Pendanaan menjadi salah satu tantangan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan transisi ekonomi hijau. Ini akibat lemahnya kepercayaan publik terhadap instrumen-instrumen pembiayaan energi terbarukan serta keterbatasan transparansi pendanaan hijau dan kapasitas sumber daya manusia (SDM).
Kendala berikutnya, sebagaimana hasil riset kolaborasi Laboratorium Indonesia 45 (LAB 45) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), dari aspek regulasi dan kelembagaan. Pemerintah pun disarankan memformulasikan regulasi guna mengakselerasi pelaksanaan dan pemanfaatan ekonomi hijau serta membentuk satuan tugas (satgas) sebagai koordinator lintas instansi.
"Harapannya, ada lembaga permanen yang fokus mengoordinasikan persoalan ekonomi hijau," kata tim kolaborasi riset LAB 45-CSIS, Indah Lestari, dalam keterangannya, Selasa (25/10).
Dalam kesempatan sama, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, tingkat emisi karbon dioksida (CO2) Indonesia per kapita sebesar 2,3 ton per kapita. Angka ini masih jauh di bawah rata-rata global sebesar 4,5 ton per kapita.
Menurutnya, diperlukan inisiatif pengurangan emisi yang berkeadilan di tataran global. Dirinya mendorong negara maju memikul tanggung jawab lebih besar meminimalisasi krisis iklim.
Meskipun demikian, Luhut mengklaim, pemerintah berkomitmen mempercepat proses transformasi ekonomi. "Dua kunci kebijakan terkait ini adalah dekarbonisasi dan transisi energi."
Sebagai informasi, merujuk hasil kajian 350 Indonesia dan organisasi sipil #BersihkanBankmu, 4 bank di Indonesia menjadi kreditur terbesar industri energi kotor, khususnya perusahaan batu bara, dengan nilai US$3,544 miliar. Padahal, sudah ada Kesepakatan Paris 2015.
Ada beragam peran dan dukungan yang diberikan keempat bank tersebut dalam mendanai proyek batu bara. Misalnya, menjadi bookrunners, pembeli awal surat utang, pengatur, agen, bank rekening, agen jaminan, fasilitasi kredit modal kerja dan kredit modal kerja berulang, obligasi, transaksi, fasilitas term loan, kredit investasi, serta pinjaman fasilitas perbankan dan pinjaman transaksi khusus.
Dalam riset tersebut, yang disusun dengan menelusuri laporan tahunan 24 perusahaan batu bara yang terbuka untuk publik, Mandiri menjadi kreditur terbesar dengan US$3,198 miliar sejak 2015. Kemudian, BCA US$170 juta, BRI US$122 juta, dan BNI US$53 juta.