Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), Pepres itu memberikan hak guna usaha (HGU) lahan di IKN hingga 190 tahun dengan siklus dua tahun.
Sejumlah persyaratan ketat diberlakukan. Sebagaimana tertulis dalam perpres, lahan HGU masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak; pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; dan syarat pemberian hak dipenuhi oleh pemegang hak. Lalu, pemanfaatan tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang; dan tanah tidak terindikasi telantar.
Jokowi mengaku kebijakan tersebut diharapkan bisa menarik investor. Ia menegaskan pembangunan IKN yang menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hanya dilakukan kawasan inti pemerintahan.
“Yang lainnya itu kita berharap kepada investasi, kepada investor, baik di dalam maupun luar negeri," kata Jokowi kepada wartawan seperti dilansir dari Antara, Selasa (16/7).
Pemerhati lingkungan sekaligus dosen Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Iskandar Zulkarnain menilai kebijakan HGU hingga 190 tahun cenderung irasional dan ambisius.
Ia membandingkan kebijakan tersebut dengan izin HGU selama 50 tahun di lahan pegaraman Madura pada era kolonial Belanda. Kebijakan itu banyak melahirkan masalah.
“Ada empat generasi yang harus dilewati. Masyarakat desa pasti akan berdampak karena tatanan sosial, ekonomi, budaya akan ikut berubah juga,” katanya kepada Alinea.id, Rabu (24/7).
Dengan pemberian izin semacam itu, menurut Iskandar, pemerintah seolah merelakan lahan milik negara dijual demi investasi. Dengan sebegitu lamanya masa berlaku, tak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi di area HGU.
"Masyarakat di area lahan HGU akan menjadi korban utamanya. Mereka (masyarakat) akan terusir dari wilayahnya dan akan berdampak terhadap perubahan tatanan sosial masyarakatnya,” ujar dia.
Peneliti di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Merdian menilai kebijakan tersebut dikeluarkan Jokowi lantaran pemerintah kesulitan menarik investor asing ke IKN.
Ia menganggap kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU Agraria). Menurut Eliza, UU tersebut masih jadi rujukan urusan terkait pertanahan.
"Tidak hanya prosesnya yang keliru terjadi, namun juga etika kenegaraan telah dilangkahi," ujar Eliza kepada Alinea.id.
Eliza meminta pemerintah berkaca pada kegagalan Myanmar saat memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw pada 2015. Pemerintah Myanmar mengobral HGU hingga 50 tahun dengan klausul perpanjangan hingga 20 tahun. Artinya, hanya total izin HGU hanya 70 tahun saja.
Ditambah investasi asing, pemindahan ibu kota menelan biaya hingga US$4 miliar. Duit sebesar itu dihabiskan untuk membangun jalan raya megah, pembangkit listrik, lapangan golf, hotel, pusat perbelanjaan, restoran dan cafe.
Pada 2017, Naypyitaw tercatat hanya dihuni 924 ribu jiwa saja. “Ibu kota baru saat ini menjadi kota hantu. Myanmar gagal memindahkan ibu kotanya,” ujar Eliza.
Dalam rapat kerja dengan DPR, awal Juni lalu, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengakui belum ada investor asing yang masuk ke IKN. Ia berdalih itu karena pemerintah masih merampungkan pembangunan klaster pertama IKN
"Desain kita itu, klaster pertama ini selesai di lingkaran satu (kawasan inti pemerintahan). Sudah selesai, baru masuk investasi asing di lingkaran kedua, tahap kedua,” ujar Bahlil.