Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai produksi minyak dan gas dalam negeri terus menurun tiap tahunnya. Oleh karena itu, Indef meminta kepada presiden terpilih periode 2019-2024 memiliki program prioritas soal cadangan energi.
Ekonom Indef Faisal Basri menyebut pada tahun 1980 cadangan minyak masih 11,6 miliar barel, tetapi saat ini hanya tersisa 3,2 miliar barel. Bahkan, menurutnya cadangan minyak hanya bisa bertahan sampai 2026.
"Artinya kita menggasak minyak jauh lebih cepat dari usaha kita memperoleh cadangan baru. Terus diperkosa, malas mengeksplorasi," kata Faisal dalam diskusi bertajuk Pemanasan Debat Capres Kedua: Tawaran Indef untuk Agenda Strategis Pembangunan SDA dan Infrastruktur di ITS Tower, Jakarta, Kamis (14/2).
Selain minyak, pemerintah terlalu banyak mengeksploitasi kilang gas yang ada. Sehingga, cadangan gas Indonesia juga tidak bertahan lama.
"Gas cadangan kita 1,4% dari cadangan dunia. Jadi kalau digasak semua, 35 tahun akan habis. Fosil-fosil ini akan habis sebentar lagi. Batu bara juga kita tidak kaya-kaya amat, bukan top five. Share-nya 2,2% dari cadangan dunia. Tapi konsumsi energinya naik terus. Dari surplus 1,4 juta barel sekarang defisit 703.000 barel," jelas Faisal.
Lebih lanjut, Faisal mengatakan, cadangan energi bukan digunakan untuk masa kini saja, tetapi juga untuk dinikmati oleh generasi mendatang.
"Jadi, bagaimana kedua Capres dan Cawapres tawarannya menghadapi cadangan energi kita yang menurun drastis. Kita tanya ke presiden, mau mewariskan energi seperti ini kepada masyarakat. Repot kita kalau begini. Ini sesuatu yang hampir pasti terjadi," jelas dia.
Jika dibandingkan dengan negara lain, kata Faisal, cadangan minyak Indonesia dengan beberapa negara seperti Vietnam, Australia dan India tidak turun meski hanya stagnan.
“Indonesia ada di ring of fire banyak bencana tapi di dalam perut bumi ring of fire energi semua. Makanya disebut ring of energy. Tapi kok reserve (cadangan minyak) kalah sama Malaysia dan Vietnam yang agak kecil. Berarti ada yang salah dengan pengelolaan sumber daya alam atau minyak kita,” jelanya.
Direktur Indef Berly Martawardaya, menilai empat tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) gagal memangkas defisit minyak dan gas (migas).
"Empat tahun Jokowi tak berhasil mengurangi defisit migas kita. Data dari 2002 sudah defisit, kita lebih banyak konsumsi ketimbang produksi. Lifting migas juga turun 30% sejak 2014," jelas Berly.
Menurutnya, ketergantungan terhadap BBM impor yang sangat besar mencapai 41% menjadi faktor defisit energi. "Investasi migas yang anjlok, khususnya di hulu sehingga sulitnya dorong produksi. Hal itu juga dipengaruhi kurangnya koordinasi dan kepastian kebijakan serta bolongnya Undang-undang migas," ujar Berly.
Menurutnya, defisit neraca perdagangan migas mencapai US$8,57 miliar pada 2018. Rinciannya, US$12,4 miliar dari defisit migas sedangkan neraca non migas surplus US$3,84 miliar.
"Untuk diketahui, pemanfaatan EBT (Energi Baru Terbarukan) baru mencapai 8,4% sehingga masih sangat jauh dari target 23% EBT di 2025," jelas dia.
Selanjutnya, Indef menyarankan perlunya penuntasan revisi UU Migas dan perlu peningkatan insentif fisikal untuk pengembangan EBT.
"Perlu moratorium PLTU batu bara dan diesel untuk mencapai target bauran energi 2025. Akan habisnya minyak bumi dalam waktu sekitar 12 tahun dan gas bumi dalam sekitar 30 tahun hanya memberikan Indonesia waktu yang sempit untuk transisi ke energi terbarukan," jelasnya.
Kemudian, apabila dalam lima tahun ke depan tidak ada perubahan kebijakan nyata pada sisi supply dan demand, maka Indonesia akan menjadi pengimpor BBM terbesar dunia yang menggerus kesejahteraan masyarakat.
"Perlu dibentuk dana abadi energi yang diinvestasikan untuk mendorong kemandirian dan kedaulatan energi negara di masa depan," pungkasnya.