ari Askhara Danadiputra mengatakan mahalnya harga tiket pesawat disebabkan banyak hal. Salah satunya pergerakan kurs yang fluktuatif dan cenderung melemah.
Menurut Ari, sapaan akrab Askhara Danadiputra mengatakan, pelemahan rupiah yang berdampak pada kenaikan operasional pesawat tak sebanding dengan harga tiket yang dikeluhkan.
Selain pelemahan rupiah, lanjutnya, kenaikan harga tiket pesawat juga dipicu oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang harus ditanggung penerbangan domestik.
Meski demikian, INACA merespons hingga akhirnya menurunkan kembali harga tiket pesawat. INACA segera menurunkan tarif tiket pesawat antara 20% sampai dengan 60%.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. itu mengatakan, dari sisi biaya dalam bisnis maskapai ada beberapa variabelnya. Di antaranya tergantung dari volatilitas pasar, seperti kurs mata uang dan bahan bakar minyak (BBM).
"Masyarakat juga tahu pembayaran kita komponen cost variabelnya. Semua komponen cost-nya dalam dollar Amerika Serikat. Sedangkan, kursnya berfluktuasi," tuturnya di Penang Bistro, Jakarta, Selasa (15/1).
Dari sisi bahan bakar avtur sendiri mengalami kenaikan yang cukup signifikan, begitu juga dengan nilai tukar rupiah yang terus menurun.
Ari menjelaskan, BBM sendiri menjadi komponen paling besar untuk biaya operasional maskapai yakni sekitar 40%-45%. Kemudian ada komponen pembayaran untuk leasing pesawat sebesar 20%. Kemudian 10% untuk maintenance pesawat.
"Perusahaan leasing ini lebih didominasi oleh Eropa dan AS. Baru-baru ini saja ada dari China dan Jepang. Mereka supply dengan suku bunga lebih rendah namun aksesabilitasnya masih rendah," jelasnya.
Akan tetapi, Ari menyayangkan kebanyakan pesawat di Indonesia merupakan produksi Airbus dan Boeing. Sehingga, dari sisi jasa perawatan pesawat terjadi oligopoli dari kedua perusahaan itu.
Untuk itulah kata dia, dari seluruh komponen biaya operasi tersebut, margin keuntungan maskapai hanya 1% hingga 3%. Jika maskapai menjual di posisi tarif batas atas margin, keuntungannya pun hanya 3%.
"Margin 3% itu paling bagus dengan harga yang selangit. Sementara kemarin saat Natal dan Tahun Baru untuk maskapai full service kenaikannya tidak lebih dari batas atas, sedangkan LCC (low cost carrier) hanya 60%-70% dari batas atas," tegasnya.
Menurut dia, kemungkinan rata-rata penurunan yang bisa dilakukan maskapai adalah 30%. Hitungan itu menurutnya adalah batas paling bawah agar maskapai tidak rugi.
"(Penurunan) 30% itu batas kemampuan mereka. Batas yang mereka bisa toleransi untuk tidak rugi. Saya yakin itu hanya untuk memuaskan masyarakat, saya tahu betul dengan tarif batas saja kami rugi," tambahnya.
Dengan kondisi seperti itu, para maskapai terpaksa untuk banyak melakukan inovasi agar tidak rugi. Banyak yang cari untung dari bisnis kargo hingga ruang iklan di dalam pesawat.