Belum selesai urusan impor beras, kali ini impor garam menjadi sorotan. Seperti ramai diberitakan, Pemerintahan Joko Widodo membuka keran impor garam sebanyak 3,7 juta ton. Kabar itu makin bising terdengar setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku hanya merekomendasikan impor garam 2,1 juta. Angka ini lebih kecil dari keputusan Pemerintah.
"Impor sekarang tidak mengindahkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh KKP," kata Susi Pudjiastuti dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, Jakarta, Senin (22/1) seperti dikutip Antara.
Menurut Susi, rekomendasi yang dikeluarkan pihaknya untuk impor garam adalah 2,17 juta ton. Hal ini kerap dibulatkan berbagai pihak menjadi 2,2 juta ton.
Dia menginginkan agar berbagai pihak jangan sampai mempolitisasi permasalahan impor garam. Rekomendasi yang dikeluarkan juga telah melalui hasil investigasi yang dilakukan oleh KKP, yakni hasil produksi petani garam selama ini sudah cukup baik.
Bila ada kenaikan harga dalam komoditas garam yang diproduksi domestik, maka sebenarnya hal tersebut menguntungkan petani garam nasional yang telah memproduksi komoditas garam tersebut di berbagai daerah.
Pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memutuskan untuk mengimpor garam sebanyak 3,7 juta. Namun jumlahnya tidak sekaligus, jumlah impor tergantung kondisi setiap bulannya.
Darmin menambahkan angka 3,7 juta ton sudah disesuaikan dengan kebutuhan garam industri per tahun. Sehingga apabila Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam setahun ini ingin melakukan impor, tidak perlu lagi meminta rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Peraturannya tetap di KKP, tapi impor garam industri tidak memerlukan rekomendasi setiap kali impor. Nanti di Kemendag dengan batas 3,7 juta ton. Tadinya tidak pernah ada batas-batas, pokoknya dikasih kewenangan impor," kata Darmin.
Susi memang menempatkan posisi memihak petani dengan protesnya atas besaran impor garam. Namun, bagaimana gambaran kondisi produksi garam dalam negeri?
Minat menjadi industri kecil
Seperti diketahui, garam memang merupakan komoditas strategis Indonesia dimana penggunanya tidak hanya untuk konsumsi manusia. Tapi juga bahan baku industri.
Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi laut dan samudera, di atas kertas Indonesia memang seharusnya adalah penghasil garam terbesar dan kualitas yang baik. Apalagi, Indonesia sebenarnya diuntungkan dengan produksi garam yang melimpah dengan berkaca pada luas perbandingan antara daratan dan lautan. Dimana, masing-masing berkisar 1/3 dan 2/3.
Plus, kondisi normal cuaca dengan iklim kemarau selama enam bulan. Memang seharusnya tren produksi garam bisa meningkat setiap tahun, namun sebaliknya, produksinya malah cenderung menurun.
Kebutuhan garam yang tinggi tidak sebanding dengan persediaan produksi domestik yang tipis. Walhasil, kebijakan untuk mengimpor garam dari Australia, India, Selandia Baru dan China menjadi solusi dalam pemenuhan konsumsi garam dalam negeri.
Sektor pemakaian garam dibagi menjadi dua yakni konsumsi rumah tangga dan industri. Secara nasional kebutuhan garam terbagi dalam empat kelompok. Pertama, garam konsumsi rumah tangga dan industri aneka pangan. Kedua, perminyakan. Ketiga, industri tekstil dan kulit. Terakhir adalah industri kloralkali dan farmasi.
Biasanya, garam untuk kebutuhan industri sepenuhnya diimpor. Sebab garam Indonesia tidak memiliki kandungan NaCI yang tinggi. Garam untuk kebutuhan industri membutuhkan NaCI minimal 98%, sedangkan yang baru bisa diproduksi di dalam negeri baru 70% sampai 80%.
Ketergantungan Indonesia dalam pemenuhan komoditi pangan garam semakin meningkat. Persoalannya, minat untuk dijadikan usaha skala industri masih terbilang kecil.
Apabila kebutuhan rumah tangga terus bertambah berikut juga industri, maka impor masih menjadi solusi paling masuk akal.
Sebagian besar produksi garam dipasok oleh garam rakyat. Pelaku usaha produksi garam di Indonesia umumnya adalah penggarap kecil dengan luas areal lahan garam di bawah dua hektar. Teknologi yang digunakan pun terbilang sederhana. Akibatnya, produktivitasnya rendah. Bahkan kualitas garam belum memenuhi Standard Nasional Indonesia (SNI).
Kalaupun ada industri berasal dari PT Garam (Persero). Namun upaya mengenjot produksi garam terkendala soal lahan yang dimiliki perusahaan yang berbasis di Madura ini.
Lantas bagaimana solusinya?
Sudah tentu peningkatan produksi garam domestik tidak boleh ditawar. Peningkatan luas areal garam juga harus dipacu untuk meningkatkan produktivitas garam. Modal, teknologi pengeringan serta perluasan areal pembuatan garam di Indonesia harus menjadi perhatian penting.
Pemerintah juga harus adil dalam memberikan nilai tukar harga kepada petani. Harga garam selayak harga gabah harus mendapatkan nilai tinggi. Hal ini sebagai bentuk apreasiasi petani garam untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam negeri.