Meski sempat surplus bulan lalu, defisit neraca perdagangan sejak awal tahun diproyeksi bakal berlanjut hingga Juni 2018.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, defisit neraca perdagangan diproyeksi bakal berlanjut hingga akhir semester I/2018.
Defisit terjadi lantaran impor minyak dan gas (migas) yang membengkak hingga US$9 milliar sepanjang bulan Januari - April 2018. Bengkaknya impor migas diperkirakan bakal memperlambat pertumbuhan ekonomi pada tahun ini, menjadi sebesar 5,1%.
Dia menjelaskan, impor migas yang membengkak tersebut lebih tinggi US$700 juta, dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Impor migas membengkak seiring mulai terjadi lonjakan harga minyak mentah dunia.
"Tekanan impor juga berasal dari impor barang konsumsi yang tumbuh 25,8%, dibandingkan dengan Maret 2018. Hal ini sesuai dengan faktor seasonal jelang bulan ramadan," kata Bhima kepada Alinea.id, Selasa (15/5).
Kinerja sejumlah produk unggulan ekspor, terutama minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO), terhambat adanya bea masuk dari India dan hambatan non tarif dari Eropa.
Kondisi tersebut, sambungnya, tentu menjadi tidak sehat bagi perekonomian. Peningkatan impor, membuat permintaan dollar AS meningkat. Akibatnya, nilai tukar rupiah diperkirakan bakal kembali tertekan hingga akhir Juni 2018.
Kondisi itu, kata dia, membuat nilai ekspor bersih menjadi tidak optimal akibat tertekan tingginya impor. Hal itu diproyeksi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi tahun ini pada level 5,1%.
"Jadi, nilai impornya tidak gemuk, karena rupiah lemah. Untuk jangka panjang pemerintah bisa mendorong hilirisasi industri agar ekspornya bernilai tambah. Selain itu juga untuk menurunkan impor bisa memberi insentif dengan mendorong industri subtitusi bahan baku impor," terang Bhima.
Bhima memprediksi, defisit akan terus berlanjut sampai dengan akhir Juni 2018. Karena itu, Bhima menyarankan kepada pemerintah untuk terus menggenjot ekspor dan melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Pada kesempatan lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah bisa meningkatakan industrialisasi seiring dengan akan diluncurkannya sejumlah kebijakan. Terutama untuk mengembangkan investasi dan ekspor, termasuk fasilitas-fasilitas fiksal yang akan terus diperbaiki.
Dia mencontohkan, seperti tax holiday, tax allowance, insentif industri kecil untuk padat karya dan ekspor oriented, investasi di bawah Rp500 miliar, insentif perusahaan yang melakukan vocational training dan research untuk kemampuannya mendifersivikasi programnya.
"Jadi poin saya, hasil ini memberi PR pada pemerintah untuk kerja cepat dan keras dalam memperbaiki eksternal balance, industri komiditas, dan daerah tujuan ekspor," ujar dia usai menjadi keynote speaker pada konferensi partnership kesehatan di salah satu hotel di Jakarta, Selasa (15/5).