Ekonom Senior Indef, Fadhil Hasan, menyatakan, APBN 2022 cukup penting untuk menentukan keberlanjutan fiskal Indonesia di tahun-tahun mendatang serta perekonomian secara keseluruhan.
"APBN 2022 ini harus benar-benar kredibel sekaligus akuntabel," ucap Fadhil dalam webinar Narasi Institute bertajuk APBN 2022, Perpajakan (Tax Haven) dan Pandora Papers, Jumat (8/10).
Lebih lanjut, Fadhil mengungkapkan, penerimaan negara di dalam APBN 2022 akan mencapai Rp1.846 triliun, sementara pengeluaran akan berkisar sebesar Rp2.714 triliun.
"Sehingga pada 2022 ini akan diperkirakan defisit itu sebesar Rp868 triliun atau sekitar 4,85%. Dan berdasar skenario yang dibuat oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 2023 defisit ini akan menurun menjadi 2,97% dari PDB," tutur Fadhil.
Dalam konteks ini, Fadhil mengatakan, 2022 Indonesia masih harus melakukan pembiayaan sebesar Rp965 triliun, walaupun menurun dari tahun 2020 dan tahun 2021.
"Jadi, hutang itu akan masih tetap meningkat di tahun 2022 sampai pada tahun-tahun selanjutnya," tutur Fadhil.
Untuk mencapai penerimaan sebesar itu, Fadhil menerangkan, pemerintah harus melakukan berbagai upaya, salah satunya melalui reformasi perpajakan yang juga sudah disetujui oleh DPR melalui RUU HPP yang mencakup dua aspek kebijakan dan administrasi.
Semua hal tersebut, dilakukan untuk mencapai sebuah sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.
Lalu, dia, menjelaskan RUU HPP mencakup beberapa perubahan penting yang menyangkut perubahan UU Pajak Penghasilan (PPh) akan berlaku 2022, kemudian perubahan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku April 2022 di mana PPN akan menjadi 11%.
"Kabar baiknya PPN untuk pendidikan dan kebutuhan pokok Alhamdulillah tidak diberlakukan. Saya kira itu juga merupakan suatu masukan yang kritis dari masyarakat sehingga ini tidak jadi diberlakukan," ucap Fadhil.
Lebih lanjut, Fadhil juga menyebutkan, ada perubahan Undang-undang (UU) Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), tax amnesty jilid 2, pajak karbon, dan perubahan UU cukai.
"Pemerintah setidaknya mengklaim dengan adanya UU HPP, maka akan diperoleh suatu peningkatan pendapatan pemerintah dari sektor perpajakan dibandingkan dengan skenario business as usual, artinya tidak ada perubahan dalam RUU HPP," ucap Fadhil.
Dalam skenario adanya UU HPP, Fadhil mengatakan, perpajakan akan tumbuh 12,1% dibandingkan dengan business as usual sebesar 8,95%.
Dan juga rasio perpajakan akan meningkat menjadi 8,56% di tahun 2022, kemudian pada tahun 2025 akan mencapai 10,12%. Dibandingkan dengan business as usual, mungkin peningkatan ini tidak terlalu besar yaitu 8,44% di tahun 2022 dan 8,58% di tahun 2025.
"Bahwa penerimaan dari sektor perpajakan ini akan sangat menentukan penerimaan dan bagaimana postur dan struktur daripada anggaran kita di masa yang akan datang," tandas Fadhil.