close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah kalangan menilai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus dipisahkan dari Kementerian Keuangan. / Antara Foto
icon caption
Sejumlah kalangan menilai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus dipisahkan dari Kementerian Keuangan. / Antara Foto
Bisnis
Jumat, 05 April 2019 11:08

Indonesia butuh otoritas tinggi pengelola pajak

Sejumlah kalangan menilai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus dipisahkan dari Kementerian Keuangan.
swipe

Sejumlah kalangan, dari para pebisnis, pengamat pajak, hingga akademisi mengusulkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dipisahkan dari Kementerian Keuangan. Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam menilai Indonesia membutuhkan otoritas tertinggi untuk mengelola pajak.

DJP dalam organisasi perlu melakukan ditempatkan sebagai diskresi kewenangan yang memiliki otoritas penuh dalam memutuskan kebijakan tentang pajak.

"Bagaimana mungkin lembaga otoritas pajak Indonesia yang mengelola lebih dari 72% penerimaan APBN, tidak selevel dengan Kementerian Keuangan," kata Darussalam di Jakarta, Kamis (4/4). 

Apabila sudah menjadi institusi independen, DJP  bisa menentukan keputusan atau kebijakan organisasinya sendiri, termasuk urusan anggaran. 

Menurut Darussalam, iklim bisnis di Indonesia telah berubah dengan cepat. Sehingga, otoritas pajak harus mengikuti akselerasi tersebut. Kewenangan sepenuhnya ada di otoritas pajak, dan tidak perlu lewat persetujuan Kementerian Keuangan.

Selain itu, kata Darussalam, diskresi sumber daya manusia (SDM) juga bisa dilakukan, dengan cara menarik tenaga profesional asing untuk masuk ke otoritas pajak. 

"Dengan kondisi sekarang ini, tidak mungkin bisa masuk tenaga profesional asing, karena proses rekrutmen pegawai masih dari bawah," ujar Darussalam. 

Artinya, dalam hal ini, rekrutmen pegawai DJP dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui sistem test Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). 

Darussalam mengatakan Indonesia bisa meniru Singpura dan Hongkong yang memiliki otoritas khusus untuk mengatur pajak di negaranya. Di kedua negara itu, aturan pajak dibuat oleh komisioner yang terdiri atas unusr akademisi hingga asosiasi pengusaha. 

"Sehingga organisasi pajak ini merangkul semua stakeholder yang ada," katanya. 

Senada, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Tax Center Ajib Hamdani mendukung adanya pembentukan badan khusus yang mengatur pajak. 

"Yang utama bukan bentuk atau jenis badannya, tapi bagaimana pajak bisa menciptakan simbol peluang yang positif," kata Ajib.

Ajib mengatakan seharusnya pajak bisa ditempakan dalam fungsi utama dalam hal budgeter dan reguler. Budgeter yakni fungsi untuk mengumpulkan uang untuk negara dan reguler sebagai fungsi pengatur. 

Dari pengamatan Ajib, lebih dari 90% penerimaan pajak berasal dari kesadaran Wajib Pajak membayar pajaknya, bukan dari tugas pajak yang membuat SKP (Surat Ketetapan Pajak) dan pemeriksaan atau menang di pengadilan pajak. 

"Jadi, sekali lagi, petugas pajak dan wajib pajak itu harus melihat dari ukuran yang sama. Wajib pajak juga sebagai reguler dan mengatur, bukan hanya sebagai budgeter," katanya. 

Sehingga, kata dia, pengatur pajak bukan hanya sekedar harus mengumpulkan banyak pajak, melainkan juga mengatur perekonomian Indonesia supaya bergerak dari banyak. 

Ekonom UI Fithra Faisal menyatakan pemerintah harus memberikan fleksibilitas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menarik pajak. Menurut dia, rasio petugas pajak dengan tenaga kerja di Indonesia saat ini jauh dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya. 

Di Indonesia, rasio petugas pajak dengan tenaga pekerja 1:3.700. Sementara China dan India rasionya sudah 1:1.000 dan Vietnam 1.2000. 

"Indonesia tidak fleksibel. Memang DJP harus dipisah. Harus fleksibel dalam mengelola anggaran dan perencanaan bersama Kementerian Keuangan," ujar Fithra. 

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Laila Ramdhini
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan