Ilusi swasembada dan terpuruknya pertanian pangan
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengklaim, capaian swasembada pangan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebanding dengan era Presiden Soeharto pada 1984. Menurut Amran, berdasarkan ketetapan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 1999, suatu negara dibilang mencapai swasembada bila produksinya memenuhi 90% dari kebutuhan nasional.
“Swasembada di era pemerintahan sekarang (Jokowi) itu terjadi tiga kali, yaitu pada 2017, 2019, dan 2020, tanpa ada impor beras medium, dengan populasi penduduk mencapai 200 juta jiwa,” ujar Amran saat rapat kerja bersama Komisi IV DPR, Senin (26/8), seperti dikutip dari Infopublik.
Infopublik mencatat, capaian swasembada beras di era Jokowi terjadi pada periode pertama, yakni 2017-2020. Saat itu, produksi beras mengalami surplus antara 1,9 juta ton hingga 2,85 juta ton.
Namun, menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Dwi Andreas Santosa, target swasembada selama dua periode pemerintahan Jokowi tidak ada yang tercapai. Di periode awal pemerintahan Jokowi, pernah ditetapkan program swasembada Upaya Khusus Padi, Jagung, Kedelai atau dikenal Upsus Pajale selama 2015-2017. Kemudian, swasembada bawang putih pada 2017-2019, gula pada 2015-2019, serta daging sapi dan food estate seluas 1,2 juta hektare yang dimulai sejak 2015.
Celakanya, kegagalan yang terjadi pada periode pertama, berulang di periode kedua, 2019-2024. Pembangunan pertanian dan impian swasembada era Jokowi, kebanyakan hanya menjadi jargon dan retorika. Namun, kata Andreas, tidak berpihak pada kaidah ilmiah.
“Parahnya lagi, DPR diam saja melihat pembangunan pertanian yang terpuruk di era Jokowi ini. Mereka tidak menjalankan fungsi sebagai pengawas, bahkan mereka sengaja membiarkan,” kata Andreas kepada Alinea.id, Selasa (8/10).
Dia merinci, kegagalan swasembada berimplikasi pada melonjaknya impor komoditas pangan selama kurun 10 tahun terakhir, yang melonjak hampir dua kali lipat, dari 10,07 miliar dolar AS pada 2013 menjadi 18,76 miliar dolar AS pada 2023.
“Kondisi ini menyebabkan defisit neraca perdagangan membengkak dari 8,90 miliar dolar AS menjadi 16,28 miliar dolar AS atau setara dengan Rp264 triliun,” ujar Andreas.
“Bisa dibayangkan, sebesar itu hanya dalam tempo 10 tahun dan DPR diam saja.”
Andreas melihat, ada kesan DPR membiarkan kondisi ketahanan pangan carut-marut. Dia mencontohkan, program swasembada gula yang dicanangkan pada 2017-2019, tidak dikritisi DPR. Menurut dia, baik saat Syahrul Yasin Limpo menjabat sebagai Menteri Pertanian maupun Andi Amran Sulaiman, ketika dipanggil DPR, tidak ada pemikiran kritis yang dilontarkan.
“Hasilnya apa? Kita menjadi importir gula terbesar di dunia, 70% gula kita harus impor dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan,” ujar Andreas.
“Sesuatu yang juga cukup parah, tahun 2015 dicanangkan food estate di Marauke (seluas) 1,2 juta hektare, hasilnya nol besar. Kemudian tahun 2020, Presiden (Jokowi) mencanangkan lagi food estate di banyak tempat.”
Meski food estate sudah banyak yang gagal, Menteri Pertanian Amran malah mencanangkan lagi food estate dengan luasan yang fantastis, sekitar 3 juta hektare.
“Sementara di Marauke dibuka 2,2 hektare, 1 juta hektare untuk beras dan 1 juta hektare untuk tebu. Ini maknanya apa? Kok tidak belajar dari pengalaman yang ada,” kata Andreas.
“Lalu teman-teman di DPR juga tidak bisa melihat ini dengan kritis.”
Sejak awal digagas, Andreas melihat program food estate lebih diperuntukkan kepada pembagian tanah korporasi atau badan usaha besar ketimbang petani kecil atau guram. “Padahal, perlu diingat, hampir 100% pangan kita diproduksi oleh petani kecil,” tutur dia.
Berkaca dari segala hal tadi, Andreas melihat, ada ancaman yang mengintai dalam bidang pangan pada pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto, yang memiliki program makan bergizi gratis. Sebab, kemungkinan sebagian besar komponen makanan bergizi akan impor dan memperburuk defisit neraca perdagangan.
“Saya harap, meski nanti PDI-P akhirnya bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, jangan tinggal diam dan harus kritis bila ada sesuatu yang tidak beres dengan masalah pangan,” ujar Andreas.
“Karena ini berurusan dengan rakyat. Belajar dari kesalahan yang sudah-sudah.”
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai, keterpurukan pertanian pangan masa pemerintahan Jokowi dilakukan secara sistematis. Perkaranya, menurut Henry, selama satu dasawarsa, 2014-2024, DPR bukan hanya tutup mata, tetapi juga merusak keputusan hukum yang memperkuat posisi petani. Misalnya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
“Legislasi ini dibuat dan diinisiasi oleh PDI-P dan Gerindra ketika mereka menjadi oposisi. Sangat tragis, justru ketika mereka berkuasa pada 2014 dan 2024 bukannya mengawasi implementasi dari undang-udnang itu,” ucap Henry, belum lama ini.
“Sebaliknya mereka melemahkan undang-undang itu dengan mengeluarkan Undang-Undang Cipta Kerja.”
Imbasnya, UU Cipta Kerja memudahkan dalam impor pangan. Di samping itu, tanah yang seharusnya menjadi objek reforma agraria kepada petani, justru dibadikan ke korporasi dalam jumlah jutaan hektare. Muncul pula proyek food estate, yang menurut Henry, sebenarnya dari kacamata petani guram mengangkangi Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
“Paling parah lagi, pemerintahan Jokowi ini membiarkan korporasi besar sampai mengurusi industri perberasan,” kata Henry. “Itulah kenapa harga beras menjadi mahal.”
Lebih lanjut, dia menilai, “postur” anggota DPR periode 2024-2029 yang lebih mencerminkan kekuatan kekuasaan, bakal memuluskan kepentingan rezim yang merupakan kelanjutan era Jokowi. Karena itu, Henry mengatakan, para petani di Indonesia akan mengkonsolidasikan gerakan untuk melakukan protes terhadap DPR.
“Karena kami khawatir, mereka ini mengulangi apa yang terjadi dari 2014-2024,” ucap Henry.