Indonesia dan Australia resmi menandatangani kerja sama ekonomi komprehensif atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) pada Senin (4/3).
Menteri Perdagangan Indonesia, Enggartiasto Lukita mengatakan, dengan perjanjian ini, dua negara sepakat untuk menghapus 100% bea ekspor dari Indonesia ke Australia dan 94% tarif dari Australia ke Indonesia.
Enggar menjelaskan, penghapusan tarif ini akan dilakukan secara bertahap. “Kita berusaha mencapai kesepakatan yang bisa menguntungkan kedua negara,” kata Enggar di Jakarta, Senin (4/3).
Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia, Simon Brimingham mengatakan pembebasan tarif ke Indonesia melalui perjanjian ini sangat bermanfaat untuk para eksportir Australia.
Simon mengungkapkan, sebesar 70% Produk Domestik Bruto (PDB) Australia didominasi sektor perdagangan jasa, yaitu pariwisata, pendidikan, dan keuangan. Australia juga mempunyai banyak universitas berkelas dunia, dan destinasi wisata yang dikelola secara profesional.
"Di sektor perdagangan barang, Australia merupakan eksportir utama produk tambang mineral, pertanian, dan perternakan, baik dalam bentuk raw material atau produk bernilai tambah," kata Simon.
Poin kerja sama
Lebih lanjut, Enggar mengatakan berdasarkan hasil studi kelayakan pada tahun 2008, IA-CEPA akan meningkatkan PDB Indonesia sebesar 0,23% atau sebesar US$33,1 miliar pada 2030 atau sebesar US$1,65 miliar per tahun.
Hasil perjanjian baru pada 2019 ini diharapkan akan meningkatkan investasi dari Australia ke Indonesia lebih besar lagi. Selain itu, kata Enggar, akan terjadi pengembangan kapasitas berupa transfer teknologi dan pelatihan keahlian di berbagai sektor.
"Adapun bentuk kerjasama yang sudah diinisasi antara lain 'Economic Powerhouse'. Kolaborasi ini untuk mendorong produktivitas industri dan pertanian. Serta meningkatkan ekspor ke pasar negara ketiga," ujar Enggar.
Economic Powerhouse ini juga mencakup pengembangan industri makanan olahan makanan. Australia akan menyediakan bahan baku gandum, sorghum, dan barley. Selain itu, kerja sama ini juga untuk mendorong industri besi dan baja.
Adapun beberapa produk Indonesia yang berpotensi ditingkatkan ekspornya ke Australia yakni tekstil, karpet/permadani, ethylene glycol, lembaran polymers ethlyene, dan pipa penyaluran migas. Selain itu, funitur berbahan kayu, produk kendaraan hybrid dan elektrik, herbisida dan pestisida.
Sementara, produk-produk yang mendapatkan preferensi tarif bea masuk 0% ke Australia yakni perlatan elektronik, permesinan, karet, dan turunannya (ban), kayu dan turunannya (furnitur), kopi, coklat, serta makanan dan minuman.
Selain untuk perdagangan, Indonesia juga mendapatkan keuntungan dari Australia untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Kedua negara menyepakati beberapa program yakni magang bagi 200 WNI per tahun untuk 9 sektor tenaga kerja profesional di sektor pendidikan, pariwisata, telekomunikasi, infrastruktur, kesehatan, dan lainnya.
Australia juga akan menambah kuota visa kerja menjadi 5.000 orang per tahun dan menambah program pemagangan dan jaminan visa untuk 200 orang per tahun di perusahaan-perusahaan Australia.
Sebagai informasi, Australia merupakan negara tujuan ekspor nonmigas ke-17 dan negara sumber impor nonmigas ke-8 bagi Indonesia. Total perdagangan Indonesia-Australia pada 2018 sebesar US$8,6 miliar, dengan ekspor Indonesia tercatat senilai US$2,8 miliar dan impor sebesar US$5,8 miliar, sehingga Indonesia mengalami defisit sebesar US$3 miliar.
Adapun investasi Australia di Indonesia pada 2018 mencapai US$597,4 juta dengan 635 proyek terdiri lebih dari 400 perusahaan Australia yang beroperasi di berbagai sektor seperti pertambangan, pertanian, infrastruktur, keuangan, kesehatan, makanan, minuman, dan transportasi.