close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kegiatan pertambangan. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi kegiatan pertambangan. Foto Freepik.
Bisnis
Minggu, 03 November 2024 18:29

Hilirisasi energi, program yang mengorbankan lingkungan dan masyarakat adat

Hilirisasi menjadi salah satu fokus pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
swipe

Hilirisasi energi menjadi salah satu topik yang ditekankan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya di hadapan parlemen setelah pelantikannya sebagai presiden pada 20 Oktober 2024. Eks menhan itu mengatakan kebijakan tersebut untuk meningkatkan nilai tambah komoditas dan kesejahteraan masyarakat.

"Dalam menjamin kesejahteraan sejati bagi seluruh rakyat, kita harus memastikan hilirisasi diterapkan pada semua komoditas yang kita miliki," ujar Prabowo, Minggu (20/10).

Program penghiliran akan dilakukan terhadap 28 komoditas unggulan Indonesia, mulai dari gas bumi, kelapa, karet, timah, tembaga, hingga nikel. 

Kebijakan ini membawa angin segar bagi perekonomian Indonesia. Namun, di sisi lain, mengorbankan lingkungan dan sosial. Salah satunya, hilirisasi nikel yang telah dimulai sejak era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Saat ini terdapat hampir 1 juta hektare konsesi tambang nikel di Indonesia, yang 66%-nya atau sekitar 0,64 juta hektare merupakan tutupan hutan alam. Besarnya luasan konsesi tambang nikel di Indonesia yang terus bertambah ini didorong oleh agenda transisi energi global untuk memasok komponen baterai kendaraan listrik, dengan tujuan ekspor utama ke China. 

Direktur Eksekutif Auriga Nusantara Timer Manurung mengatakan pemerintah harus membatasi produksi nikel karena dampak negatifnya terhadap keanekaragaman hayati. Deposit nikel di Indonesia yang mencapai luasan 3,1 juta hektare terkonsentrasi di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Hampir 80% atau 2,5 juta hektare wilayah deposit nikel di Indonesia yang terkonsentrasi di Indonesia timur merupakan wilayah yang kaya akan hutan dan keanekaragaman hayati, serta berada di dalam wilayah adat. Wilayah tersebut juga merupakan rumah bagi setidaknya 18 spesies ikonik, yang keberadaannya terancam akibat ekspansi tambang nikel.

"Untuk itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk menetapkan ‘No Go Zone’ (daerah yang tidak bisa ditambang lagi) di area-area yang memiliki peran penting pada keanekaragaman hayati dan penanggulangan perubahan iklim,” ujar Timer," baru-baru ini.

Selain itu, Timer mengatakan, pemerintah harus menetapkan kuota bagi ekspansi tambang nikel yang bisa dilakukan di luar 'No Go Zone' guna mencegah kerusakan ekosistem yang lebih buruk. Untuk daerah tersebut, perlu ada perhitungan berdasarkan ketersediaan nikel di Indonesia, kebutuhan akan nikel yang masuk akal, lama waktu yang dibutuhkan bagi Indonesia untuk melakukan ekspansi pertambangan nikel, dan potensi ancaman terhadap ekosistem dan biodiversitas yang akan terjadi dari ekspansi tambang nikel.

Mengancam masyarakat adat

Selain keanekaragaman hayati dan integritas ekosistem, pertambangan nikel juga mengancam kehidupan masyarakat adat. Di Morowali, masyarakat Taa (Wana) telah menggunakan berbagai jenis kayu, seperti kayu bitti (vitex cofassus), damar (agathis alba), dan kumea (manilkara celebica) selama berabad-abad sebagai bagian dari kehidupan mereka.

Namun, keberlanjutan sumber daya ini kini terancam oleh dampak tambang nikel yang masif. Pengolahan nikel menggunakan energi dari batu bara juga berdampak negatif pada keragaman hayati pulau Kalimantan.

"Karenanya perlu pembatasan produksi nikel sesuai dengan daya dukung energi terbarukan agar target aksi iklim dan keragaman hayati dapat tercapai," ujar Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius.

Forest Watch Indonesia menemukan industri nikel memiliki kaitan erat dengan penderitaan masyarakat adat, mulai dari dampak lingkungan seperti banjir hingga hilangnya akses masyarakat adat terhadap wilayahnya. Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia mengatakan penambangan yang bertanggung jawab, mengikuti standarisasi yang sudah ada termasuk Free Prior Informed Consent (FPIC) alias prinsip yang memastikan masyarakat adat dan lokal dapat memberikan persetujuan atau menolak aktivitas, program, atau kebijakan yang akan berdampak pada mereka, merupakan bagian penting dari implementasi Kesepakatan Global Keanekaragaman Hayati atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework/KM-GBF.

Salma Zakiyah, Program Officer Hutan dan Iklim dari Yayasan Madani Berkelanjutan menyebut agenda transisi energi untuk mengatasi perubahan iklim global tidak boleh merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati. Target 8 KM-GBF mencakup mandat untuk meminimalkan dampak aksi iklim terhadap keanekaragaman hayati. Oleh karenanya, dia bilang, Indonesia harus menyelaraskan kebijakan iklim dengan kebijakan perlindungan keanekaragaman hayati, termasuk harmonisasi Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) dengan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP).

“Seluruh kebijakan terkait iklim dan keanekaragaman hayati harus didasarkan pada prinsip keadilan iklim. Ini mencakup pengakuan dan perlindungan wilayah hidup kelompok rentan, pelibatan penuh dan efektif, perlindungan sosial, serta pemulihan hak-hak kelompok rentan ketika terjadi kerusakan, termasuk pemulihan hak dan wilayah hidup masyarakat adat dan lokal,” katanya.

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan