Hilirisasi bauksit mulai berdenyut
Pengembangan hilirisasi atau smelter bauksit di dalam negeri akhirnya mulai bergerak setelah sebelumnya sempat mandek. Proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) fase 1 di Mempawah, Kalimantan Barat, melaksanakan injeksi bauksit perdana, awal pekan ini, sekaligus menjadi awal terbentuknya ekosistem industri aluminium yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Proyek ini memasuki tahap commissioning dengan target produksi alumina pertama pada November 2024 dan akan memenuhi kebutuhan domestik serta mendukung hilirisasi industri.
Pengoperasian smelter merupakan sinergi antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) atau Antam. Kedua perusahaan membentuk konsorsium bersama di bawah PT Borneo Alumina Indonesia sebagai operator SGAR Mempawah.
Kolaborasi tersebut memungkinkan produk mentah bijih bauksit yang dimiliki Antam diolah menjadi alumina. Produk mineral ini kemudian dikirim melalui Pelabuhan Kijing ke Kuala Tanjung, Sumatera Utara guna mencukupi kebutuhan bahan baku produksi aluminium di smelter Inalum.
Pemerintah sendiri sudah melarang untuk melakukan kegiatan ekspor bauksit sejak Juni 2023 lalu. Hilirisasi bauksit menjadi satu kewajiban lantaran termaktub dalam Undang-undang No. 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Hemat devisa negara
Direktur Utama PT Mineral Industri Indonesia Persero atau Mind Id Hendi Prio Santoso mengatakan dengan lengkapnya ekosistem hilirisasi bauksit Indonesia melalui SGAR fase 1 di Mempawah akan mampu meningkatkan nilai 120 kali lipat rantai pasok bauksit Indonesia. Nilai jual bauksit yang berkisar US$20 per metrik ton menjadi US$2.400 per metrik ton dalam bentuk aluminium.
"Peningkatan nilai tambah bauksit akan mencapai ratusan kali lipat. Tentu hal ini akan sangat berdampak bagi kinerja perusahaan dan juga penerimaan negara ke depannya," katanya.
Mind Id merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) holding industri pertambangan yang beranggotakan Antam, PT Bukit Asam Tbk., PT Freeport Indonesia, PT Inalum, dan PT Timah Tbk.
Setelah operasional penuh SGAR fase I, Hendi bilang, Mind Id bakal melanjutkan pembangunan SGAR fase II. Apalagi, Mind Id saat ini memiliki izin lahan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi alumina sekaligus pembangunan smelter pengolahan aluminium.
"Desain SGAR fase 1 memiliki luas 100 hektare (ha), dan kami masih memiliki 500 hektare untuk SGAR fase 2. Dan itu nanti ada smelter aluminium sehingga daya saing semakin meningkat," ujarnya.
Dia yakin, SGAR memiliki dampak positif yang berkelanjutan bagi ekonomi sekaligus sosial lingkungan di daerah operasional. Momentum pembangunan infrastruktur pabrik dan operasional mampu menyerap tenaga kerja serta menggerakkan ekonomi sektor terkait.
Selain itu, operasional pertambangan dan industri dijalankan dengan prinsip berkelanjutan sehingga dampak sosial dan lingkungan dapat dimitigasi dan dikurangi.
"SGAR ini sebagai penggerak masa depan. Tentunya semua operasional akan dijaga sesuai dengan standar sustainable mining sehingga mampu memberikan dampak positif yang optimal dalam jangka panjang," imbuhnya.
SGAR fase 1 di Mempawah menelan investasi sekitar Rp16 triliun dan akan menyerap sekitar 3,3 juta bijih bauksit per tahun dengan menghasilkan 1 juta ton alumina sebagai bahan baku aluminium. Adapun SGAR fase 2 nantinya akan memperkuat kapasitas produksi alumina serta dilengkapi pabrik smelter untuk memproduksi aluminium.
Pada tahun depan, Mind Id memiliki beberapa program champion mulai dari ekspansi smelter aluminium, ekspansi kapasitas tin chemical dan tin soldier, hingga pengembangan timah primer blok #1 dan blok #2.
Direktur Utama Inalum Ilhamsyah Mahendra menyebutkan produksi alumina perdana SGAR fase 1 ditargetkan dimulai pada kuartal IV-2024, dengan operasional penuh direncanakan pada akhir kuartal I-2025. Proyek ini diyakini akan memperkuat daya saing Indonesia di pasar global.
Dia optimistis operasional SGAR membuka peluang bagi Inalum untuk meningkatkan pasokan alumina, baik bagi pasar domestik maupun internasional.
"Kami juga membuka kesempatan kerja sama dengan mitra global guna memperkuat kapasitas produksi dan pemenuhan kebutuhan alumina di dalam maupun luar negeri," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Utama ANTM Nico Kanter mengatakan bauksit merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya signifikan. ANTM berperan sebagai pemasok utama bijih bauksit untuk SGAR.
"Dengan adanya SGAR, kami mendukung penuh program hilirisasi mineral dan memastikan terciptanya rantai pasok aluminium yang berkesinambungan dari hulu ke hilir," ujar Nico.
Direktur Utama PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) Leonard M. Manurung menyebut proses commissioning akan dilakukan bertahap dengan ramp up production hingga Desember 2024, dan direncanakan memasuki tahapan produksi penuh alumina pada kuartal I-2025.
“Proses injeksi bijih bauksit perdana ini merupakan salah satu tahap awal dari commissioning SGAR fase 1, di mana kami sudah mampu mengolah bijih bauksit mulai dari proses crushing, grinding, digestion, precipitation, filtration hingga proses calcination untuk siap menjadi alumina,” tuturnya.
Menurut Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Maman Abdurahman, bauksit menjadi penggerak roda perekonomian daerah Kalimantan Barat. Dengan kinerja pertambangan dan pemurnian yang tumbuh lebih agresif dari sebelumnya, maka multiplier effect terhadap sektor ekonomi terkait di Kalimantan Barat dan Indonesia disebut akan sangat positif.
"Dengan terealisasinya smelter ini bisa memotivasi serta mendorong lebih banyak percepatan pembangunan smelter lainnya, penambang-penambang di daerah dapat mendistribusikan hasil tambangnya, sehingga ekonomi bergerak," katanya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya mengatakan hilirisasi sumber daya alam dilakukan guna mengakhiri ekspor bahan mentah yang telah berlangsung sejak era VOC alias Perusahaan Hindia Timur Belanda. Menurutnya, negara-negara maju selama ini mendapatkan keuntungan besar dari impor bahan mentah Indonesia, sementara Indonesia sendiri tidak dapat berkembang secara optimal.
Dengan memanfaatkan situasi geopolitik global, pandemi Covid-19, dan resesi ekonomi, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk membangun industri domestik tanpa gangguan eksternal.
“Pembangunan smelter ini merupakan usaha kita untuk menyongsong Indonesia menjadi negara industri, mengolah sumber daya alam kita sendiri, dan tidak lagi mengekspor bahan-bahan mentah. Setop mengekspor bahan-bahan mentah, olah sendiri, karena nilai tambahnya akan diperoleh masyarakat, negara,” ujarnya.
Kebutuhan aluminium dalam negeri kini mencapai 1,2 juta ton, sebanyak 56% di antaranya masih diimpor. Dengan selesainya pembangunan smelter ini, diperkirakan impor aluminium dapat dihentikan dan menghemat devisa negara sebesar US$3,5 miliar setiap tahunnya.
Dengan investasi senilai Rp16 triliun, Jokowi yakin proyek ini menjadi awal dari babak baru industrialisasi Indonesia. Ia juga menyinggung beberapa proyek smelter lainnya, seperti di Sumbawa dan PT Freeport, yang merupakan bagian dari upaya Indonesia menjadi negara industri.
Dia mengeklaim, Indonesia sebelumnya telah sukses meningkatkan nilai tambah produk seperti nikel. Sebelum 2020, ekspor nikel mentah hanya menghasilkan US$1,4 miliar hingga US$2 miliar, namun setelah kebijakan penghentian ekspor bahan mentah, nilai tambah melonjak hingga US$34,8 miliar pada tahun 2023.