Industri asuransi merupakan salah satu sektor finansial yang terdampak langsung dengan adanya pandemi Covid-19. Pandemi global ini memicu resesi ekonomi global di 2020, yang merupakan resesi terburuk dunia sejak era 1930-an.
Berdasarkan data International Association of Insurance Supervisors, nilai aset perusahaan asuransi baik dalam bentuk saham dan obligasi, sempat mengalami penurunan dan baru menunjukkan perbaikan kinerja di kuartal IV-2020. Terutama sejak ditemukannya vaksin Covid-19.
Selain itu, perbaikan kinerja pasar finansial didukung oleh beragam stimulus moneter maupun fiskal, yang dilakukan lembaga keuangan global maupun nasional demi menjaga likuiditas dan memperkecil dampak krisis.
Meskipun terdampak langsung, Komisaris Utama IFG Fauzi Ichsan, optimistis potensi pertumbuhan industri asuransi di Indonesia masih besar.
“Dalam tempo 20 tahun, aset industri asuransi sebagai persentase dari PDB naik dari 2% ke kisaran 5%. Yang harus diperhatikan adalah jumlah aset di perusahaan bergantung dengan kualitas aset dan besarnya klaim/provisi yang bisa menggerus modal. Walaupun potensi pertumbuhan industri asuransi besar, tetapi membutuhkan tambahan modal, konsolidasi dan SDM spesialis asuransi,“ tutur Fauzi dalam keterangan resminya, Senin (31/5).
Saat ini, industri asuransi Indonesia sendiri masih di dominasi oleh asuransi jiwa. Berdasarkan data dari OJK, Industri asuransi jiwa tiga kali lebih besar jika dibandingkan asuransi umum lainnya. Selama tahun 2015-2019 sendiri, penerimaan premi bruto asuransi jiwa rata-rata tumbuh 6,3% per tahun, sementara nonjiwa tumbuh 6,1%.
Di sisi lain, Fauzi menganggap sektor asuransi umum atau nonjiwa masih memiliki prospek untuk bertumbuh, tetapi, bergantung pada aktivitas ekonomi masyarakat. Lebih dari 90% premi dihasilkan oleh lini bisnis asuransi kendaraan bermotor, kredit bank, properti dan kesehatan atau kecelakaan.
IFG merangkum, setidaknya terdapat lima tantangan industri asuransi yang disebabkan oleh pandemi, seperti penurunan tajam nilai saham, obligasi, dan properti yang dimiliki perusahaan asuransi, sehingga menyebabkan mark-to-market loss. Kemudian, kenaikan klaim asuransi jiwa maupun nonjiwa, penurunan kebutuhan produk dan penerimaan premi, kebijakan suku bunga rendah yang memperkecil hasil investasi perusahaan asuransi, dan turunnya kebutuhan asuransi akibat kebijakan WFH.
Fauzi pun memperkirakan di 2022, industri asuransi mengalami new normal, karena harus melihat krisis sebagai katalis transformasi industri asuransi dalam masa pemulihan ekonomi setelah pandemi.
Menurutnya, ke depan, banyak hal yang harus ditingkatkan seperti akselerasi IT platform, pengembangan kapasitas akturial untuk meningkatkan kualitas SDM, pembenahan neraca industri asuransi melalui koreksi jumlah dan estimasi beban klaim serta menaikan provisi, walau menggerus modal. Kemudian, dibuatnya regulasi dan implementasi yang berkaitan dengan provisi beban klaim asuransi, dan diperketatnya modal minimum.
"Dengan penguatan industri asuransi, keseimbangan antara perbankan, pasar modal dan IKNB bisa dicapai dalam mendukung pertumbuhan ekonomi,” ujar Fauzi.