close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Freepik
icon caption
Ilustrasi. Freepik
Bisnis
Jumat, 12 Agustus 2022 14:07

IDI dukung kebijakan BPOM beri label BPA di kemasan plastik

Sebanyak 78% industri di Indonesia menggunakan plastik sebagai kemasan makanan dan minuman (mamin).
swipe

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendukung langkah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan kajian regulasi pemberian label Bisfenol A (BPA) pada kemasan makanan dan minuman (mamin) yang terbuat dari plastik. Pangkalnya, perhatian publik selama ini hanya menyoroti yang dikonsumsinya terhadap kesehatan.

"Namun, mengabaikan pengaruh kemasan makanan atau minuman tersebut serta kandungan dalam kemasan tersebut terhadap kesehatan," kata Sekretaris Jenderal PB IDI, Ulul Albab, dalam keterangannya, Jumat (12/8).

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sebanyak 78% industri di Indonesia menggunakan plastik sebagai kemasan mamin. Hanya 16,5% yang memakai kemasan minuman berkarbonasi.

Ulul menambahkan, semua pihak perlu menerapkan visi ekonomi plastik baru sesuai rekomendasi United Nations Environment Programme (UNEP). Di antaranya, mengeliminasi pemakaian plastik yang tak dibutuhkan, berinovasi agar plastik bisa digunakan kembali, serta menyirkulasikan plastik yang dipakai agar tetap terjaga, ekonomis, dan ramah lingkungan.

IDI pun mendorong industri mamin memberikan label pada produknya sekalipun tidak mengandung BPA di kemasan. Produsen dan pelaku industri juga disarankan mengonsultasikan kandungan dan aturan pelabelan bersama BPOM demi keselamatan dan kesehatan masyarakat, termasuk bijak dalam memproduksi dan memilih kemasan plastik yang dipakai.

Selain itu, Ulul mengajak publik menghindari pemakaian, menyimpan, dan/atau mencuci botol plastik berulang kali dalam suhu tinggi. "Kemudian, pilihlah kemasan plastik yang memiliki label bebas BPA, termasuk pada air minum dalam kemasan."

Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular PB IDI, Agustina Puspitasari, menambahkan, BPA sudah banyak digunakan sebagai kemasan berbagai produk. Misalnya, botol air yang dapat dipakai kembali, plastik polikarbonat, plastik pengemas, pelapis kaleng makanan, dan pipa air.

Sayangnya, ungkap dia, paparan BPA, sebagaimana hasil beberapa riset, memengaruhi fisiologi yang dikendalikan endokrin, kelenjar prostat, dan perkembangan otak pada janin, bayi, dan anak-anak. Akibatnya, berpengaruh terhadap kesehatan dan perilaku anak.

"Penelitian lain juga menunjukkan, kemungkinan hubungan antara BPA dengan peningkatan tekanan darah, diabetes tipe dua, dan penyakit kardiovaskular," ungkapnya.

BPA mulai digunakan dalam resin epoksi dan bahan dasar pembuatan plastik polikarbonat pada 1950. Namun, program nasional toksisitas di Amerika Serikat (AS) pada 1970 menemukan BPA bersifat toksik bagi organ reproduksi.

Usai melalui berbagai kajian, BPOM AS (US FDA) pada 2008 menetapkan batas konsentrasi asupan. Komisi Regulasi Uni Eropa juga mengeluarkan Specific Migration Limit (SML) dan melarang menggunakan BPA pada produk botol bayi dan anak-anak per 2011.

Berbagai negara juga telah membuat pelarangan pemakaian BPA lantaran berpotensi menyebabkan kanker, gangguan kehamilan dan sistem reproduksi. Prancis, California, Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia, contohnya.

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan