Hati-hati merealisasikan pemindahan ibu kota
Sejak awal Mei ini, Presiden Jokowi menyinggung pemindahan ibu kota. Salah satu kriteria calon ibu kota negara baru adalah memiliki risiko bencana alam yang minim.
Terdapat tiga wilayah yang dianggap minim risiko bencana di Indonesia, antara lain wilayah Pulau Sumatera bagian timur, kemudian seluruh Pulau Kalimantan dan Sulawesi bagian selatan. Sejauh ini, Provinsi Kalimantan Timur disebut-sebut sebagai kandidat terkuat sebagai calon lokasi ibukota negara baru.
Sejumlah kalangan telah memberikan harapannya atas pemindahan ibu kota ataupun pusat pemerintahan tersebut. Rata-rata positif, tetapi ada juga yang mengharapkan agar pemerintah berhati-hati dalam merealisasikan rencana tersebut.
Pendiri President University SD Darmono mengatakan pemindahan ibu kota ataupun pusat pemerintahan haruslah dilakukan dengan hati-hati karena sejumlah negara banyak yang gagal memindahkan ibu kota negara.
"Contohnya Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, namun pegawai negerinya tetap tinggal di Kuala Lumpur karena anak dan istrinya di sana," kata Darmono.
Negara lainnya seperti Brazil yang memindahkan ibu kotanya juga belum berhasil sepenuhnya, karena pemindahan ibu kota tidak memiliki dampak pada perekonomian. Menurut Darmono yang juga penting dilakukan adalah membangun kota-kota bisnis, yang tentunya memiliki dampak pada lingkungan di sekitarnya.
Hal itu cukup penting karena untuk memindahkan ibu kota ataupun pusat pemerintahan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengestimasi biaya pemindahan ibukota negara dari APBN mencapai Rp30,6 triliun untuk jangka waktu beberapa tahun (multi years).
"Dari total biaya Rp466 triliun, APBN yang dibutuhkan kira-kira hanya Rp30,6 triliun. Dari Rp30,6 triliun pun, ini bukan anggaran setahun, lima tahun lah misalkan, dibagi lima Rp6 triliun setahun," kata Menteri PPN/Kepala Bappenas saat diskusi pemindahan ibukota negara di Kantor Bappenas, Jakarta, Kamis.
Masalah sosial budaya juga harus diperhatikan untuk memilih sebuah daerah sebagai ibu kota. Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, Budi Suryadi memandang pentingnya pengelolaan kependudukan dengan latar belakang budaya yang beragam.
Jangan hanya satu suku, supaya tidak mengental jadi kesukuan yang fanatis. Selain itu, jumlah penduduk di ibu kota baru sebaiknya tidak terlalu banyak dan diantisipasi agar tak terjadi kepadatan.
Kritik juga dilakukan Pengamat sejarah kota Jakarta, JJ Rizal. Menurut Rizal, kebijakan itu menandakan sikap kemalasan berpikir mendalam untuk menentukan kebijakan. Keputusan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan seakan mengabaikan makna dan nilai sejarah dalam memilih lokasi ibu kota seperti ditentukan Presiden pertama RI, Sukarno.
Kala itu, Sukarno melalui Perpres Nomor 71 Tahun 1966 menetapkan Jakarta sebagai ibu kota negara lantaran mewakili imajinasi komunitas bangsa Indonesia. Jakarta juga dipandang memiliki wawasan nasionalisme.
“Jakarta banyak menyimpan peristiwa bersejarah, awal kebangkitan nasionalisme 1908, juga Sumpah Pemuda 1928. Kota yang punya wawasan nasionalisme yang kuat sebagai antitesis dari kolonialisme itu menurut Sukarno adalah Jakarta,” tutur Rizal seusai diskusi bertajuk “Maju Mundur Pindah Ibu Kota”, di Rujak Center for Urban Studies, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (8/5).
Daya tampung dan kapabilitas kota Jakarta yang menurun seiring kepadatan penduduk yang meningkat pun menjadi perhatian Rizal. Kerusakan itu berakar dari mental warga kota yang bobrok. Jika karakter itu tidak diubah, akan berpeluang menimbulkan masalah serupa di lokasi ibu kota yang baru.
Rizal tidak melihat spirit nasionalisme atau sejarah kebangsaaan yang kuat dari Palangkaraya, kecuali kota itu pernah dibangun oleh Sukarno sebagai kota basis pertahanan blok timur atau Uni Soviet di kawasan Asia Tenggara. Arsitek-arsitek dari Rusia didatangkan untuk membangun benteng pertahanan di Palangkaraya. Rizal pun bermaksud meluruskan sebagian pemahaman keliru di masyarakat.
“Bung Karno tidak pernah memiliki ide memindahkan ibu kota ke Palangkaraya. Saya tegaskan Sukarno hanya pernah membantu membangun kota di sana, dengan bantuan Semaoen, kawannya. Tetapi untuk memindahkan (ibu kota negara), enggak,” kata dia. Maka dari itu, dia memandang kota Palangkaraya perlu lebih dikembangkan nilai dan potensi sejarahnya.
Kalau pemerintah benar-benar merealisasikan rencana itu, lantas seperti apa kota Jakarta di masa depannya?
DKI Jakarta menjadi pusat bisnis
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memastikan DKI Jakarta tetap bakal berkembang sebagai pusat bisnis, perdagangan, dan jasa meski ibu kota Indonesia dipindah ke luar Jawa.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro sumbangan ekonomi dari sektor pemerintahan di Jakarta selama ini hanya sekitar 20% dari total pertumbuhan ekonomi Jakarta yang mencapai 6,17% pada 2018. Sedangkan 80% lainnya disumbang oleh sektor swasta. Sementara, bila dihitung dari kontribusi masyarakat yang bekerja di Jakarta, jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ada di Jakarta dan mungkin dipindahkan ke ibu kota baru juga hanya berkurang sekitar 1.000.000 penduduk.
"Penduduk Jakarta sendiri ada 10,3 juta jiwa dan dengan penduduk Jabodetabek hampir 25 juta orang. Jadi, kehadiran orang-orang itu akan membuat pertumbuhan ekonomi Jakarta tetap tinggi," katanya.
Di sisi lain, Bambang menilai dampak perekonomian yang bisa didapat Indonesia nanti bisa saja lebih besar. Terutama dengan ditinggalkannya gedung milik pemerintah yang umumnya berada di titik strategis saat ini, nantinya bisa dialihkan menjadi gedung-gedung perkantoran. Hal ini kemudian bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). (Ant)