Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan ekspor kendaraan listrik dan hybrid Indonesia ke Australia akan menjadi andalan setelah perjanjian kerja sama perdagangan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara kedua negara resmi disepakati.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto optimistis ekspor Indonesia akan meningkat ke Australia, karena komitmen negeri kanguru tersebut untuk menerapkan bea masuk impor hingga 0%.
"Diharapkan kendaraan listrik dan hybrid menjadi andalan ekspor RI masa depan," kata Airlangga usai menghadiri perjanjian bilateral IA-CEPA di Jakarta, Senin (4/3).
Selain itu, IA-CEPA memberikan persyaratan kualifikasi konten lokal yang lebih mudah untuk kendaraan listrik dan hybrid asal Indonesia. Sehingga Indonesia dapat mengekspor kedua jenis kendaraan itu ke Australia tanpa harus membangun seluruh teknologi dan fasilitas produksi dari nol.
Airlangga juga mengatakan pemerintah akan meningkatkan ekspor ke Australia berupa kendaraan dalam bentuk utuh (completely built up/CBU), baik dengan mesin maupun elektrik. "Karena industri otomotif di sana tutup semua. Ini menjadi peluang bagi kita," ujarnya.
Dari data Kemenperin, produk unggulan Indonesia ke Australia selama ini antara lain furnitur, produk karet dan kimia olahan, makanan dan minuman, serta elektronika.
Pada 2018, nilai investasi Australia di Indonesia mencapai US$597,4 juta dengan 635 proyek, yang terdiri lebih dari 400 perusahaan Australia yang beroperasi di berbagai sektor.
Ekspor Indonesia tercatat mencapai US$2,8 miliar. Produk ekspor utama Indonesia ke Australia pada tahun 2018, di antaranya petroleum sebesar US$636,7 juta, kayu dan furnitur US$214,9 juta, panel LCD, LED, dan panel display lainnya US$100,7 juta, alas kaki US$96,9 juta, dan ban US$61,7 juta.
Impor Australia
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), Adhi S. Lukman mengatakan beberapa produk bahan baku makanan dari Australia tidak dibebaskan dari bea masuk.
Adhi menyebut biaya impor gula rafinasi hanya diturunkan dari sebelumnya 10% menjadi 5%. Hal itu dilakukan karena Indonesia juga memproduksi sebagian besar gula rafinasi. Sehingga, apabila gula rafinasi dibebaskan 0%, para petani dan pelaku usaha gula rafinasi di Indonesia bisa dirugikan.
"Karenanya, pemerintah memutuskan untuk tidak membebaskan biaya impor gula rafinasi. Jadi, tidak termasuk yang dibebaskan bea masuk 0%," kata Adhi saat ditemui di Jakarta, Senin (4/3).
Adhi mengatakan, sekitar 20% dari jumlah impor gula rafinasi RI berasal dari Australia. Dengan adanya penurunan bea masuk ini, gula rafinasi asal Australia akan semakin murah.
Lebih lanjut, Adhi mengatakan, Indonesia cukup banyak mengimpor bahan baku makanan dari Australia. Beberapa di antaranya, terigu, gandum, susu, buah, garam, sampai daging sapi.
Dengan demikian, kata Adhi, penurunan hingga pembebasan tarif impor terhadap sejumlah bahan baku asal negeri kanguru ini bisa berdampak signifikan terhadap harga makanan dan minuman di dalam negeri.
"Ini akan jadi lebih murah. Sehingga, gula rafinasi bisa menjadi alternatif ketersediaan bahan baku," kata Adhi.
Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, pada 2018, pemerintah mengeluarkan kuota impor gula rafinasi sebesar 3,6 juta ton, dengan realisasi mencapai 3,37 juta ton.