Neraca perdagangan Indonesia kembali defisit pada April 2018 sebesar US$ 1,63 miliar. Dengan begitu, perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 1,31 miliar di sepanjang tahun ini, .
Secara kumulatif dari Januari - April 2018, terdapat tiga negara dengan neraca perdagangan non migas Indonesia yang mengalami surplus, diantaranya Amerika Serikat, India, dan Belanda.
"Amerika Serikat surplusnya agak menurun. Dari US$ 3,1 milliar menjadi US$ 2,7 milliar pada 2018. India kita masih mengalami surplus sebesar US$ 2,6 miliar, dan dengan Belanda kita juga mengalami surplus US$ 920 juta," terang Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto kepada wartawan, Selasa (15/5) di Jakarta .
Sementara neraca perdagangan nonmigas Indonesia menurut negara yang mengalami defisit sejak Januari hingga April 2018, diantaranya China sebesar US$ 5,76 milliar, Thailand sebesar US$ 1,50 milliar, dan Australia sebesar US$ 792,8 juta.
Berdasarkan catatan BPS, sepanjang tahun ini, neraca perdagangan Indonesia baru sekali mengalami surplus, yakni pada Maret sebesar US$ 1,12 miliar. Sedangkan di Januari, defisit sebesar US$ 756 juta. Februari defisit US$ 52,9 juta.
BPS menyebutkan defisit pada April 2018, dipicu oleh defisit sektor migas sebesar US$ 1,13 milliar dan non migas US$ 0,50 miliar. Suhariyanto menjelaskan, defisit yang terjadi pada April 2018, dikarenakan adanya peningkatan impor yang sangat tinggi. Terutama juga karena defisit dari migas dan non migas.
"Kenaikan impor baik dari sisi migas dan non migas, terutama barang konsumsi itu wajar, karena menjelang puasa" jelas Suhariyanto.
Jika dibandingkan dari tahun lalu, pria yang akrab disapa Kecuk ini melihat ada perbedaan penyebabnya. Dimana untuk Januari-April 2017, defisit terjadi karena dipicu sektor migas. Hasil transaksi minyak juga saja mengalami defisit US$ 4,5 milliar. Sementara sektor non migas, masih mengalami surplus US$ 2,5 juta. Sehingga kala itu, defisit sebesar US$ 1 milliar.
Kecuk berharap ke depannya Indonesia bisa kembali meningkatkan ekspor dibanding impor. "Kedepan kita berharap ekspor akan berkembang lebih bagus, impor bisa kita agak tahan. Sehingga neraca perdagangan kita kembali surplus," ujar Kecuk.
Impor barang konsumsi US$ 1,51 milliar atau naik 38,01% jika dibandingkan April 2017. Sementara impor dari bahan baku atau penolong dan barang modal masing-masing naik 33% dan 40,81% secara year on year.
Kontribusi barang konsumi sebenarnya kecil hanya 9,39%. Sektor yang menyumbang paling besar masih berasal dari bahan baku atau penolong sebesar 74,32% dan barang modal sebesar 16,29%.
Sebelumnya, Bank DBS FX & Rates Strategist - ASEAN, Duncan Tan, mengatakan, ekonomi Indonesia menghadapi berbagai tantangan dari harga minyak tinggi, mata uang dollar AS yang menguat, dan kenaikan tajam pada suku bunga AS. Ini membawa implikasi negatif bagi posisi neraca pembayaran ekonomi (BOP), fiskal, inflasi, persyaratan pembiayaan, dan arah kebijakan.
"Defisit transaksi berjalan tampaknya akan kembali di atas 2% dari PDB pada 2018. Harga komoditas yang lebih tinggi telah mengangkat ekspor tetapi ini sebagian diimbangi oleh defisit perdagangan minyak dan gas yang melebar," tutur dia dalam risetnya.