Indonesia memiliki potensi pengembangan industri tembaga yang sangat besar. Namun, hilirisasi tembaga yang menjadi proyek andalan presiden ke-7 RI, Joko Widodo, masih berjalan lambat.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti mengatakan Indonesia memiliki 3% cadangan tembaga dunia, menjadikannya negara dengan cadangan tembaga terbesar ke-10 di dunia. Dengan meningkatnya permintaan global akan tembaga akibat transisi energi hijau, hilirisasi tembaga di Indonesia dipandang sebagai langkah strategis.
Meski demikian, keberhasilan proyek hilirisasi ini sangat bergantung pada pembentukan ekosistem yang terintegrasi, yang hingga kini masih berjalan lambat. “Tanpa ekosistem yang terhubung kuat antarsektor, hilirisasi sulit mendorong nilai tambah yang optimal,” ujar Esther, belum lama ini.
Setumpuk masalah
Dalam kajiannya, Indef menyebutkan nilai tambah tembaga dapat meningkat hingga 71 kali lipat dari hulu ke hilir. Namun, fakta ini tidak menutupi sejumlah masalah mendasar yang mengancam keberhasilan hilirisasi.
Mahalnya investasi dan terbatasnya efek ekonomi menjadi salah satu kendala. Investasi besar-besaran dalam pembangunan smelter, seperti proyek PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik senilai Rp58 triliun, menghasilkan kapasitas pemurnian 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Meski demikian, proyek ini hanya menciptakan 2.000 lapangan kerja baru atau jauh dari signifikan dibandingkan kebutuhan pasar tenaga kerja nasional.
Selain itu, peluang nilai ekspor juga minim. Data Indef menunjukkan nilai ekspor produk hilir tembaga baru mencapai US$282 juta dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (GDP) sekitar US$34,9 juta. Angka ini terbilang kecil mengingat besarnya investasi dan potensi cadangan tembaga Indonesia.
Masalah lain, keterbatasan teknologi dan infrastruktur. Hilirisasi tembaga membutuhkan infrastruktur teknologi tinggi, yang sebagian besar masih harus diimpor. Ketergantungan ini berpotensi meningkatkan biaya produksi, serta melemahkan daya saing produk tembaga Indonesia di pasar global.
Esther juga menyoroti peran kebijakan pemerintah dalam pembentukan ekosistem hilirisasi tembaga. Proyek hilirisasi dinilai terlalu bergantung pada regulasi negara, sehingga memiliki risiko besar. Perubahan kebijakan atau lemahnya implementasi dapat membuat hilirisasi gagal mencapai potensi optimalnya.
“Transformasi industri melalui hilirisasi memang penting, tetapi jika ekosistem dan kebijakan pendukung tidak solid, maka investasi besar ini hanya akan membebani ekonomi,” tegas Esther.
Tanpa perencanaan yang matang dan ekosistem yang terintegrasi, proyek ini berisiko menjadi beban ekonomi, alih-alih menjadi motor penggerak pertumbuhan seperti yang diharapkan pemerintah. Ambisi menuju industrialisasi tidak cukup hanya dengan investasi besar. Strategi jangka panjang yang efektif dan efisiensi ekonomi disebut menjadi kunci keberhasilan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno, mengklaim hilirisasi tembaga akan meningkatkan pendapatan negara dan membuka lapangan kerja.
Pemerintah mengandalkan Smelter Gresik sebagai salah satu tonggak hilirisasi tembaga nasional. Diresmikan oleh Jokowi pada September 2024, smelter ini mampu mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun menjadi sekitar 600.000 ton katoda tembaga.
Investasi jumbo dalam pembangunan smelter ini disebut tidak hanya meningkatkan kapasitas pengolahan tembaga nasional tetapi juga membuka peluang bagi tumbuhnya industrialisasi di Indonesia, khususnya di area Gresik.
"Proyek ini diharapkan memberikan manfaat bagi negara, tetapi perlu diingat kemandirian energi dan industri tidak dapat dicapai hanya dengan investasi besar. Perlu ada efisiensi, inovasi teknologi, dan perencanaan jangka panjang yang matang,” ucap Tri.