close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi industri pertambangan. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi industri pertambangan. Foto Pixabay.
Bisnis
Rabu, 23 Agustus 2023 15:31

Hilirisasi nikel ala Jokowi disebut rugikan keuangan negara

Kebijakan hilirisasi nikel disebut dapat merugikan keuangan negara.
swipe

Hilirisasi, khusususnya untuk komoditas nikel menuai perdebatan. Political Economy and Policy Studies (PEPS) menyebut kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu dapat merugikan keuangan negara.

Managing Director PEPS, Anthony Budiawan mengatakan hilirisasi hanya akan dinikmati oleh investor sebagai pemilik modal. Kalau investor tersebut pihak asing (PMA), maka manfaat ekonomi dinikmati asing. Kalau investornya pengusaha domestik (PMDN), maka manfaat ekonomi dinikmati pengusaha domestik. Demikian juga jika investornya pihak negara (BUMN), maka manfaat ekonomi dinikmati oleh negara.

"Nah, siapa investor smelter nikel? Kalau X persen investasi smelter dikuasai asing (PMA), maka X persen manfaat hilirisasi dinikmati asing. Pertanyaannya, berapa X persen tersebut, apakah 90% atau 100%?" ujar Anthony dalam keterangannya, Rabu (23/8). 

Apalagi, ujarnya, sebelumnya Jokowi melalui Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto menyebut manfaat hilirisasi nikel pada 2022 mencapai Rp510 triliun.

"Kalau manfaat ini dinikmati oleh PMA, maka Jokowi diduga merugikan keuangan negara, sebesar nilai manfaat tersebut, Rp510 triliun plus insentif, serta melanggar konstitusi," tutur Anthony.

Pernyataan Anthony itu sekaligus menanggapi pemerintah yang mengklaim hilirisasi juga dinikmati oleh masyarakat dan negara, dalam bentuk tenaga kerja, pajak, bea, royalti dan macam-macam.

Staf Khusus Kementerian Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo pernah mengatakan, pemerintah telah mengatur tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam dan royalti atas nikel serta produk pemurniannya. Maka dari itu, smelter nikel China dikenai pungutan pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022.

Pengelolaan mineral diarahkan untuk mendukung hilirisasi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Melalui kebijakan ini, pemerintah telah melakukan dua hal. Pertama, melakukan pelarangan ekspor bijih nikel sejak 2020. 

Kemudian, memberlakukan tarif royalti yang berbeda bagi para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), antara yang hanya memproduksi atau menjual bijih nikel dengan perusahaan yang juga memiliki smelter. Tarif royalti untuk bijih nikel 10% dan tarif untuk Feri Nikel atau Nikel Matte sebesar 2%.

“Ini kekeliruan yang besar. Ini bukan manfaat hilirisasi, tetapi manfaat dari pembangunan ekonomi yang memang bertujuan membuka lapangan kerja. Sudah pasti investasi akan membuka lapangan kerja, meningkatkan penerimaan pajak, dan seterusnya,” ujar Anthony.

Nah, manfaat pembangunan ekonomi itu akan mengerek kenaikan penerimaan pajak, bea, royalti, dan lainnya. 

Di sisi lain, pemerintah juga harus obral insentif guna menarik investasi. Sebut saja tax holidays, bebas royalti, bebas bea keluar, bea masuk, dan lainnya. Insentif juga diberikan untuk investasi di smelter (hilirisasi) nikel.

"Insentif adalah cara untuk memberi keuntungan atau manfaat ekonomi tambahan bagi investor. Umumnya, karena sektor tersebut kurang menarik, atau ingkat keuntungan tidak cukup, sehingga diberi insentif," ujarnya.

Meski demikian, dia menyebut insentif yang tidak tepat bisa merugikan keuangan negara. Sebab, yang menanggung insentif adalah negara.

Hilirisasi nikel memang memicu kontra dari berbagai kalangan. Ekonom Senior INDEF Faisal Basri juga sempat mengatakan hilirisasi nikel di Indonesia hanya menguntungkan industrialisasi China. Dia mengatakan angka yang disampaikan oleh Jokowi bahwa Indonesia sukses meraup Rp510 triliun dari hilirisasi nikel tidak jelas juntrungannya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan