Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan, dengan tujuan untuk mengejar target pajak 2022.
Menanggapi hal itu, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI Ajib Hamdani mengatakan, kebijakan tersebut cenderung mengabaikan kondisi pemulihan ekonomi yang belum normal.
Indikatornya menurutnya cukup jelas, yaitu pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2021 yang masih mengalami kontraksi, di level 0,74%.
"Sebuah opsi kebijakan pragmatis yang dilontarkan oleh Menteri Keuangan, dan cenderung mengabaikan kondisi pemulihan ekonomi yang belum normal," katanya kepada wartawan, Jumat (7/5).
Jika mengacu kepada UU PPN, Pasal 7 disebutkan bahwa tarif PPN adalah sebesar 10%. Namun, Kemenkeu berencana menaikan tarif PPN hingga 15%. Meskipun bisa, dia mempertanyakan urgensi kenaikan tarif tersebut.
Di kondisi saat ini pemerintah seharusnya lebih fokus dengan pembuatan database yang valid dan terintegrasi, sehingga orientasinya adalah untuk ekstensifikasi dan mengurangi shadow economy.
"Upaya ini akan lebih mendorong kenaikan pemasukan buat negara, menjaga sustainability penerimaan dan memberikan keadilan buat masyarakat," ujarnya.
Dengan begitu, fungsi pajak akan lebih optimal, selain sebagai budgeter, pengumpul uang buat negara, juga sebagai regulerend, pengatur ekonomi dan sebagai redistribusi pendapatan yang berkeadilan.
Menurutnya, pembuatan database yang valid dan terintegrasi, lebih berorientasi jangka panjang dibandingkan dengan sekedar opsi menaikkan tarif PPN, yang cenderung memberikan beban berlebih kepada masyarakat.
"Opsi kenaikan PPN, adalah opsi kebijakan yang cenderung kontraproduktif dan tidak pro dengan masyarakat luas di masa pandemi dan resesi ekonomi yang belum selesai," ucapnya.
Ajib pun menuturkan, jika melihat realisasi penerimaan pajak tahun 2020, PPN dalam negeri memberikan kontribusi pemasukan sebesar Rp298,4 triliun dan PPN Impor sebesar Rp140,14 triliun. Total PPN sejumlah Rp439,14 triliun ini setara dengan 36,63% penerimaan pajak.
Adapun, data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2020 sebesar Rp15.434,2 triliun. Perputaran ekonomi ini masuk ke dalam 15 besar dunia. Sehingga menurutnya, penerimaan pajak selama ini masih cukup baik.