Kementerian Pertanian (Kementan) melepas ekspor bawang putih sebanyak 15 ton dari target 1.000 ton ke Taiwan. Ini menjadi"kado" HUT ke-75 RI lantaran 25 tahun terakhir produksi nasional selalu defisit dan bergantung impor.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementan, Prihasto Setyanto, menyatakan, capaian ini patut disyukuri karena swasembada bawang putih terakhir terjadi sebelum krisis moneter (krismon), tepatnya 1994. Kala itu, budi daya dilakukan di 100 kabupaten dan impor tidak di bawah 10% kebutuhan nasional.
"Kebutuhan bawang putih nasional 580.000-600.000 ton per tahun. Sekarang lebih dari 95% kebutuhan dipenuhi dari impor. Lebih dari Rp8 triliun devisi kita dipakai untuk beli bawang putih dari luar," katanya saat memberikan sambutan jelang pelepasan ekspor bawang putih di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah (Jateng), Rabu (12/8).
"Karena itu, Kementan berusaha membangkitkan kembali walaupun tidak mudah karena sudah ketinggalan lebih dari 20 tahun. Dan saat ini menjadi momentum kita untuk bangkit kembali," sambungnya via keterangan tertulis.
Tantangan budi daya
Anton, sapaannya, mengungkapkan, bukan perkara mudah untuk menggenjot produksi bawang putih lokal. Pangkalnya, tersisa empat dari 100 kabupaten sentra produksi yang masih eksis sampai sekarang, seperti Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) serta Temanggung, Magelang, dan Karanganyar di Jateng.
Masalah berikutnya, luasan budi daya tergolong kecil, sekitar 2.000 hektare (ha) secara nasional. Sementara saat swasembada, luasnya mencapai 26.000 ha. "Jadi, ini memang sebuah tantangan," jelasnya.
Upaya kembali menggeliatkan bawang putih nasional mulai dilakukan sejak beberapa tahun terakhir. Saat menjabat Direktur Sayuran dan Tanaman Obat (STO) Ditjen Hortikultura, Anton, lalu melakukan kunjungan, baik ke berbagai daerah maupun China selaku produsen terbesar untuk mendapatkan referensi.
Berdasarkan pengamatannya, Indonesia mesti menjamin ketersediaan benih. "Kedua, memberikan pelatihan kepada petani," ucapnya.
Dia melanjutkan, bawang putih lokal rasanya lebih enak daripada impor mengingat kandungan senyawa alisinnya berlimpah. Sehingga, aroma satu siungnya setara 3-4 siung produk impor.
"Cuma masalahnya, preferensi masyarakat secara umum lebih snang dengan bawang ukuran besar. Kenapa? Karena mudah kupas, sehingga tidak habis banyak waktu. Sementara lokal ukurannya kecil-kecil, ngupasnya susah meski kandungan alisin jauh lebih tinggi," urainya.
Kendati begitu, dirinya menegaskan, ukuran bawang putih lokal bisa menjadi besar. Dibuktikannya dengan produk Karanganyar.
"Kuncinya satu, gunakan benih dari siung yang ukurannya besar," tegasnya. Ini seperti yang dilakukan di China, di mana menggunakan siung seberat 3-4 gram sebagai benih.
Sayangnya, petani Indonesia cenderung menjual siung besar dengan dalih harganya tinggi. Sedangkan siung kecil, sekitar 1 gram, dijadikan benih untuk budi daya.
Produktivitas menjadi persoalan berikutnya dalam budi daya bawang putih. China mampu menghasilkan 10 ton per ha, sedangkan di Indonesia umumnya 7-8 ton per ha, kecuali Karanganyar 20 ton per ha.
Sementara itu, Bupati Brebes, Idza Priyanti, menyatakan, wilayahnya hingga kini masih menjadi sentra bawang merah dengan 18,5% produksi nasional. Dari luas lahan budi daya 29.000 hektare, mampu memproduksi 300.000-an ton per tahun.
Meski demikian, Brebes memiliki potensi untuk mengembangkan bawang merah lantaran memiliki dataran tinggi mencapai 800 meter di atas permukaan laut (mdpl), seperti di Kecamatan Sirampog dan Paguyangan yang berada di lereng Gunung Slamet.
"Lokasi tersebut dulunya memang sentra bawang putih. Tiga tahun terakhir ini mulai dikembangkan lagi bawang putih oleh para petani muda di sana," ungkapnya.
Luas pengembangan bawang putih di Brebes baru mencapai 40-an hektare. Namun, Idza berjanji, pihaknya bakal terus mendorong peningkatan budi dayanya lantaran potensinya besar dan berkontribusi terhadap perekonomian daerah.
"Adanya pelaku usaha ekspor yang berdomisili di Brebes ini menjadi peluang bagi petani bawang Brebes untuk bermitra, terutama untuk pemasaran hasil produksinya," ujarnya.
Ekspor perdana bawang putih ini dilakukan PT Agri Indo Sejahtera. Eksportir membeli seharga Rp20.000 per kilogram bawang putih basah dari petani.
"Saya ambil dari berbagai daerah. Ada dari Brebes, Lombok Timur," kata Direktur PT Agri Indo Sejahtera, Benny Santoso.
Sementara ini PT Agri Indo Sejahtera hanya mampu mengekspor 15 ton dari kontrak 1.000 ton karena sejumlah sentra bawang putih baru akan panen dalam waktu dekat. "Tadinya mau pakai kontainer yang 20 ton," akunya.
Benny menambahkan, tidak menemui kendala dalam proses perizinan. Sejak awal sampai akhir dibantu Badan Karantina Pertanian (Barantan). "Cuma dua hari selesai."