Dunia saat ini tengah berupaya melakukan transisi energi dari fosil ke energi terbarukan. Oleh karena itu, pembangkit berbasis fosil seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bakal ditinggalkan.
Namun agar PLTU bisa bertahan secara umur operasional, maka dikembangkanlah teknologi carbon, capture, utilization, and storage (CCUS). Digadang-gadang teknologi ini bisa menurunkan emisi karbon dari pembangkit fosil.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, dalam satu dekade terakhir secara umum proyek CCUS yang dijalankan beberapa negara di dunia tidak berhasil menurunkan emisi.
"Tidak berhasil menurunkan emisi yang dijanjikan, dan efektivitas biaya," paparnya kepada Alinea.id dikutip, Selasa (18/1).
Fabby menyebut, investasi dari CCUS sangat besar. Sehingga konsekuensinya untuk mengembalikan investasi, operasi PLTU harus diperpanjang. Dia menyebut, yang menjadi permasalahan adalah apakah secara ekonomis lebih murah menjalankan PLTU dengan CCUS dibandingkan dengan pembangkit lainnya.
Sehingga, perhitungan ekonomi sangat penting dalam pemilihan pembangkit di sistem kelistrikan.
"Sejauh ini capex (belanja modal) CCUS untuk PLTU sebesar 4000/kWh. Selain itu masih ada biaya untuk transportasi dan penyimpanan, sesuai dengan lokasi dan kondisi geologis," ucapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, menurut International Energy Agency (IEA) penurunan emisi gas rumah kaca (biaya pengurangan) dari CCUS setara dengan harga karbon US$130 per ton. Jauh lebih mahal jika dibandingkan pembangkit solar PV US$32,9 per ton dan pembangkit bertenaga angin di US$27,1 per ton.
"Jadi biaya menurunkan emisi dari PLTU jauh lebih mahal daripada opsi energi terbarukan yang membuat penggunaan PLTU dengan CCUS tidak layak secara ekonomis," ungkapnya.
Sebelumnya, Indonesia dan Jepang menjalin kerja sama transisi energi. Kerja sama ini ditandai dengan penandatanganan (memorandum of cooperation/MoC) tentang "Realization of Energy Transitions" bersama Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang, Hagiuda Koichi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menyampaikan, kerja sama ini dimaksudkan untuk memfasilitasi kemitraan energi antara dua negara untuk merealisasikan transisi energi.
"Terima atas inisiatif terlaksananya kerja sama dan penandatangan MoC ini. Ini tentu saja upaya yang luar biasa dari pihak Jepang," ucapnya dalam keterangan resminya, Senin (10/1/2021).
Sektor energi, menurutnya, akan menghadapi tantangan besar ke depannya. Ketergantungan pada energi fosil masih akan cenderung tinggi. Adanya sinergi ini diharapkan bisa menjadi proses alih teknologi demi mewujudkan percepatan transisi energi.
"Indonesia dan Jepang bisa mengembangkan bersama-sama teknologi CCUS dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Indonesia," tandasnya