Harta konglomerat Indonesia berkurang triliunan rupiah disengat corona
Kuartal pertama tahun 2020 baru akan berakhir. Namun pada tiga bulan pertama tahun tikus logam ini, perekonomian dunia sudah dihantam ancaman resesi.
Semua bermula dari coronavirus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China. Otoritas medis negara tirai bambu baru menyadari adanya penyakit baru ini pada Desember 2019 lalu.
World Health Organization (WHO) juga telah menetapkan coronavirus atau Covid-19 sebagai pandemi. Pasalnya, virus ini telah menyebar ke lebih dari 100 negara di dunia. Beberapa negara seperti Italia, Prancis, Spanyol, Belanda, Malaysia, Filipina, dan lainnya telah menerapkan karantina wilayah. Arus barang dan jasa pun mengalami gangguan.
Lembaga Pemeringkat Moody’s Investor Service memprediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini hanya sebesar 2,1%. Angka ini lebih rendah 0,3% dibandingkan perkiraan sebelumnya gara-gara hantaman corona. Adapun ekonomi Indonesia diprediksi hanya tumbuh 4,8% pada 2020. Bahkan Bank Indonesia (BI) pun memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,2% hingga 4,6% pada 2020. Meluasnya coronavirus juga turut menghantam lantai bursa saham di seluruh dunia.
Harta kekayaan konglomerat Indonesia ikut ambrol. Bloomberg Billionaires Index mencatat harta taipan crazy rich Indonesia raib triliunan rupiah sepanjang tahun ini.
1. Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono
Duo Hartono bersaudara ini tercatat paling banyak kehilangan harta kekayaan. Secara year to date, Robert dan Michael masing-masing kehilangan sebesar US$8,67 miliar dan US$8,35 miliar atau setara Rp143,06 triliun dan Rp137,78 triliun dengan kurs Rp16.500 per dolar AS. Hal ini tak terlepas dari anjloknya saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) sebesar 32,69%. Keduanya merupakan pemilik saham mayoritas BBCA dengan kepemilikan sebesar 54,94% di bawah bendera PT Dwimuria Investama Andalan.
Nilai saham emiten ini memang merosot drastis sejak tanggal 4 Maret 2020. Kala itu, harganya masih Rp32.200 per lembar saham. Harga saham emiten yang melantai di bursa sejak 31 Mei 2000 ini terus mengalami turun naik. Pada Selasa (24/3), BBCA ditutup pada harga Rp22.500 per dolar AS, menguat dibandingkan Senin (23/3) yang sebesar Rp22.150 per lembar. Melihat perkembangan Covid-19, BBCA sendiri telah menutup 30% cabangnya di Jabodetabek dari 24 Maret hingga 2 April 2020.
2. Tan Siok Tjien
Istri pendiri PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) ini kehilangan US$3,19 miliar atau sekitar Rp52,63 triliun sejak Januari 2020. Namun, pandemi Covid-19 bukan satu-satunya penyebab harga saham GGRM merosot. Sebagai salah satu pemain besar di industri rokok Indonesia, GGRM terdampak oleh kenaikan cukai hasil tembakau rata-rata sebesar 21,56%. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau telah menyebabkan naiknya harga eceran rokok rata-rata sebesar 35% sejak 1 Januari lalu. Secara YTD, saham GGRM telah anjlok sebesar 59,59%. Pada 17 Januari 2020, GGRM masih menorehkan harga cukup tinggi mencapai Rp58.300 per lembar, namun pada Februari harga saham GGRM terus turun. Pada Selasa (24/3) kemarin, emiten yang mencatatkan saham pada 27 Agustus 1990 ini bertengger pada level Rp36.400 per saham.
3. Sri Prakash Lohia
Hingga Selasa (24/3), pemilik dari PT Indorama Synthetics Tbk. (INDR) ini kehilangan US$1,76 miliar atau Rp29,04 triliun sejak Januari. INDR sendiri merupakan produsen polyester, benang pintal, dan kain terbesar di Indonesia. Dalam periode yang sama, INDR telah melemah sebesar 42,59% seiring menurunnya permintaan tekstil dan produk tekstil (TPT) serta terganggunya aktivitas produksi manufaktur akibat Covid-19.
Pada Januari lalu, INDR sempat stabil di kisaran harga Rp2.400-an per lembar. Namun sejak 17 Januari 2020, harga saham terus merosot sampai akhir Februari. Pada 28 Februari, INDR kembali rebound dari level Rp1.800 per lembar saham dan naik hingga Rp2.300 per lembar pada 5 Maret 2020. Namun sejak tanggal tersebut, INDR kembali melemah hingga ditutup di level Rp1.395 per lembar pada Selasa (24/3).
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M. Rizal Taufikurahman mengatakan penurunan daya beli masyarakat akibat Covid-19 berdampak pada tergerusnya harta kekayaan para konglomerat, terutama di sektor industri manufaktur, pengolahan sumber daya alam (perkebunan dan pertambangan), serta properti.
“Tentu ini menjadi masalah besar bagi para konglomerat yang mendayung dan mengumpulkan pundi-pundi uangnya di situ,” ujarnya.
Selain itu, jebloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga turut memicu amblasnya aset para konglomerat, terutama yang banyak melakukan transaksi pembayaran lintas negara.
“Banyak orang di pasar uang mampu mengerek asetnya naik. Mereka punya dolar, kursnya naik harusnya bertambah, ternyata tidak juga karena kondisi ekonomi global tidak mampu menciptakan kondisi ekonomi lebih baik,” jelasnya, kepada Alinea.id.
Rupiah terpantau melemah terhadap dolar AS. Selama periode year to date (YTD) hingga Selasa (24/3), rupiah telah melemah sebesar 18,85%. Rupiah sedikit menguat pada perdagangan Selasa (24/3) yang ditutup pada level Rp16.500 per dolar AS, lebih baik dibanding sehari sebelumnya yang sebesar Rp16.575 per dolar AS.
Demikian juga dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terjun 37,49% dalam periode yang sama. IHSG kian meninggalkan level 4.000 dan ditutup pada level 3.937,63 pada Selasa sore. Di hari yang sama, IHSG sempat turun ke level 3.911,716, terlemah sejak Agustus 2013.
Semua sektor yang tercatat di bursa saham Tanah Air lesu sejak Januari. Sektor industri dasar dan kimia mengalami kontraksi terdalam, yakni 48,13%. Sementara itu, sektor perdagangan, jasa, dan investasi mengalami pelemahan paling rendah, yaitu sebesar 28,59%.
BBCA, emiten sektor keuangan berkapitalisasi pasar paling besar, yakni senilai Rp554,74 triliun juga tak bertenaga. Harga sahamnya turun di atas 30%.
Executive Vice President Secretariat and Corporate Communication BBCA Hera F Haryn mengatakan anjloknya saham BBCA merupakan bagian dari mekanisme pasar.
“Gejolak pasar modal tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga global, khususnya pascaeskalasi pandemi Covid-19,” ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (24/3).
Sementara itu, untuk menjaga agar pasar saham tetap kondusif, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beberapa kali mengeluarkan kebijakan. Salah satunya, memberlakukan trading halt atau penghentian sementara perdagangan selama 30 menit sejak 11 Maret 2020. Hingga kini, tercatat perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah mengalami trading halt sebanyak lima kali. Terakhir terjadi pada Senin (23/3) pukul 14.52 WIB karena nilai IHSG yang kembali terkontraksi 5%.
OJK juga meminta kepada PT Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) untuk melakukan beberapa langkah drastis dalam rangka mengurangi penyebaran Covid-19.
"Kepada PT Bursa Efek Indonesia untuk mempersingkat jam perdagangan di bursa efek dan di Sistem Penyelenggara Pasar Alternatif (SPPA), serta mempersingkat waktu pelaporan di Penerima Laporan Transaksi Efek (PLTE)," kata OJK dalam keterangan tertulisnya, Selasa (24/3).
Dengan begitu, waktu perdagangan di bursa efek dari Senin sampai dengan Jumat, pada sesi I dimulai pukul 09.00 sampai dengan 11.30 dan sesi II dari pukul 13.30 sampai dengan 15.00. Untuk waktu perdagangan SPPA menjadi pukul 09.00 sampai dengan pukul 15.00. Waktu operasional PLTE menjadi pukul 09.30 sampai dengan pukul 15.30.
OJK menyebut hal tersebut berlaku mulai 30 Maret 2020 atau sejak penyesuaian jadwal kegiatan operasional dan layanan publik Bank Indonesia sampai dengan berakhirnya batas waktu yang ditetapkan OJK.
Kepala Pusat Investasi, Perdagangan, dan Industri INDEF Andry Satrio Nugroho menyebut sektor jasa adalah yang paling pertama terdampak Covid-19. Berdasarkan hasil survei yang diadakan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), tingkat okupansi hotel turun sebesar 25% hingga 50%. Pendapatan hotel dan restoran pun juga turun 25% hingga 50% pada bulan Maret.
“Kalau ada daerah yang mengandalkan sektor jasa ini, ini akan jadi malapetaka. Ini menyumbang kemiskinan dan pengangguran terbesar,” ungkapnya dalam webinar, Selasa (24/3).
Kemudian, sektor manufaktur juga terdampak mengingat adanya gangguan dari segi permintaan (demand) dan penawaran (supply), sehingga menimbulkan efek domino bagi perekonomian apabila penyebaran coronavirus terus berlanjut.
“Kami analogikan ketika permintaan barang turun, adanya social distancing dan lockdown, maka nanti produksi industri turun, kemudian pendapatan turun. Akibatnya, berdampak pada tenaga kerja yang dikorbankan, terjadi gelombang PHK (pemutusan hubungan kerja), lalu menyebabkan daya beli turun, dan ini terjadi terus-menerus,” terangnya.
Berdasarkan pemodelan tim peneliti INDEF, sektor listrik adalah yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19. Hal ini terjadi lantaran menurunnya aktivitas industri yang mengurangi produksinya.
“Bahan baku kebanyakan impor. Faktanya, global value chain tergantung dari China, bahkan di level dunia kontribusi kita sudah 5,5% (terhadap rantai pasok China). Inilah yang menggerus ekonomi kita. Mereka tidak mampu menyuplai pasar global, termasuk Indonesia,” tutur Rizal.
Ekonom Senior INDEF Dradjad Wibowo optimistis sektor barang konsumsi masih mampu bertahan karena tetap dibutuhkan oleh masyarakat. Meskipun terdapat penurunan di beberapa jenis industri turunannya. Selain itu, industri kesehatan akan tumbuh ditopang meningkatnya kebutuhan terhadap obat-obatan dan produk kesehatan lainnya.
Drajat mengaku sulit memprediksi arah pergerakan indeks saham dan rupiah. Penyebabnya, redanya kasus pandemi Covid-19 tak bisa diperkirakan. Ini berbeda dengan faktor ekonomi seperti yang selama ini terjadi.
“Mereka memperhitungkan, dengan wabah ekonomi, Indonesia akan ambruk dan terjadi spekulasi,” terangnya saat konferensi pers "Meracik Vaksin Ekonomi Hadapi Pandemi" secara streaming, Selasa (24/3).
Anggaran untuk kesehatan
Menurut Drajat, pemerintah perlu meningkatkan anggaran bagi pelayanan kesehatan demi menangkal penyebaran coronavirus. Dia mencontohkan, ekonomi China, Iran, dan Italia mengalami kelumpuhan setelah jumlah korban semakin meluas.
“Justru cara penyelamatan ekonomi yang paling bagus dalam kondisi sekarang itu adalah mencegah jangan sampai wabah ini meledak,” tegasnya.
Dia menyarankan adanya belanja pemerintah di sektor kesehatan secara besar-besaran. Hal ini sebagai kompensasi dari dampak penurunan ekonomi akibat Covid-19. Peningkatan permintaan terhadap alat-alat kesehatan juga akan menimbulkan efek pengganda yang mampu menggerakkan perekonomian nasional.
Terkait opsi lockdown, Dradjad mempertanyakan apakah hal ini secara otomatis akan membuat kegiatan ekonomi terhenti. Karenanya, belanja medis diharapkan bisa mengganti dampak kegiatan ekonomi yang hilang.
"Seberapa luas lockdown-nya tentunya serahkan timing lockdown pada ahlinya (bidang kesehatan). Mereka nanti yang bisa menghitung,” ungkapnya.
Rizal memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun ini akan menurun. Analisis Rizal, laju ekonomi apabila Covid-19 berlangsung hingga satu bulan, sebelum Lebaran (Mei), dan enam bulan, masing-masing sebesar 3,60%, 3,58%, dan 3,56%. Prediksi ini jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang mencapai 5,02%.
Rizal menambahkan, dampak pelemahan ekonomi terbesar terjadi di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang merupakan zona merah Covid-19.
“Seyogyanya dari temuan tadi, penurunan signifikan terjadi dalam konsumsi rumah tangga yaitu sebesar 4,80% hingga 4,89%,” ungkapnya.
Menurut dia, stimulus fiskal berupa dua paket stimulus sektor pariwisata dan industri dari Kementerian Keuangan maupun intervensi moneter BI sebesar Rp300 triliun masih belum memadai untuk memperbaiki sektor riil yang terdampak Covid-19.
“Perlu gabungan kebijakan dengan memberikan stimulus-stimulus yang lain terutama kemudahan-kemudahan pengusaha untuk mengakses pemodalan saat ini,” ungkapnya.