Beberapa waktu lalu Gubernur Jawa Barat yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (Adpmet) Ridwan Kamil, mengingatkan supaya Indonesia waspada terhadap China.
Pasalnya, menurut gubernur yang akrab disapa RK ini mengatakan bahwa produsen mobil listrik Tesla Inc. kerap membeli pasokan bahan baku nikel untuk baterai kendaraan listrik dari China. Sedangkan China sendiri juga mendapatkan pasokan nikel dengan membeli dari Indonesia.
Aksi jual beli nikel antara China dan Tesla yang bersumber dari Indonesia ini dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey. Menurutnya, ini bisa terjadi karena banyak negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang mewajibkan penerapan standar Environmental, Social, and (Corporate) Governance (ESG) dalam setiap produksi, investasi, hingga membeli suatu produk.
“Kondisi pertambangan dan hilirisasi di negara kita yang kurang maksimal untuk konsep ESG ini. Sedangkan Eropa dan Amerika mewajibkan ESG di setiap produksi hingga membeli suatu produknya. Jadi, kayanya kita harus ke sana deh, bagaimana proses penambangan, proses hilirisasi itu mengutamakan unsur lingkungan,” jelas Meidy dalam diskusi daring, Kamis (6/10).
Meidy menilai, Indonesia sedang dituntut negara maju seperti AS untuk bisa menjalankan praktik pertambangan yang baik atau good mining practice agar sesuai dengan standar Life Cycle Assessment (LCA). Dengan LCA ini, maka penambangan atau proses produksi juga dituntut untuk mengutamakan unsur lingkungan.
LCA adalah pendekatan dari hulu ke hilir untuk menilai suatu sistem produk secara kuantitatif dengan melakukan penilaian daur hidup.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli juga menyampaikan, produk nikel yang dibeli Tesla dari China merupakan produk turunan (intermediate product) nikel yang telah diolah di China. Sedangkan nikel yang diperoleh China dari Indonesia berupa bijih nikel.
“Industri kita belum bisa menyerap intermediate product tersebut. Perusahaan-perusahaan sekarang yang sudah memproduksi dari hasil smelter maupun refinery itu mengekspor salah satunya adalah ke China,” ujar Rizal.
Rizal pun berharap agar ada keseimbangan dari negara-negara maju seperti Eropa dan AS untuk ikut investasi di Indonesia terkait perusahaan produsen produk turunan nikel. Sehingga standar produk pertambangan Indonesia bisa meningkat.
Standar ESG dan LCA ini, kata Rizal juga merupakan standar yang sangat penting ke depannya, oleh karena itu diperlukan upaya mencapai standar tersebut.